SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Oleh : Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Bandung

Setelah lebih dari tiga dekade KMHDI berdiri dengan kokoh dan gagahnya, lantas timbul pertanyaan dalam benak, apakah KMHDI akhirnya disebut sebagai “Wadah Pemersatu dan Alat Pendidikan Kader Mahasiswa Hindu Indonesia” atau gelar mengesankan tersebut hanya menjadi kalimat tanpa makna tanpa benar-benar dipahami dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Mari kita lihat seberapa besar kekuatan KMHDI sebagai wadah pemersatu yang sesungguhnya.

Sebuah visi mulia
Visi KMHDI yang terdengar indah—sebagai “wadah pemersatu dan alat pendidikan kader mahasiswa Hindu Indonesia”—tidak bisa disangkal visi tersebut adalah sebuah visi yang idealis. Namun, seperti pepatah klasik, antara niat dan hasil, selalu ada “kesenjangan ekspektasi.” Mempertanyakan kekuatan KMHDI untuk mempersatukan mahasiswa Hindu Indonesia adalah sah. Setelah lebih dari tiga puluh tahun, apakah kader KMHDI telah berhasil menjalankan tujuan ini, atau justru terperangkap dalam kebiasaan organisasi yang stagnan?

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dengan konsep habitusnya, mengingatkan kita bahwa organisasi cenderung mengembangkan pola kebiasaan dan cara berpikir yang sulit untuk diubah. Kebiasaan ini bisa memperkuat visi organisasi, tetapi juga bisa membuatnya terjebak dalam rutinitas yang tidak produktif. Apakah KMHDI juga terjebak dalam habitus yang membuat kadernya nyaman di zona seremonial, tapi kurang dalam aksi nyata?

Seremonial Meriah atau Upaya Penyatuan?
Yang sudah pernah hadir di acara KMHDI pasti setuju bahwa betapa hangatnya atmosfer di tiap kegiatan KMHDI. Dengan peserta yang terlihat kompak dan suasana yang penuh keakraban, seolah-olah semua berjalan dengan harmonis. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah acara-acara ini benar-benar menyatukan, atau hanya sekadar momen foto bersama dan ajang promosi di media sosial?

Dalam sosiologi, Emile Durkheim membedakan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik terjadi dalam masyarakat yang seragam, di mana semua orang terhubung oleh nilai-nilai dasar yang sama. Sementara itu, solidaritas organik, yang lebih sesuai untuk organisasi modern, adalah bentuk solidaritas yang lebih kompleks dan saling mendukung perbedaan individu. Jika KMHDI hanya mengandalkan acara seremonial untuk menciptakan kesatuan, maka yang terbangun hanyalah solidaritas mekanik yang dangkal, mudah retak, dan tidak tahan lama—bukan solidaritas organik yang kuat dan bisa mengakomodasi perbedaan antar individu maupun cabang.

Jadi, pertanyaannya adalah, apakah KMHDI telah benar-benar menyentuh solidaritas organik yang berarti, atau hanya mengandalkan upacara-upacara formal untuk mengklaim adanya persatuan? apa yang terjadi setelah acara selesai? Jika persatuan hanya terjadi selama dua hari rapat besar, maka yang kita miliki hanyalah kesatuan yang luntur di hari Senin.

Satu nama, banyak kepentingan
Sebagai organisasi yang berupaya mencakup mahasiswa Hindu di seluruh Indonesia, sudah pasti KMHDI berhadapan dengan keragaman yang kompleks. Dari mahasiswa Hindu Bali hingga Jawa, Sulawesi hingga Sumatra, perbedaan budaya, kondisi sosial, dan pandangan hidup adalah sesuatu yang sangat wajar. Akan tetapi, dalam banyak kasus, bukannya memperkuat, keberagaman ini justru kerap menjadi sumber konflik internal di KMHDI.

