Oleh : PD KMHDI Bali
Pengantar
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) adalah organisasi kemahasiswaan bernafaskan Hindu satu – satunya yang ada dalam skala nasional. Struktur KMHDI telah berdiri di berbagai provinsi, salah satunya adalah Pimpinan Daerah (PD) KMHDI Bali. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, KMHDI memiliki cita – cita perjuangan untuk mensejahterakan kehidupan bangsa dengan menguatkan nilai kebebasan, keadilan dan solidaritas yang dianut rakyat Indonesia. Dengan prinsip yang sama, maka PD KMHDI Bali harus mengabdikan dirinya untuk berada ditengah berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Bali.
Provinsi Bali yang diberi julukan “Pulau Dewata” selain menyimpan beragam keindahan alam, ternyata juga menimbun segudang masalah lingkungan. Perusakan lingkungan langgeng dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, baik yang bersumber dari kebijakan pembangunan pemerintah hingga yang bersumber dari pola hidup masyarakat minim edukasi.
Banyak catatan yang perlu kita bawa untuk menghadapi tahun 2023 dengan permasalahan lingkungan yang tak kunjung usai, bahkan justru bertambah banyak. Dampak kerusakan lingkungan yang harus menjadi catatan kita antara lain: peningkatan intensitas bencana banjir dan longsor, krisi air bersih, dan adanya kandungan pestisida kimia dan mikroplastik pada pangan sehari – hari.
Tanpa adanya solidaritas untuk membangun kesadaran, maka kerusakan lingkungan di Bali hanya menjadi wacana masalah yang tidak dipermasalahkan, hingga akhirnya berlabuh pada slogan nak mule keto1. Pun ketika telah disadari adanya masalah kerusakan lingkungan, tanpa jiwa karsa untuk menyelesaikan masalah, maka yang akan terjadi adalah saling tuduh dan saling menyalahkan. Sehingga dalam hal ini, mari kita diskusikan berbagai permasalahan lingkungan yang ada di Bali untuk selanjutnya kita rumuskan solusi bersama – sama.
Inventaris Masalah Kerusakan Lingkungan di Pulau Dewata
- Peningkatan Intensitas Bencana Banjir dan Longsor
Masifnya bencana banjir hingga longsor yang terjadi akhir–akhir ini harus menjadi atensi serius. Bencana yang melanda seluruh kabupaten tersebut adalah bukti nyata adanya perusakan lingkungan dalam bentuk alih fungsi lahan secara signifikan. Hal tersebut terjadi salah satunya adalah karena adanya pembangunan infrastruktur yang atraktif terhadap lingkungan.
Walaupun banjir dan longsor adalah permasalahan klasik, namun sedikit berbeda dengan kondisi di masa lampau, masalah mendasar yang dihadapi hari ini adalah cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Banjir dan longsor kemarin yang telah memakan banyak korban jiwa hingga memutus jembatan penghubung di beberapa kabupaten ini juga menunjukan bahwa upaya pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk drainase di Bali sangat minim. Berkurangnya ruang vegetasi di dataran tinggi hingga dan lahan curam akibat pengerukan proyek turut hadir menjadi alasan banjir dan longsor. Tentu upaya pemerintah untuk menyelamatkan dan melindungi hutan Mangrove harus diapresiasi, namun hadirnya proyek lain yang bertolak dengan mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya diberi kritik. Selain itu, permasalahan penanganan sampah juga menjadi sumber masalah yang harus diatasi.
1.1 Pembangunan Tol Gilimanuk – Mengwi Ancam Irigasi
Direktur Eksekutif Walhi2 Bali I Made Krisna Dinata dalam wawancara CNN Indonesia (18/10/22) menyampaikan kritik terhadap pembangunan proyek Tol Ginimanuk – Mengwi karena telah mengorbankan setidaknya 98 titik subak yang memiliki fungsi sistem irigasi dan mengatur hidrologis air. Umumnya satu hektare sawah dengan tinggi air 7 cm dapat menampung hingga 3.000 ton air. Sehingga dalam pembangunan proyek Tol Gilimanuk – Mengwi yang menghilangkan 480,54 hektare sawah, maka dapat diperkirakan akan ada 1.441.620 ton air yang tidak teririgasi dan tertampung oleh persawahan.
