SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Ikigai: Tentang Umur Panjang dan Keberanian Bertanya

Jakarta, kmhdi.orgDalam kebudayaan Jepang, Ikigai (生き甲斐) dimaknai sebagai alasan untuk hidup. Bagaimana ia menjadi alasan seseorang bangun setiap pagi dan merasa hidupnya layak dijalani. Ikigai tidak selalu hadir dalam cita-cita besar. Ia justru lahir dari kesadaran yang sederhana namun jujur: apa yang membuat hidup ini bermakna dan berkelanjutan?

Ikigai terbentuk dari pertemuan empat hal: passion (apa yang dicintai), mission (apa yang dibutuhkan dunia), vocation (apa yang menopang hidup), dan profession (apa yang benar-benar dikuasai). Ketika keempatnya tidak bertemu, seseorang tetap bisa sibuk, bahkan sukses, tetapi pelan-pelan kosong. Hidup berjalan, makna tertinggal.

Konsep ini penting bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi organisasi. Sebab organisasi yang panjang umur tidak bertahan karena rutinitas, melainkan karena makna yang terus diperbarui.

KMHDI: Hidup Lama Belum Tentu Hidup Penuh

KMHDI telah melewati banyak periode. Struktur berganti, jargon berubah, tetapi pola sering berulang. Kita rajin berkegiatan, tertib berorganisasi, dan bangga pada sejarah. Namun, jarang sekali kita berhenti dan bertanya: apakah KMHDI hari ini masih punya Ikigai?

Pertanyaan ini sering dianggap tidak sopan, bahkan berbahaya. Ia dicurigai sebagai bentuk pembangkangan, atau dianggap melemahkan soliditas organisasi. Padahal, organisasi yang takut mempertanyakan maknanya sendiri sedang berada di titik rawan. Rawan lelah, rawan kehilangan arah, dan rawan ditinggalkan secara perlahan. KMHDI bisa saja terus hidup secara administratif. Rapat berjalan, kaderisasi terlaksana, laporan selesai, struktur tetap rapi. Namun hidup administratif tidak selalu berarti hidup secara ideologis dan emosional. Di titik ini, organisasi bergerak karena kewajiban, bukan karena kesadaran. Yang tersisa hanyalah rutinitas yang diulang, bukan tujuan yang diperjuangkan.

Lebih berbahaya lagi, kondisi ini sering disamarkan sebagaikematangan organisasi”. Padahal, yang disebut matang sering kali hanyalah kemampuan bertahan tanpa keberanian berubah. Kita menjadi organisasi yang lihai menjaga bentuk, tetapi canggung merawat makna. Ketika makna mulai memudar, kader tetap datang, tetapi dengan energi yang berbeda. Hadir secara fisik, namun absen secara batin. Loyal, tetapi lelah. Bertahan, tetapi tidak lagi bertumbuh. Organisasi tidak runtuh dalam satu malam; ia mengering perlahan, tanpa disadari. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan tentang Ikigai menjadi penting, bahkan mendesak. Bukan untuk menafikan sejarah atau mencurigai niat para pendahulu, melainkan untuk memastikan bahwa KMHDI tidak hanya hidup dari ingatan masa lalu, tetapi juga relevan dengan kegelisahan zaman sekarang.

Sebab organisasi yang panjang umur bukanlah yang paling lama berdiri, melainkan yang terus mampu menjawab satu pertanyaan mendasar: untuk apa ia masih ada hari ini?

Jika KMHDI ingin hidup penuh. Bukan sekadar hidup lama. Maka keberanian untuk bertanya tentang makna bukanlah ancaman. Ia justru tanda bahwa organisasi ini masih bernapas, masih peduli, dan belum menyerah pada kelelahan kolektif.

Membaca KMHDI Lewat Empat Irisan Ikigai

1.Passion: Dari Cinta Menjadi Kewajiban

Banyak kader bertahan bukan karena cinta, tetapi karena rasa sungkan, tekanan moral, atau takut dianggap tidak setia. Jika ini dibiarkan, KMHDI akan dipenuhi kader yang hadir secara fisik, tetapi absen secara batin. Organisasi yang tidak lagi dicintai kadernya sedang menunggu kelelahan kolektif.