Edward Said, seorang tokoh teori postkolonial, mengingatkan kita akan konsep othering—kecenderungan untuk memisahkan orang yang dianggap “berbeda” dan memperlakukan mereka sebagai pihak luar. Sayangnya, dalam organisasi besar seperti KMHDI, sering kali terjadinya othering terselubung antara cabang-cabang yang mungkin memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Jika cabang-cabang yang berbeda ini dianggap “kurang sesuai” atau “kurang cocok,” bagaimana bisa KMHDI menjadi pemersatu sejati?

Persatuan dalam Keragaman, atau Cuma Kata-Kata?
Kritik umum terhadap KMHDI adalah soal idealisme tanpa implementasi. Semakin luas spektrum mahasiswa Hindu yang bernaung di KMHDI, semakin rumit untuk mempersatukan mereka tanpa strategi inklusif yang nyata.

Menurut teori social identity dari Henri Tajfel, kelompok sosial sering kali memiliki kecenderungan untuk menciptakan identitas yang eksklusif. Dalam organisasi seperti KMHDI, identitas eksklusif ini bisa muncul dalam bentuk perasaan superioritas dari cabang-cabang besar yang merasa memiliki “kepemilikan” lebih terhadap organisasi dibandingkan dengan cabang-cabang yang masih kecil. Alih-alih menjadi pemersatu, ini malah menciptakan hierarki tidak resmi di dalam organisasi yang justru menjauhkan dari tujuan awal organisasi ini.

KMHDI dan “Kesadaran Kolektif” yang Mungkin Masih Mimpi
Di sinilah poin utama KMHDI sebagai “wadah pemersatu” diuji. Emile Durkheim pernah berkata bahwa “kesadaran kolektif” adalah syarat persatuan sejati. Tapi, apa benar kesadaran kolektif ini hidup di dalam KMHDI? Saat acara besar, mungkin semua tampak harmonis, tapi setelah bubar, masing-masing cabang kembali dengan urusan dan kepentingan sendiri. Jika kesadaran kolektif hanya muncul dalam acara tahunan dan hilang keesokan harinya, bagaimana bisa KMHDI mengklaim dirinya sebagai pemersatu?

Apakah KMHDI Siap untuk Masa Depan?
Di dunia yang terus berubah, organisasi yang mampu beradaptasi adalah yang mampu bertahan. Michael Tushman dan Charles O’Reilly memperkenalkan teori ambidextrous organization—di mana organisasi yang kuat itu seperti memiliki dua tangan: satu untuk menjaga tradisi, dan satu untuk merangkul perubahan. Kalau KMHDI masih mempertahankan pola lama, maka saatnya bertanya: Apakah KMHDI siap menghadapi tantangan baru, atau akan tertinggal oleh zaman?

Jadi, Apakah KMHDI Memang Pemersatu Sejati?
Setelah 31 tahun, sulit untuk menilai apakah KMHDI benar-benar sudah menjadi wadah pemersatu mahasiswa Hindu di Indonesia. Visi besar yang memang bagus, tapi implementasinya di lapangan masih jauh dari sempurna. Dengan berbagai tantangan internal, mulai dari hierarki antar cabang, solidaritas yang dangkal, hingga konflik identitas, rasanya masih panjang jalan yang harus dilalui KMHDI untuk benar-benar menjadi “pemersatu” mahasiswa Hindu di Indonesia. Pertanyaan ini tidak akan terjawab jika KMHDI tidak berani melakukan refleksi diri yang jujur dan terbuka. Kader KMHDI harus berani melihat ke dalam, menilai kekurangan, dan berkomitmen untuk memperbaiki. Mungkin ini saatnya bagi KMHDI untuk berhenti memikirkan sekadar seremonial dan mulai bekerja menuju persatuan sejati. Setelah 31 tahun, masyarakat tentu berharap bahwa organisasi ini mampu lebih dari sekadar jargon-jargon ideal.

Share:

administrator