SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Bandung, kmhdi.org – Dalam sejarah panjang peradaban Indonesia, agama Hindu memiliki akar yang kuat dalam memberikan kontribusi terhadap kekayaan budaya di Nusantara. Namun dewasa ini, umat Hindu menghadapi tantangan inferioritas (rasa rendah diri) baik dalam aspek politik maupun sosial. Sekitar abad ke-3 SM seorang cendekiawan Hindu telah menyusun sebuah karya yang memuat pemikiran mendalam tentang bagaimana strategi kepemimpinan dan kekuasaan yang dikenal dengan Arthasastra.

Latar Belakang dan Konteks Sejarah

Arthasastra adalah sebuah karya klasik yang ditulis oleh cendekiawan Hindu bernama Canakya (juga dikenal sebagai Kautilya ataupun Vishnugupta). Karya ini sendiri merupakan manifestasi pemikiran ekonomi dan politik yang seringkali dianggap relevan lintas zaman. Arthasastra sendiri memiliki arti yang merujuk pada ilmu politik, dimana memang karya ini diciptakan pada masa konsolidasi besar kekaisaran Maurya.

Dengan mengedepankan ilmu diplomasi, tatanan etika dan moral dalam masyarakat, dan prinsip-prinsip politik praktis. Arthasastra menjadi bahan rujukan kekaisaran Maurya dalam menaklukan Kerajaan-kerajaan kecil yang dihadapinya. Canakya dalam Arthasastra mengakui kebutuhan akan pragmatisme dalam politik.

Canakya tidak ragu untuk menganjurkan penggunaan kekuatan atau strategi yang manipulatif ketika diperlukan untuk menjaga stabilitas negara. Pendekatan ini lah yang membuat ia disandingkan dengan nama-nama filsuf barat seperti Plato, Aristoteles, bahkan tak jarang dibandingkan dengan pemikiran Machiavelli, terutama dalam karya “The Prince” dimana penguasa dianjurkan untuk menggunakan segala cara untuk menjaga kekuasaan.

Canakya mengedepankan metode observasi, analisis, dan deduksi dalam penerapan etika politik seorang pemimpin. Hingga berkembang filosofi akal (prajnya darshan) dimana India kuno mempercayai bahwa akal melalui rasionalitas memainkan peranan penting dalam mengejar tiga hal yang menjadi tujuan hidup, yaitu Dharma (kebenaran), Artha (kemakmuran), dan Kama (hasrat).

Canakya memahami bahwa dunia politik sering kali tidak hitam-putih, dan bahwa seorang penguasa yang efektif harus mampu menavigasi kompleksitas ini dengan bijak.

Arthasastra: Etika Politik Hindu

Arthasastra menggunakan konsep mandala dalam pemetaan geopolitik dan geostrategi dari kekuatan yang dimiliki. Canakya menggambarkan kekuatan utama sebagai pusat lingkaran konsentris diikuti dengan kawan ideologis (sekutu), kawan strategis (kawan dari sekutu), dan kawan taktis (musuh dari musuh). Dimana yang berada diluar lingkaran adalah lawan, yaitu lawan ideologis (musuh), lawan strategis (sekutu dari musuh), serta lawan taktis (lawan dari sekutu).

Teori mandala adalah rencana, sebuah cetak biru dari ekspedisi atas tujuan penaklukan karena Canakya sendiri percaya pada kekuatan dan kekuasaan. Baginya, “kekuasaan adalah kepemilikan kekuatan” dan itu ada dalam tiga bentuk: 1) Mantrashakti: kekuatan Pengetahuan, yaitu, kekuatan nasihat; 2) Prabhu Shakti: Kekuatan keperkasaan, yaitu kekuatan harta dan tentara; dan 3) Utsaha shakti: kekuatan energi, yaitu kekuatan keberanian.

Hal ini sejalan dengan konsep Tri Murti yang selama ini kita kenal, dimana Tuhan itu sendiri memiliki manifestasi sebagai Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pelebur). Jauh lebih dalam Hindu sendiri sudah menjelaskan konsep kedigdayaan melalui filosofi-filosofi akal budi, melalui Tri Murti kita membaca lebih dalam dengan pendekatan para Shakti-Nya. Shakti merupakan penjelmaan dari energi aktif purusha atau yang dikenal juga sebagai kesadaran.

