SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

“KMHDI bukan sekadar organisasi publik figur atau ikatan kekeluargaan, lebih dari itu, kita berbicara perjuangan untuk umat dan negara, yang hanya bisa terwujud melalui pemikiran dan tulisan yang tajam.”

Literasi: Pondasi yang Sering Terlupakan

Bandung, kmhdi.orgDalam dunia yang terus bergerak, kader pergerakan tidak cukup hanya hadir dalam seremoni dan aksi. Ada yang lebih mendasar, namun sering dilupakan: literasi—membaca dan menulis. Maka tulisan bukanlah sekadar aji mumpung; ia bukan album foto yang hanya kita kenang saat sedang “ganas-ganasnya” atau “lucu-lucunya”. Ia adalah rujukan, bahan kontemplasi, dan seruan. Menulis bukan hanya perkara menuangkan pikiran, tapi soal keberpihakan. Ia adalah cara kita memilih berdiri di sisi siapa, menyuarakan apa, dan melawan apa yang perlu dilawan. Sebab ide yang tak ditulis akan menguap, dan perjuangan yang tak dituliskan akan dilupakan. Maka, tulisan adalah bukti sebuah organisasi pergerakan berpikir.

Apa yang terjadi jika sebuah organisasi pergerakan berhenti berpikir? Jawabannya sederhana: ia mati. Tapi kematian organisasi tidak selalu datang dalam bentuk bubar atau hancur. Ia bisa datang secara perlahan, senyap, bahkan terasa manis karena dibalut aktivitas rutin yang tampak sibuk. Salah satu tanda paling jelas dari kematian semacam itu adalah berhentinya tradisi menulis.

Saya ingin mengatakan ini dengan pelan tapi pasti: jika kita punya mimpi KMHDI menjadi organisasi yang berdampak—bagi individu maupun masyarakat luas—maka satu-satunya jalan yang masuk akal adalah membangun budaya membaca dan menulis. Sebab tanpa itu, kita tidak sedang berjalan ke depan. Kita hanya berputar di tempat. Dan diam-diam mati.

Saya menyaksikan sendiri bahwa banyak kader KMHDI yang sebenarnya mulai menulis. Beberapa membuat berita, sebagian menyusun rilis, ada pula yang merangkai opini. Tapi izinkan saya menyampaikan kekecewaan kecil ini: masih banyak tulisan yang berhenti di permukaan, tidak menukik pada esensi. Banyak yang menulis hanya sebagai pelengkap kegiatan, bukan sebagai refleksi kritis atas realitas.

Kita bukan organisasi kekeluargaan biasa. Kita adalah gerakan mahasiswa. Dan gerakan mahasiswa tidak dilahirkan untuk sekadar menyebarkan kabar kegiatan. Kita lahir untuk menyuarakan keadilan, menginterupsi ketimpangan, memproduksi ide, dan mengguncang kemapanan. Maka ketika organisasi kita sibuk mengarsipkan aktivitas ringan, tanpa kritik, tanpa narasi, tanpa pembacaan konteks, sesungguhnya kita sedang menghina potensi kita sendiri.

Menulis bukan cuma soal dokumentasi. Ia adalah proses berpikir. Ia adalah ruang bertarung antara ide, intuisi, dan integritas. Dalam menulis, kita diuji apakah benar-benar paham atau sekadar ikut-ikutan. Apakah kita sekadar mengulang slogan, atau punya gagasan baru untuk zaman yang berubah.

Kita Berdiri di Atas Luka: Maka Tugas Kita Menulisnya

Karena itu, jika hari ini kita menulis hanya untuk mengejar konten media sosial, atau supaya terlihat aktif, kita sedang menyederhanakan perjuangan. Bukan kah, sejak awal, KMHDI berdiri di atas keresahan akan ketertinggalan, ketidakadilan, dan kegagalan negara menjamin rakyatnya? Sehingga kita yang umat minoritas sekalipun harus bersuara?

Banyak hak-hak kita yang terus menerus direbut sistem, jadi sekalipun tidak bisa turun langsung, minimal kita menulis. Menuliskan ketidakadilan itu, menggugatnya, dan menyebarkannya ke publik.

Menulis adalah bentuk keberpihakan. Jika kita tidak punya kekuasaan untuk mengubah kebijakan, maka tulisan kita bisa menjadi tekanan. Ia bisa jadi arsip perlawanan. Ia bisa jadi alarm yang membangunkan publik dari tidur panjang mereka.

Dan membaca adalah cara kita memperluas cakrawala. Tanpa membaca, kita hanya akan bicara pada cermin. Tak akan pernah tahu bahwa dunia lebih rumit dari yang kita kira. Bahwa isu sosial, ekonomi, lingkungan, dan kebudayaan saling berkelindan, dan semua itu menuntut kita untuk cerdas memilah dan berpihak.

Jadi, menulis atau mati pelan-pelan. Itulah pilihan kita hari ini. KMHDI bukan sekadar tempat cari pengalaman atau belajar organisasi. Ia adalah rumah gagasan. Ia harus menjadi kawah candradimuka para pemikir muda Hindu yang kritis, peka, dan berani. Untuk merubah sistem, dan merebut kekuasaan! Karena satu-satunya cara untuk merubah sistem hanya merebut kekuasaan.

Kalau tidak, maka lebih baik kita jujur pada diri sendiri: kita hanya organisasi kasihan, yang pelan-pelan kehilangan nyawa karena lupa bagaimana cara berpikir dan menulis. Dan ketika itu terjadi, kita tak lagi punya alasan untuk bangga menyebut diri sebagai “gerakan mahasiswa”.

Sebuah Cambuk, Bukan Sekadar Keluhan

Menitip harapan pada KMHDI, saya berharap tulisan ini tak berhenti sebagai keluhan. Dengan segala hormat saya juga jauh dari kata sempurna. Tapi saya harap “unek-unek” saya ini bisa menjadi cambuk. Untuk saya. Untuk kamu. Untuk kita semua yang pernah bersumpah setia pada Dharma Agama dan Dharma Negara.

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Fungsionaris PP KMHDI)

Share:

administrator