![]()
Mataram, kmhdi.org – Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Kota Mataram berkolaborasi dengan Komisariat KMHDI IAHN Gde Pudja Mataram sukses menggelar forum diskusi bertajuk Perspektif Hukum Adat terhadap Hukum Perdata pada Sabtu lalu, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Sarasvati. Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Dr. I Gusti Ayu Aditi, SH., MH., akademisi dan pakar hukum, serta Ida Bagus Wiratama, SH., MH., dengan moderator yang memandu jalannya dialog reflektif (6/9).
Dalam pemaparannya, Dr. I Gusti Ayu Aditi menegaskan bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Meskipun tidak tertulis, hukum adat tetap memiliki daya paksa, sanksi, dan pengakuan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, hukum adat bersifat fleksibel dan dinamis mengikuti perkembangan zaman.
“Setiap daerah memiliki adat dan tradisinya masing-masing. Di sinilah letak kekuatan hukum adat, karena ia mampu menyesuaikan diri dengan konteks masyarakat yang melahirkannya,” jelas Dr. Aditi.
Namun, fleksibilitas hukum adat seringkali berbenturan dengan hukum perdata yang bersifat tertulis dan kodifikatif. Kodifikasi hukum, menurut Dr. Aditi, berpotensi membekukan sifat dinamis hukum adat. Ia mencontohkan persoalan warisan sebagai isu krusial, di mana prinsip kesetaraan dalam hukum perdata kerap berbenturan dengan ketentuan hukum adat yang masih menempatkan laki-laki sebagai pihak utama dalam pewarisan.
Sebagai solusi, Dr. Aditi mendorong penyusunan Kompilasi Hukum Waris Adat agar hukum adat tetap relevan, hidup, sekaligus harmonis dengan hukum nasional dan hukum agama.
“Paling tidak kita memiliki pedoman yang jelas, agar hukum adat tidak lagi terpinggirkan dan masyarakat mendapat kepastian hukum,” pungkasnya.
Materi kemudian dilanjutkan oleh Ida Bagus Wiratama, SH., MH., yang menekankan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya, nilai, politik, dan ekonomi. Hukum, menurutnya, merupakan bagian dari susunan interaktif yang harus dijalankan bersama.
“Kalau kita bicara budaya, itu bicara nilai. Hukum bicara kepastian, keadilan, dan manfaat. Politik bicara tujuan. Ekonomi bicara kebutuhan. Jika susunan imperatif ini tidak berjalan seimbang, maka hukum tidak akan efektif,” tegasnya.
Sebagai penutup, ditegaskan kembali bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan tegas antara perdata, pidana, maupun cabang hukum lainnya. Dalam pluralisme hukum Indonesia, hukum adat dan hukum nasional bukan untuk saling melemahkan, melainkan saling menguatkan melalui harmonisasi dan sinkronisasi.
Diskusi ini menjadi ruang refleksi spiritual sekaligus intelektual. Moderator mengingatkan kembali ungkapan klasik ubi societas, ibi ius, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Acara ditutup dengan harapan agar hasil diskusi dapat menjadi rekomendasi bagi pembentukan regulasi ke depan, demi terwujudnya sistem hukum nasional yang adil, inklusif, dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa.