Kritik atas pembangunan Tol Gilimanuk – Mengwi juga dilontarkan oleh Ida Bagus Ketut Susena Ketua Umum Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (PUSKOR HINDUNESIA). Dalam buku yang diluncurkan pada Musyawarah Koordinasi Nasional (MUKORNAS) I PUSKOR HINDUNESIA, IB. Ketut Susena menyampaikan pembangunan Tol ini tidak sesuai dengan nilai kearifan lokal masyarakat Bali terhadap keselarasan alam yakni Palemahan3 dalam ajaran Tri Hita Karana. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa proyek tersebut kontradiktif dengan narasi Nangun Sad Kertih Loka Bali sebagai Visi Misi Gubernur Bali I Wayan Koster. Di sisi lain, ia juga menerangkan proyek Tol Gilimanuk – Mengwi selain menghilangkan sawah, juga memberi potensi konversi lahan lain di sepanjang jalan Tol, baik untuk membangun rest area, perumahan, sarana hiburan, dan lain sebagainya. Hal tersebut akan berakibat betonisasi Bali yang semakin mengurangi daya serap tanah terhadap air dan kembali mengancam ruang – ruang drainase.
Pimpinan Daerah KMHDI Bali juga telah menuliskan kajian khusus yang dipaparkan berbarengan dengan pernyataan sikap untuk menolak pembangunan Tol Gilimanuk – Mengwi saat mengadakan diskusi publik bertema “Masa Depan Subak Menghadapi Mega Proyek Tol Gilimanuk – Mengwi” pada Senin (5/9/22), di Denpasar.
1.2 Sungai Meluap, Warga Konsisten Betonisasi dan Menumpuk Sampah
Lingkungan hidup masyarakat di Bali semakin menunjukkan tanda – tanda kerusakan. Dibuktikan dengan intensitas banjir di wilayah pemukiman warga. Hal ini tak lepas dari minimnya edukasi masyarakat untuk mempertahankan daya serap tanah terhadap air dan jalur irigasi di sekitar rumah.
Pembangunan untuk pemukiman warga cenderung mengabaikan prinsip konservasi tanah, dengan dalil efisiensi waktu dan anggaran. Penggunaan paving block yang masiv berakibat pada pemblokiran proses penyerapan air, sehingga mengakibatkan terjadi genangan air. Genangan air tersalurkan dari pemukiman di dataran yang lebih tinggi menuju pemukiman yang lebih rendah. Akibatnya, banjir terjadi di wilayah pemukiman yang lebih rendah dikarenakan tidak sanggup menampung genangan air yang dikirim dari bergagai wilayah yang lebih tinggi.
Pada awal bulan Oktober kemarin, terjadi banjir di enam titik di Kota Denpasar. Wali Kota Denpasar Jaya Negara mengkonfirmasi bahwa banjir tersebut akibat genangan air dari berbagai wilayah terkonsentrasi di Tukad Badung, mengakibatkan Tukad Badung meluap. Hal sempat serupa terjadi pada Tukad Mati di sekitaran Jalan Dewi Sri. Dalam permasalahan lain, penyumbatan oleh sampah di berbagai saluran air mempercepat proses terjadinya peluapan sungai. Hal itu disebabkan oleh penumpukan sampah yang tidak tertangani akibat minimnya edukasi dalam masyarakat terkait jalur irigasi di sekitar pemukiman.
Ditambah lagi, ketidaksadaran masyarakat luas yang membuang cairan pembersih dan minyak jelantah lewat saluran air jatuh dan diserap tanah. Cairan kimia pembersih dan minyak jelantah yang terserap oleh tanah akan menjadikan tanah memiliki kadar asam yang tinggi sehingga terjadi pengerasan (kerak). Tanah yang telah berkerak tentu saja secara drastis menurunkan kemampuannya untuk menyerap air. Bayangkan bahwa proses kimiawi ini telah terjadi selama puluhan tahun.
2. Krisis Air Bersih untuk Rakyat Sebagai Tumbal Pariwisata Kapitalistik
Krisis air bersih adalah cerita ironis yang datang dari wilayah Badung Selatan. Beginilah adanya Bali, disatu wilayah tergenang air melimpah banjir, di wilayah lain diancam krisis air. Dikutip dalam buku “Suara Berbeda Dari Pulau Dewata” disampaikan bahwa sejak 2013 masyarakat Badung Selatan, khususnya Jimbaran dan Nusa Dua telah kesulitan untuk mendapatkan air bersih dari tanah. Ini adalah dampak industri pariwisata yang kelewat maju di Kuta hingga Nusa Dua. Berbagai macam Villa, Hotel, dan seluruh wahana kunjungan tamu – tamu kapitalis asing yang tak terhitung jumlahnya menyebabkan eksploitasi terhadap sumber air dalam tanah.
