![]()
Badung, kmhdi.org – Bayangkan merekrut Einstein sebagai asisten pribadi, sementara sang bos nyaris tak paham apa itu rumus E=mc². Inilah paradoks memilukan yang terselip di balik satu postingan Instagram yang mencari staff ahli anggota DPR dengan syarat bergengsi yaitu harus tamatan S2 dari luar negeri atau PTN ternama dengan track record riset mumpuni, namun dibumbui kualifikasi absurd ala negeri “jemah ripah loh jinawi” seperti usia harus ideal, penampilan harus menawan, dan siap berkerja dalam tekanan hingga akhir zaman tanpa secuil pun transparansi gaji.
Rasa penasaran membawa penulis melakukan penelusuran ke wakil rakyat pemilik lowongan. Hasilnya? Latar belakang pendidikannya biasa-biasa bahkan tidak sinkron dengan komisi bidang dilegislatif tempatnya bernaung, seakan tercium aroma tentang kemungkinan bakal terjadinya kesenjangan kapasitas antara wakil dan staff ahlinya nanti.
Memang dalam aturan pencalonan tidak ada syarat yang mengharuskan wakil rakyat berasal dari universitas ternama, persoalan pendidikan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut Pasal 240 UU No. 7 Tahun 2017 hanya cukup di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat tetapi Idealnya, kapasitas intelektual seorang wakil rakyat harus setara atau bahkan melampaui staff ahlinya karena dia harus mampu secara mandiri mencerna isu kompleks, menguji asumsi staff, dan memastikan setiap kebijakan benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, bukan sekadar hasil olahan teknis para staff ahlinya.
Namun mau bagaimana lagi beginilah realitas demokrasinya kita yang justru di bela oleh pendukungnya saat saya berkomentar mengkritik dengan nuansa sarkas yang membandingkannya dengan contoh seorang Jack Ma yang meskipun tidak berkuliah namun mampu mengorganisir orang pintar dan anggapan belum tentu yang kuliah memiliki kecerdasan intelektual yang sebenarnya sesat logika.
Yang pertama pada kasus Jack Ma sebagaimana pengusaha lain yang tidak lulus sekolah akan cacat ketika diterapkan di ranah legislatif. Dalam bisnis, tujuan akhir adalah laba jadi menghimpun pakar demi efisiensi dan inovasi adalah kewajaran. Tetapi, dalam pemerintahan, tujuannya adalah kesejahteraan publik melalui kebijakan bermutu. Jika normalisasi ketimpangan intelektual antara legislator dan staffnya dilestarikan bukan sekadar inefisiensi yang terjadi tetapi bom waktu bagi demokrasi karena ketika staff lebih pintar dari bos di ruang legislatif, demokrasi kita tak ubahnya wayang yang indah bentuknya, namun kosong substansinya.
Yang kedua, pada persoalan kecerdasan intelektual yang bisa dibentuk dimana saja, tetapi sekolah menyediakan fondasi sistematis, disiplin berpikir, dan alat verifikasi yang sulit diperoleh secara otodidak. Dalam konteks politik, wakil rakyat tidak harus bergelar S3, tetapi harus punya kapasitas mencerna kompleksitas kebijakan setara dengan staffnya. Sekolah adalah salah satu sarana (bukan satu-satunya) untuk membangun kapasitas itu. Yang perlu dipikirkan bukan dikotomi, “sekolah vs non-sekolah”, melainkan pada komitmen untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Wakil rakyat yang berhenti belajar meski bergelar tinggi tetap akan kalah oleh staff ahli yang haus pengetahuan apalagi jika dia menyerahkan tugas-tugas yang rumit ke staff ahli dan menerima begitu saja agar tugas-tugas tersebut beres tanpa menelaah secara dalam.
Bergeser dari problematika wakil rakyat, sebenarnya dalam artikel ini penulis ingin membawa ingatan kita pada satu isu dari ruang mahkamah konstitusi yang luput dari perhatian kita yaitu terkait penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap materi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas minimal pendidikan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Mahkamah konstitusi memandang bahwa syarat pendidikan minimal SMA sederajat untuk Calon Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam norma yang digugat, secara fundamental merugikan hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
Mereka mendasarkan argumen penolakan pada hak yang mencakup jaminan atas tata kelola pemerintahan yang kompeten dan bertanggung jawab, sebagaimana diamanatkan oleh prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) dan hak atas kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Namun norma yang ada dinilai oleh pemohon telah gagal memenuhi jaminan konstitusional ini karena menetapkan standar yang terlalu rendah untuk jabatan tertinggi yang berperan dalam menentukan keberhasilan pembangunan bangsa. Sekali ini hal ini sangat ironis, karena negara justru menetapkan standar pendidikan yang lebih tinggi untuk posisi dengan lingkup tanggung jawab yang jauh lebih terbatas.
