![]()
Denpasar, kmhdi.org – Selama puluhan tahun, Bali dikenal dunia sebagai “Pulau Dewata” dengan keramah-tamahan penduduknya yang menjadi ikon pariwisata global. Namun, di balik senyum yang selama ini menjadi wajah promosi pariwisata, kini tersimpan keresahan mendalam. Fenomena “Luka di Balik Senyum yang Indah” mencerminkan kegelisahan masyarakat lokal yang merasa kedaulatan ruang hidupnya kian tergerus oleh arus pembangunan dan komersialisasi lahan.
Narasi ini muncul sebagai bentuk respons terhadap masifnya alih fungsi lahan dan komersialisasi tanah di Bali yang seringkali hanya menguntungkan segelintir pihak. Masyarakat lokal merasa bahwa “keramahan” yang selama ini dijunjung tinggi justru menjadi celah bagi eksploitasi yang perlahan menyingkirkan mereka dari tanah kelahiran sendiri.
Bali kini berada di persimpangan jalan. Di balik citra ramah yang terus dijual ke dunia, muncul suara-suara kegelisahan mengenai masa depan tanah dan budaya Bali. Fenomena “Luka di Balik Senyum yang Indah” menjadi simbol perlawanan terhadap masifnya alih fungsi lahan yang mengancam ruang hidup, jati diri, dan keberlanjutan budaya masyarakat Bali.
Regulasi yang Dinilai Belum Berpihak
Persoalan alih fungsi lahan di Bali bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap tatanan sosial dan ekologi. Para pengamat kebijakan publik dan aktivis lingkungan menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan tata ruang secara konsisten dan berpihak pada masyarakat lokal.
“Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan sawah dan kawasan suci kalah oleh semen dan beton atas nama investasi. Jika regulasi alih fungsi lahan hanya bersifat administratif tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar tata ruang, maka masyarakat lokal akan terus terdesak ke pinggiran. Perlindungan lahan bukan hanya soal ketahanan pangan, tapi soal menjaga martabat dan ruang hidup rakyat Bali.”
Penyempitan Ruang Hidup Masyarakat Lokal
Kritik tajam juga diarahkan pada kebijakan pariwisata yang dianggap terlalu berorientasi pada kuantitas (mass tourism). Kondisi ini memaksa masyarakat menjual lahan karena tekanan ekonomi dan beban pajak yang tinggi, sementara harga tanah melonjak jauh di luar jangkauan warga lokal. Akibatnya, ruang hidup dan identitas masyarakat Bali kian menyempit, memicu krisis sosial dan budaya.
Pemerintah didesak untuk segera melakukan audit tata ruang, memperketat izin pembangunan akomodasi wisata di zona hijau, dan mengembalikan orientasi pembangunan Bali pada keseimbangan ekologis serta kesejahteraan masyarakat lokal.
Peringatan bagi Masa Depan Bali
Jika tren ini terus dibiarkan, Bali berisiko kehilangan “jiwa” yang membuatnya dikenal dunia. Pulau ini bisa saja berubah menjadi “museum hidup” — indah untuk dipandang, namun kehilangan masyarakat asli yang mampu melestarikan tradisinya secara utuh.
Krisis Identitas di Tengah Gempuran Angka
Kritik juga disampaikan terhadap paradigma pembangunan yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi dan target kunjungan wisatawan. Sementara di sisi lain, kesejahteraan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal justru terabaikan.
“Pemerintah sibuk mengejar angka, masyarakat sibuk menjual sisa-sisa. Jika ini berlanjut, Bali hanya akan menjadi nama indah di brosur tanpa ada orang Bali di dalamnya.”
Poin-Poin Utama Keresahan Masyarakat:
- Penyempitan ruang hidup: Lahan pertanian dan kawasan sakral berubah menjadi vila atau properti komersial.
- Ketimpangan ekonomi: Warga lokal hanya menjadi pekerja kelas bawah di tengah gemerlap investasi besar.
- Beban psikologis: Tuntutan untuk selalu ramah demi pariwisata, di tengah tekanan ekonomi dan sosial yang kian berat.
Panggilan untuk Kesadaran Bersama
Isu ini bukan sekadar bentuk protes, melainkan peringatan moral bagi seluruh pemangku kepentingan. Jika akar budaya dan kenyamanan hidup masyarakat tidak dijaga, Bali berisiko kehilangan jati dirinya.
Keramahan masyarakat Bali memiliki batas, terutama ketika ruang untuk berupacara, bertani, dan hidup layak kian terdesak oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Sudah saatnya kebijakan berpihak pada pelestarian hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan hidup, agar Bali tetap menjadi rumah yang bermartabat bagi generasi penerusnya.
Penulis: Andika Purnadana (Anggota PC KMHDI Tabanan)