2.Mission: Untuk Umat atau untuk Diri Sendiri?

KMHDI sering bicara atas nama umat, tetapi terlalu jarang mendengar denyut umat yang sesungguhnya. Terutama umat Hindu di daerah minoritas, yang berjuang dalam senyap. Jika organisasi lebih sibuk merawat simbol dan forum internal daripada menjawab kebutuhan nyata, maka mission tinggal slogan.

3.Vocation: Pengabdian Tanpa Keberdayaan

KMHDI gemar merayakan pengorbanan kader, tetapi kurang serius membangun keberdayaan mereka. Relasi, kapasitas, dan kemandirian sering dianggap bonus, bukan tanggung jawab. Padahal, organisasi yang sehat tidak hidup dari romantisme pengabdian semata.

4.Profession: Semangat Tanpa Kompetensi

Pidato lantang tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan kerja. Jika kaderisasi hanya melahirkan kader yang fasih berbicara tetapi gagap membaca kebijakan dan realitas sosial, maka KMHDI sedang memproduksi simbol, bukan solusi.

Mencari Ikigai KMHDI

Ikigai mengajarkan satu hal mendasar: keberlanjutan tidak lahir dari paksaan, melainkan dari kesadaran. Ia tumbuh ketika sesuatu dijalani bukan karena harus, tetapi karena dirasa perlu dan bermakna. Dalam konteks ini, persoalan KMHDI bukan terletak pada minimnya kegiatan, melainkan pada keberanian untuk bertanya apakah seluruh kegiatan itu masih memiliki arti yang utuh.

KMHDI hari ini tidak kekurangan agenda. Kalender organisasi penuh, struktur bergerak, dan kaderisasi terus berjalan. Namun, kesibukan yang tidak disertai refleksi hanya akan melahirkan kelelahan kolektif. Kita terus bergerak, tetapi jarang berhenti untuk memastikan arah. Kita sibuk menjaga keberlangsungan, tetapi lalai merawat tujuan.

Jika KMHDI ingin berumur panjang, maka ia harus berani memilih. Tetap sibuk namun perlahan kosong, atau berhenti sejenak untuk menata ulang alasan keberadaannya. Pilihan ini tidak mudah, sebab berhenti sejenak sering disalahartikan sebagai kemunduran. Padahal, dalam banyak tradisi berpikir, justru jeda adalah tanda kedewasaan.

Ikigai tidak meminta organisasi untuk meninggalkan sejarahnya. Ia justru menuntut kejujuran: apakah sejarah itu masih hidup dalam praktik hari ini, atau hanya dipajang sebagai kebanggaan masa lalu. Tanpa kejujuran ini, organisasi akan terus berjalan, tetapi kehilangan daya gugahnya. Baik bagi kader maupun bagi umat yang seharusnya dilayani.

KMHDI tidak akan runtuh karena kritik. Kritik adalah tanda cinta dan kepedulian. Yang lebih berbahaya adalah keengganan untuk bercermin, karena di situlah organisasi mulai menutup dirinya dari perubahan. Organisasi yang menolak bercermin sebenarnya sedang menunda krisisnya sendiri.

Mungkin sudah waktunya kita mengubah jenis pertanyaan yang kita ajukan. Bukan lagi sekadar apa kegiatan berikutnya, tetapi mengapa kegiatan ini perlu dilakukan. Bukan hanya bagaimana menjaga organisasi tetap hidup, tetapi apa yang membuat organisasi ini layak diperjuangkan.

Jika KMHDI menemukan Ikigainya, ia tidak hanya akan bertahan sebagai nama dan struktur. Ia akan hidup sebagai ruang makna, yang dirindukan kadernya, relevan bagi umatnya, dan mampu menjawab tantangan zamannya.

Dan pada titik itulah, KMHDI tidak sekadar hidup lama.

Ia hidup penuh.

.

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Pengurus PP KMHDI)

.

.

Share:

administrator