Kewajiban guru sekolah dasar misalnya, mewajibkan lulusan S-1 bisa menjadi pembanding yang kontras, mengingat presiden memikul beban memimpin seluruh bangsa dengan segala kompleksitasnya, sementara guru fokus pada ruang kelas yang spesifik. Ketimpangan ini menunjukkan adanya ketidaklogisan dan ketidakseriusan dalam menetapkan kualifikasi pemimpin nasional.
Konsekuensi langsung dari standar pendidikan yang rendah ini adalah potensi merosotnya kualitas keputusan strategis nasional. Keputusan pada bidang ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan keamanan sosial, yang langsung berdampak pada kehidupan rakyat sangat membutuhkan analisis mendalam dan pemahaman yang komprehensif yang bukan hanya berasal dari staff ahli, karena pemimpin harus punya kapasıtas intelektualnya sendiri, tidak terlalu membeo pada staff ahli.
Apabila kita menelaah sejarah banyak pemimpin yang masyhur justru merupakan sosok pemikir bukan semata-mata menjadi pemimpin yang ala-ala bos. Karena Tanpa kapasitas intelektual yang memadai, keputusan tersebut berisiko tidak optimal atau bahkan keliru, mengancam kesejahteraan dan keamanan warga.
Pemimpin berkualitas yang seharusnya menurut konstitusi
Pepatah Belanda mengatakan “leijden is leden” “Leiden is lijden!” artinya “Memimpin adalah menderita” yang pernah dikutip oleh Mohammad Roem dalam karyanya “Haji Agus Salim: Memimpin adalah Menderita” di majalah Prisma No. 8, Agustus 1977, yang menggali keteladanan Agus Salim, tokoh diplomat ulung yang hidup dalam kesederhanaan namun memiliki kecerdasan intelektual dan pengbadian yang mumpuni yang sinkron antara cara Hindu dan konsistensi dalam menjalani proses sebagai pemimpin.
Belajar dari Agus Salim dann tokoh-tokoh pemimpin lainnya dari awal Republik Indonesia berdiri, menjadi pemimpin memang sulit karena untuk mencapai hasil yang bagus maka pemimpin bukan hanya mengandalkan niat yang tulus tetapi juga rencana yang masuk akal, dan langkah nyata di lapangan yang semuanya membutuhkan kedalam berpikir.
Apalagi untuk posisi presiden dan wakil presiden yang sungguh luas dan berat. Mereka bukan hanya merumuskan kebijakan publik lintas sektor dari ekonomi makro, hukum, pertahanan, teknologi, sampai diplomasi tetapi juga memimpin lembaga tinggi negara seperti TNI, Polri, Kejaksaan, dan Badan Intelijen. Mereka pula yang menentukan arah politik luar negeri dan posisi Indonesia di panggung global yang penuh dinamika dan tantangan.
Oleh karena itu, standar minimal SMA sederajat dianggap sangat tidak relevan dan tidak proporsional. Standar ini membuka peluang bagi individu yang, secara struktur pendidikan formal, mungkin belum terlatih untuk memiliki kemampuan analitis, kritis, dan keilmuan yang memadai guna memahami persoalan bangsa yang rumit.
Ketika negara mempertahankan standar yang seperti itu, maka sama saja menurunkan kualifikasi kepemimpinan nasional yang merugikan hak rakyat untuk dipimpin oleh sosok yang berkapasitas tinggi yang bisa menjadi inspirasi bukan sekadar populer atau pemenang pemilu.
Pendidikan tinggi, minimal strata sarjana (S-1), dipandang sebagai parameter objektif minimum yang menunjukkan kemampuan seseorang dalam memahami dan menyelesaikan masalah secara sistematis, analitis, dan kritis. Proses perkuliahan melatih penalaran kompleks, metodologi penelitian, dan pendekatan multidisiplin. Dalam konteks pemilihan umum yang demokratis, di mana siapa pun dapat mencalonkan diri, negara wajib hadir untuk menetapkan standar kelayakan dasar guna memastikan bahwa hanya kandidat dengan kapasitas intelektual memadai yang bersaing menduduki jabatan tertinggi.
Apalagi Hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia, untuk mendapatkan pemerintahan yang baik dan berkualitas adalah mutlak. Apalagi dalam UUD Dasar Tahun 1945 yang menjamin hak atas keadilan, kesetaraan, kepastian hukum, HAM, lingkungan hidup sehat, kebebasan berpendapat, bebas dari diskriminasi, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain akan sangat bergantung pada kualitas kebijakan dan kepemimpinan pemerintah. Syarat pendidikan yang rendah meningkatkan risiko terpilihnya presiden yang tidak memiliki bekal keilmuan yang cukup untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut secara optimal.