Shakti dari Brahma (Pencipta) ialah Saraswati (Pengetahuan), hal ini secara implisit menjelaskan bahwa dalam suatu penciptaan, ilmu pengetahuan menjadi dasar kekuatannya. Hal yang kemudian dimaknai oleh Canakya menjadi Mantrashakti pada konsep kekuasaan Arthasastra yang berfungsi sebagai landasan kekuasaan.

Dengan demikian, jika kita melihat secara paralel, canakya mencoba memberikan penekanan bahwa pengetahuan adalah kekuatan fundamental yang tidak hanya membangun, tetapi juga mempertahankan dan mengembangkan segala sesuatu yang ada. Tanpa pengetahuan, sebuah penciptaan kekuatan tidak akan memiliki arah, dan kekuasaan akan rentan menuju kehancuran.

Kemudian jika berbicara soal Wisnu (Pemelihara) dengan shakti-Nya yaitu Sri Kemakmuran), hubungan antara Wisnu dengan Sri menekankan bahwa pemeliharaan tidak dapat berlangsung tanpa adanya kemakmuran dan kesejahteraan yang menjadi pendukungnya.

Konsep ini memiliki korelasi yang kuat dengan pemikiran Canakya yang ia perkenalkan sebagai Prabhu Shakti yaitu elemen fundamental yang memungkinkan seorang penguasa untuk menjaga stabilitas dan mengamankan wilayah kekuasaannya. Hubungan antara Sri sebagai Shakti dari Wisnu dan Prabhu Shakti dalam Arthasastra menyoroti pentingnya kemakmuran sebagai fondasi kekuasaan.

Canakya memahami bahwa tanpa kemakmuran, tidak mungkin ada stabilitas yang langgeng. Sebuah kerajaan yang miskin atau lemah secara militer tidak akan mampu bertahan lama, karena kekuasaan yang sejati membutuhkan keseimbangan antara keamanan dan kemakmuran.

Dalam tradisi Hindu, Siwa (Pelebur) memiliki Shakti Parwati (Energi). Siwa adalah simbol transformasi dan perubahan, bersanding dengan Parwati yang merupakan personifikasi dari energi dan kekuatan feminim. Hal ini menunjukan bahwa dalam proses peleburan, energi adalah sumber kekuatan utama yang memungkinkan transformasi dan pembaruan terjadi.

Peleburan, merujuk pada Siwa, bukanlah sekadar penghancuran fisik yang destruktif, tetapi lebih merupakan proses transformatif yang menghilangkan elemen-elemen yang usang atau tidak lagi berguna untuk memungkinkan munculnya yang baru.

Peran Parwati, sebagai energi yang menyertai Siwa, menyediakan daya yang diperlukan untuk proses ini, menunjukkan bahwa tanpa energi, tidak ada peleburan atau transformasi yang bisa terjadi. Energi di sini melambangkan kekuatan batin, semangat, dan daya tahan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan dan tantangan.

Hal yang kemudian oleh Canakya digambarkan sebagai konsep Utsaha Shakti sebuah kekuatan energi yang terdiri dari keberanian, semangat, dan ketabahan. Utsaha Shakti dianggap sebagai salah satu elemen kunci dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Canakya memahami bahwa dalam pemerintahan dan politik, keberanian dan energi adalah hal yang tak tergantikan.

Seorang pemimpin yang memiliki Utsaha Shakti mampu membuat keputusan yang berani, mengambil risiko yang diperhitungkan, dan mempertahankan semangat juang meskipun dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Ini adalah kekuatan yang mendorong perubahan dan memungkinkan terciptanya peluang baru di tengah-tengah ketidakpastian menuju sebuah transformasi.

Canakya menyusun Arthasastra sebagai sebuah konsep yang memiliki prinsip “hijrah” dari rasa keterpurukan dan ketidak percayaan diri atau rendah diri menuju superioritas, dimana superioritas yang dimaksud adalah bagaimana menjadi versi terbaik dari diri melalui kekuatan yang dimiliki dan memetakan sesuai kebutuhan.

Seorang penguasa atau pemimpin harus selalu waspada dan siap mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan posisi dominan di wilayahnya. Pendekatan ini mencerminkan realitas politik di mana aliansi dan keseimbangan kekuatan menjadi elemen kunci dalam menjaga stabilitas dan keamanan yang mendorong fleksibilitas untuk menghadapi tantangan.

