![]()
Bandung, kmhdi.org – Tulisan demi tulisan tentang kaderisasi kini makin berseliweran, dan saya, sebagai kader yang masih ingusan, merasa terdorong untuk ikut berpendapat. Apalagi setelah membaca tulisan dari Pak Kadep Kaderisasi 2023-2025 yang, secara umum, saya sangat sepakat. Tapi, sebagai kader yang masih baru, saya rasa ada baiknya jika saya juga menambahkan beberapa “POV” dari perspektif saya yang—ya, masih hijau ini.

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul di kalangan mahasiswa adalah, “Apa sih benefit ber-KMHDI?” Saya rasa, jika melihat pertanyaan ini secara sepintas, jawabannya jelas: banyak. Tapi, jika digali lebih dalam, ada beberapa hal yang perlu dipahami agar kita tidak terjebak dalam pandangan yang sempit.
Kenapa Pertanyaan Ini Muncul? Dan Kenapa Kita Harus Nge-Blur Semua Hal tentang “Benefit”?
Pernah nggak sih kamu mendengar, “Jika kamu bergabung dengan organisasi hanya untuk mencari benefit, berarti kamu nggak loyal”? Nah, benar, ini ada benarnya. Jika seseorang cuma ikut organisasi hanya untuk mengejar keuntungan pribadi, apalagi kalau orientasinya cuma jangka pendek—ya, bisa-bisa KMHDI jadi kayak diskon akhir tahun, penuh dengan pemburu keuntungan yang nggak peduli dengan visi besar.
Tapi, mari kita berhenti sejenak. Sadar nggak sih, kalau kita hidup dalam dunia yang udah nggak seideal dulu? Ini era disrupsi, bro. Dalam tulisan seorang kader saya yang berjudul “Menggali Relevansi di Tengah Disrupsi”, ada istilah yang penting banget: disrupsi organisasi. Ini terjadi karena perubahan besar dalam cara organisasi beroperasi, apalagi dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi. Dan ngomong-ngomong soal mahasiswa, kita nggak bisa pungkiri bahwa pola pikir kita terhadap organisasi sudah berbeda. Jangan salahkan kami yang mulai skeptis ketika hanya disuguhi jargon “pengabdian” tanpa melihat ada nggak sih peluang nyata buat kita berkembang secara pribadi?
Satu hal yang saya rasa perlu digarisbawahi: KMHDI selama ini dibanggakan karena nilai-nilai luhur seperti dharma agama dan dharma negara. Ini memang warisan yang patut dihargai, tapi apakah kita bisa berharap mahasiswa sekarang—yang hidup di dunia serba instan, digital, dan penuh tekanan—akan bertahan dengan motivasi yang sama?
Benefit Berorganisasi, Lebih dari Sekadar Beasiswa atau Relasi
Jadi, ada apa dengan manfaat? ini kan hal yang pasti jadi alasan banyak orang bergabung dengan organisasi. Apakah ini berarti kita semua ini cuma ”kader pencari manfaat?” Tentu saja nggak! Tapi, kalau kita terus menutupi kenyataan bahwa manfaat seperti itu juga penting, mungkin KMHDI perlu membuka mata. Mengutip kata-kata dari teman saya yang tak perlu saya sebutkan namanya (Ketua PC Denpasar), dia menyampaikan begini “Kita terus menggaungkan nama besar kita, namun jika dalam realitanya secara kuantitas dan kualitas kita tidak besar. Apakah masih pantas kita menyebut diri kita besar?” Begitu kira-kira kurang lebihnya.
Mahasiswa sekarang nggak cuma mikirin pengabdian atau nilai luhur. Kita juga ingin berkembang, bro! Dalam hal keterampilan, pengalaman kerja, dan—paling nggak—ada peluang nyata yang membantu kita menghadapi dunia kerja yang keras. Jadi, kalau kaderisasi kita cuma bergantung pada jargon “membangun karakter” yang nggak ada kaitannya dengan dunia nyata, ya, harus dievaluasi dong. Apakah KMHDI siap beradaptasi dengan kebutuhan zaman ini, atau cuma ngandelin cerita indah soal nilai luhur yang mungkin bagi banyak orang terasa nggak relevan?
Kenapa Saya Tidak Selalu Bangga Jadi Kader KMHDI
Sebagai kader medioker, saya jelas merasa bangga. Tapi, saya juga merasa perlu jujur: kebanggaan itu nggak cuma datang dari slogan tentang nilai luhur atau pengabdian. Kebanggaan itu muncul ketika ada ruang bagi kita untuk berkembang, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Jadi, kebanggaan saya nggak bisa semata-mata hanya dari “visi besar” atau “nilai luhur“. Kebanggaan saya lebih datang dari kenyataan bahwa saya bisa berkembang secara nyata, bukan hanya terjebak dalam sekadar narasi indah yang kadang terasa kosong.
Kebanggaan itu bukan dari teori belaka. Tapi dari pengakuan atas kontribusi yang kita buat. Dari kesempatan untuk berproses, bukan cuma sekadar memenuhi harapan organisasi.
Penutup: Bangga Harus Ada Prosesnya, Bukan Cuma Jargon
Akhirnya, kebanggaan itu harus datang dari pemahaman bahwa organisasi ini bisa bertransformasi, bisa beradaptasi dengan perubahan zaman. KMHDI, kalau mau tetap relevan, harus berani menyesuaikan diri dengan kebutuhan kader-kader muda yang makin cerdas, makin kritis, dan nggak bisa lagi hanya diiming-imingi narasi pengabdian tanpa melihat kenyataan nyata di luar sana.
Bangga jadi kader KMHDI memang penting, tapi jangan lupa, kebanggaan itu datang ketika kita merasa nilai yang kita pegang nggak cuma sekadar omongan, tapi tercermin dalam tindakan nyata. KMHDI harus bisa membuat kader merasa mereka dapat ruang untuk berkembang—baik dalam hal karier, relasi, maupun kontribusi nyata di masyarakat. Kalau cuma mengandalkan nostalgia dan cerita masa lalu, KMHDI bisa jadi organisasi yang semakin ditinggalkan, dan mahasiswa yang semakin on the move mencari tempat yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka.
Jadi, kalau kita bicara soal “kenapa bangga jadi kader KMHDI”, saya jawab dengan tegas: Bangga itu harus datang dengan cara yang relevan, dengan perubahan yang nyata. Bukan cuma terjebak dalam idealisme masa lalu kira-kira begitu lah hasil termenung saya selama 5 menit sesuai arahan pak kadep pada penutup tulisannya. Mungkin itu yang dapat saya sampaikan, jikalau tidak berkenan boleh hubungi langsung kontak saya. Jika berkenan boleh cek tulisan saya yang ini dan yang ini. Terima kasih
Penulis : Lingga Dharmananda Diana (Ketua PD KMHDI Jawa Barat)