Surakarta, kmhdi.org – Sebuah konten berjudul ‘Klaten Darurat Toleransi’ beredar di media sosial dan menggemparkan semua orang, termasuk Ketua PC KMHDI Surakarta, Amanda Putri. Konten tersebut diunggah pada hari Senin, 25 Agustus 2025, yang beredar di platform TikTok dari akun @/sisikiri_idn, turut diunggah dalam platform Instagram oleh berbagai akun berita warganet (warga internet) di seluruh Solo Raya dan akun milik @/gerryprayudi. Unggahan tersebut berisi mengenai seorang siswa SMPN 2 Klaten, bernama Ayodya, yang kena mental usai gagal menjadi salah satu tim aubade sekolah. Pasalnya siswa tersebut tak dapat mengikuti gelaran tersebut karena ia tidak memakai jilbab, dan beragama Hindu. Beragam komentar serta tanggapan mencuat dari berbagai pihak, yang tak terima dengan diskriminasi yang dialami oleh Ayodya.
Berita menggemparkan tersebut akhirnya ditanggapi oleh Bupati Klaten, Hamenang, melalui kolom komentar. Ia menulis, “oke besok kita cek & klarifikasi kedua belah pihak”, dalam unggahan akun Instagram @/gerryprayudi. Keesokan harinya, tanggal 26 Agustus 2025, Hamenang, didampingi oleh Wakil Bupati Klaten, Benny, beserta Ketua FKUB, jajaran Dinas Pendidikan, serta Camat Jogonalan dan Kepala Desa Sumopuro, datang ke SMPN 2 Klaten untuk melakukan mediasi dengan pihak sekolah dan mengupayakan agar Ayodya segera bersekolah.
Dilansir dari Tribunnews.com pihak sekolah memberikan keterangan bahwa Ayodya sebenarnya telah gagal di tahapan seleksi pertama tim aubade, sehingga ia tidak mungkin melanjutkan ke tahapan seleksi selanjutnya ataupun menjadi bagian dari tim aubade SMPN 2 Klaten. Tak lupa, pihak sekolah turut memberikan keterangan bahwa tidak ada tindakan diskriminasi terhadap Ayodya dalam proses seleksi tim aubade, karena semua tahapan seleksi dilakukan berdasarkan SOP yang berlaku.
Keterangan yang diberikan oleh pihak sekolah bertolak belakang dengan keterangan yang diberikan oleh ibu Ayodya. Sehingga timbul pertanyaan dalam benak Amanda, siapakah sebenarnya yang menjawab dengan kebenaran.
“Jawaban siapa yang harus dipercaya? Kalau diskriminasi tidak terjadi dan tidak dilakukan oleh pihak sekolah, lalu apa yang sungguh-sungguh terjadi dan membuat seorang siswi kelas 9 SMP kena mental hingga enggan masuk sekolah?” Ujarnya.
Menurut unggahan akun @/sisikiri_idn, Ayodya sempat melontarkan sebuah kalimat menyakitkan yang mengungkapkan kekecewaannya kepada sang ibu. Ayodya mengucapkan, andaikan Ayodya dan keluarganya beragama Islam dan bukan Hindu, pasti permasalahan seperti ini tidak akan terjadi. Selain itu, Ayodya juga tidak mau masuk ke sekolah selama beberapa hari dan hanya mengurung diri di kamar. Kekecewaan mendalam tersebut dapat diasumsikan bukan sekadar kecewa karena tidak diterima dalam tim aubade, terdapat kemungkinan bahwa Ayodya mengalami perundungan di lingkungan sekolah.
Seorang remaja yang mengalami perundungan di lingkungan sekolah, pasti akan sangat terpukul mentalnya. Dan pihak sekolah perlu turut mencari tahu apakah kekecewaan Ayodya hanya karena tidak terpilih sebagai bagian dari tim aubade sekolahnya, atau apakah ada faktor lain. Teman sekelas hampir seperti teman hidup karena seorang siswa pasti bertemu dengan rekan sekelasnya setiap hari, selama jam pembelajaran. Dibenci, dikucilkan, dijauhi, dan diolok-olok oleh teman sendiri adalah mimpi paling buruk bagi seorang siswa. Sehingga pihak sekolah perlu menyelidiki hal ini.
“Sebagai minoritas yang juga jarang memiliki teman akrab di kelas, saya tahu betul rasanya dikucilkan dan tidak dianggap. Sehingga ada kemungkinan bahwa Ayodya sebenarnya mengalami perundungan oleh teman-temannya di lingkungan sekolah. Salah satu asumsi tersebut dapat menjadi faktor pendukung ketidaknyamanan Ayodya, sehingga ia enggan masuk sekolah dan mengurung diri,” ungkap Amanda.
Selain itu, Amanda menyayangkan pihak PHDI Kabupaten Klaten yang tidak memberikan tanggapan apapun terkait kasus ini. Jajaran PHDI Klaten tak mencoba melakukan mediasi ataupun mencari tahu kebenaran terhadap kasus Ayodya, dan mengupayakan perdamaian untuk kedua belah pihak.
“Urusan seperti ini masih menjadi tanggung jawab PHDI sebagai lembaga yang membidangi pelayanan, pengayoman dan pembinaan keumatan, serta memastikan bahwa umat Hindu dapat merasa tenang dan nyaman dalam menjalani kehidupan beragama,” ucapnya.
Amanda menilai penyelesaian kasus Ayodya memerlukan pendampingan PHDI Klaten karena umat yang sudah terlanjur sakit perlu disembuhkan. Ayodya yang telah menganggap bahwa beragama Hindu adalah sebuah bencana perlu diluruskan kembali dengan pendampingan yang tepat. Selain itu, penyelidikan kasus Ayodya juga perlu diperluas, bukan sekadar mengklarifikasi argumen yang disampaikan oleh salah satu pihak, tetapi juga mengupayakan jalan tengah yang mencerminkan nilai keadilan. Menguliti kebenaran sampai keakar, membuktikan bahwa asumsi tersebut salah, dan mengupayakan agar Ayodya kembali bersekolah.