Gerak Pemuda Hindu: Memaknai Politik Sebagai Transformasi Nilai

Politik dapat dimaknai sebagai metode transformasi nilai, di mana setiap individu memiliki nilai-nilai yang berharga dan dapat memberikan dampak yang besar jika disampaikan ke masyarakat. Jika seseorang tidak berpolitik, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang dimilikinya belum sepenuhnya terealisasi.

Nilai-nilai inilah yang memandu manusia menuju tujuan hidupnya, dan dalam upaya mencapai tujuan tersebut, diperlukan perencanaan yang matang. Strategi dengan demikian merupakan metodologi yang mencakup perangkat, bahan, dan prosedur untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, sifat strategi itu sendiri didasarkan pada prinsip-prinsip yang berakar pada tujuan dan ideologi, dengan fleksibilitas sebagai kunci agar dapat diterapkan oleh semua pelaku.

Sebagai generasi muda Hindu, hendaknya tiap individu memahami tentang bagaimana peranan mereka dalam membangun keberlangsungan dan kemandirian keumatan. Canakya menekankan bahwa tiap-tiap individu bertindak sebagai pengemban nilai-nilai yang penting, dan melalui keterlibatan proses politik, maka nilai-nilai tersebut dapat dimanifestasikan menjadi tindakan nyata dalam kebermanfaatan bagi komunitas secara luas yaitu berbangsa dan bernegara.

Arthasastra ditulis ribuan tahun yang lalu, tetapi masih relevan hingga hari ini, terutama bagi remaja Hindu yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Canakya memberikan pelajaran penting bahwa politik adalah alat untuk mewujudkan nilai-nilai kita. Generasi muda Hindu dapat mengatasi perasaan rendah diri dan berkontribusi secara efektif dalam kehidupan politik dan sosial dengan memahami dan menerapkan ide-ide dari Arthasastra.

Sebagai contoh, anak muda Hindu dapat berkontribusi melalui wadah-wadah keumatan ataupun yang bersifat lebih umum, bisa berbentuk komunitas, organisasi, lembaga, dsb. Dengan itu Hindu memiliki representatif dalam berbagai lini melalui anak mudanya, tidak terkecuali partai politik. Karena ide-ide segar pemuda seringkali mengubah metode pendekatan yang terkesan ortodoks dan membawa suara atas kondisi keumatannya.

Menghidupkan Kembali Semangat Canakya

Sekali lagi, Canakya menggambarkan politik sebagai keharusan, menuju bentuk ideal dari sebuah kelompok melalui peran tiap-tiap individu yang menjadi bagiannya, dengan demikian kelompok tersebut dapat berdikari dan produktif atau superioritas itu sendiri. Dan itu semua telah dijawab oleh cendekiawan Hindu melalui pendekatan keagamaan ribuan tahun lalu saat masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu.

Canakya telah menyusun buah pemikiran yang tidak hanya relevan pada masanya, namun juga pada era modern. Dengan memahami prinsip-prinsip Arthasastra, generasi muda Hindu dapat menjadi agen perubahan yang dapat mengatasi tantangan inferioritas sehingga memberikan dampak bagi umat, bangsa dan negara. Melalui pendekatan Arthasastra, maka adalah kewajiban bagi pemuda Hindu untuk menghidupkan kembali taring dalam politik untuk transformasi nilai yang nyata dan bermakna seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya sejak abad ke-3 SM.

Adhikary, N. M. (2023). Approaching Kautaliya Arthashastra from the Communication Perspective. Bodhi: An Interdisciplinary Journal, 54.

Chati, C., Avalokitesvari, N. N. A. N., & Surpi, N. K. (2018). State Defense Diplomacy In Chanakya Viewpoint (Study of Arthashastra Text as a Basis Strategy of Defense Diplomacy). Vidyottama Sanatana: International Journal of Hindu Science and Religious Studies2(2), 218-225.

Chousalkar, A. (1981). POLITICAL PHILOSOPHY OF ARTHASHASTRA TRADITION. The Indian Journal of Political Science, 42(1), 54–66. http://www.jstor.org/stable/41855076

Surpi, N. K., Avalokitesvari, N. N. A. N., & Untara, I. M. G. S. (2020). Mandala Theory Of Arthaśāstra And Its Implementation Towards Indonesia’s Geopolitics And Geostrategy. Jurnal Penelitian Agama Hindu4(3), 179-190.

 

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Ketua PD KMHDI Jawa Barat) 

.

Share:

administrator