Pemimpin berkualitas menurut perspektif Hindu
Dari Perspektif Hindu, tuntutan akan pemimpin yang berkapasitas intelektual memadai menemukan resonansi dalam konsep Rajarshi (Raja yang bijaksana seperti Rishi) yang dalam tradisi Hindu merupakan gabungan antara kekuasaan politik (Raj) dengan kebijaksanaan spiritual dan intelektual (Rishi).
Litelatur Hindu seperti seperti Ramayana dan Mahabharata selalu menggambarkan para raja yang ideal, seperti Rama dan Yudhishthira, sebagai sosok yang sangat terpelajar, bijaksana, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan Dharma yang mencakup kebenaran, kewajiban, dan keadilan setelah melalui pertimbangan yang matang (Viveka).
Dalam tradisi Hindu, pemimpin harus memiliki kompetensi, pengetahuan yang luas, dan kemampuan analitis yang tajam untuk memimpin dengan adil agar kemakmuran (Artha) dan stabilitas tatanan sosial (Dharma) bagi rakyatnya dapat tercapai yang kesemua itu hanya dapat diraih melalui penguasaan terhadap Catur Widya (empat ilmu utama) yaitu Trayi (Veda), Anviksiki (logika/filsafat), Dandaniti (ilmu pemerintahan), dan Varta (ekonomi).
Oleh karena itu, pendidikan tinggi, dalam konteks ini, dilihat bukan hanya sebagai pencapaian akademis, tetapi sebagai sarana penting untuk mengasah Buddhi (intelek) dan kebijaksaan (Viveka), yang esensial bagi seorang pemimpin untuk memahami kompleksitas pemerintahan modern dan mengambil keputusan yang selaras dengan Dharma bagi kesejahteraan semua (Sarve Bhavantu Sukhinah).
Bukan bermaksud meremehkan pendidikan menegah, namun secara umum pendidikan menengah lebih bersifat pengenalan dan pembentukan dasar sehingga belum mendalami pelatihan analitis lanjut, penalaran kritis, atau metodologi ilmiah yang ketat.
Jenjang pendidikan menengah juga tidak memberikan pemahaman mendalam tentang ilmu hukum, ekonomi politik, kebijakan publik, administrasi negara, atau hubungan internasional yang merupakan bidang-bidang pengetahuan yang menjadi bekal utama untuk memimpin sebuah negara modern.
Pengetahuan spesifik dan pendalaman metodologis ini secara umum baru diperoleh secara memadai melalui pendidikan tinggi. Apalagi Di tengah tantangan zaman sekarang seperti globalisasi, digitalisasi, krisis iklim, geopolitik yang dinamis, ketahanan energi, dan ketimpangan ekonomi, serta kompleksitas kebijakan yang dihadapi presiden semakin meningkat.
Tantangan multidimensi memang memerlukan kualifikasi akademik, pengalaman kepemimpinan profesional, dan pemahaman multidisipliner yang biasanya diperoleh melalui pendidikan tinggi. Mempertahankan standar pemimpin hanya tamat sekolah menengah secara sosiologis bukan saja tidak relevan, tetapi juga berpotensi membuka keran kemunduran (regresi) demokrasi, di mana kualitas kepemimpinan tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapi.
Apalagi jika kita menelaah negara-negara lain, seperti Turki, Aljazair, Azerbaijan, dan lainnya yang justru mensyaratkan pendidikan tinggi bagi presidennya semakin memperkuat argumen bahwa peningkatan standar bukan diskriminasi terhadap hak warga negara untuk memilih dan dipilih tetapi merupakan sebuah keniscayaan rasional dan konstitusional demi kepemimpinan yang berintegritas dan berkapasitas ditengah zaman yang semakin kompleks permasalahnnya.
Karena memiliki pemimpin yang tidak memiliki kapasitas yang mumpuni akan mengakibatkan kehancuran sebagaimana yang dijelaskan oleh Kitab Niti Sastra pada Arthasastra Kautilya yang secara eksplisit menyatakan: “Pemimpin bodoh akan menghancurkan negara seperti perahu retak di samudra” (Arthasastra I.7.9) dari sini kita dapat menangkap makna jika memimpin negara bukan lagi tempat uji coba bagi yang tak kapabel. Bahkan bhagavad ghita pun menjelaskan perlu kecerdikan (dākṣya) sebagai senjata utama pemimpin untuk membedakan mana yang merupakan kebenaran (satya) dan kesesatan (mithyā).
Penulis : Putu Ayu Suniadewi (Calon Anggota PC Badung)
Editor : Arya Dhanyananda (Ketua PC KMHDI Badung)