Hingga tahun 2014, diperlukan sumur sedalam 80 meter untuk mendapatkan air bersih yang tersimpan didalam tanah. Apabila dikalkulasi pada masa itu, biaya pengeboran sumur sebesar 1 juta rupiah per meter, bila dihitung dengan pembelian pompa, mesin dan perangkat lainnya, maka kira kira diperlukan sekitar 100 juta rupiah sebagai standar untuk mendapatkan sumber air bersih. Tentu nilai ini adalah relatif murah bagi para investor dan kapitalis yang hanya mementingkan kebutuhan bisnis semata, akhirnya menjadikan masyarakat merasa terasing dari wilayahnya sendiri.
Apabila diulas kembali, ketersediaan air didalam tanah akan bergantung pada jumlah air yang diserap dari permukaan tanah. Ini artinya, krisis air juga disebabkan oleh betonisasi dan ruang vegetasi yang direnggut demi pembangunan infrastruktur dan industri. Alasan yang sama akhirnya menjadi argumen untuk menolak agenda reklamasi teluk Benoa, karena tanah yang harusnya berfungsi menyerap air di dataran tinggi dan jurang justru dibuang ke laut.
Reklamasi juga memberi hadiah abrasi, bencana bagi warga pesisir. Hal ini dikarenakan abrasis mengakibatkan air laut terserap lebih banyak menuju tanah. Air laut yang terserap tersebut berakibat air tanah menjadi air payau pada batasan radius tertentu. Tentu air payau tak layak untuk dikonsumsi. Bahkan, tanah yang didalamnya telah mengandung air payau akan sulit ditanami dan akan berubah menjadi lebih gersang.
3. Sayur dan Ikan: Pestisida Kimia dan Mikroplastik
3.1 Dilematis Petani Konvensional oleh Janji – Janji Sistem Organik
“Gubernur Bertekad Jadikan Bali Pulau Organik”, demikian judul berita Antara pada tahun 2010, “Kami optimis, dalam dua atau tiga tahun kedepan, Bali sudah menjadi pulau organik dengan aneka tumbuhan alami yang terbebas dari unsur kimiawi,” kata Gubernur Made Mangku Pastika dalam berita tersebut (25/2/10). Patut diapresiasi bahwa para petani telah diberi tugas untuk memajukan sektor pertanian dengan beralih ke sistem pertanian organik dengan upaya–upaya pendampingan dan pembentukan kelompok sebagai penyalur pupuk dan pestisida organik. Namun, inkonsistensi kelompok Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) yang dibentuk oleh Mangku Pastika tersebut bertemu kebuntuan dan akhirnya menarik kembali para petani untuk memakai pestisida kimia.
Duabelas setengah tahun kemudian, kembali media Antara menerbitkan berita dengan judul “Gubernur Koster targetkan pertanian organik di seluruh Bali tahun 2024”, “Semua pertanian di Bali harus organik, 2024 paling lama. Kalau Bali sudah semua pertanian organik, maka saya akan proteksi pangan yang masuk ke Bali,” begitu kata Gubernur Wayan Koster (1/12/22)5. Terasa seperti déjà vu6, bagaimana tidak? narasi yang sama dilontarkan oleh pejabat yang sama. Kalaupun ini bukan déjà vu maka artinya ini adalah pesimisme. Pada masa lampau Gubernur Mangku Pastika yang mengupayakan pertanian organik dengan turun untuk membentuk kelompok Simantri saja masih gagal, bagaimana jika oleh Gubernur yang tidak turun ke lapangan dan membentuk kelompok apapun di masyarakat pertanian?. Walaupun keunggulan Gubernur Wayan Koster adalah dapat belajar dari kegagalan Gubernur sebelumnya, namun tetap saja wacana harus diimbangi dengan aksi lapangan.
Hal mendasar yang menghambat Bali untuk beralih ke sistem pertanian organik adalah keuntungan untuk para petani. Kesejahteraan tidak dapat dilihat dari sisi masyarakat umum saja, namun mengabaikan kesejahteraan para petani yang juga memiliki keluarga untuk dinafkahi dan anak untuk disekolahkan. Tak bisa dipungkiri bahwa para petani butuh tim yang secara intens mengedukasi mereka bagaimana cara menerapkan sistem pertanian organik. Para petani terlalu sibuk untuk memanfaatkan alat produksi dan seluruh waktunya untuk beraktivitas produktif, sehingga tidak ada waktu yang perlu disisihkan untuk barang gagasan yang belum konkrit, apalagi utopis.
Pestisida kimia yang disemprotkan ke tanaman – tanaman sayur oleh para petani secara sadar maupun tidak sadar telah meracuni masyarakat sekaligus mencemari tanah dan air. Namun, menjual lahan pertanian untuk dialih fungsikan juga bukan solusi. Sehingga, apabila janji – janji sistem organik itu dilaksanakan dengan tidak mengesampingkan kesejahteraan petani, maka itu adalah sebuah langkah ideal untuk menyelamatkan semangat agraris di Pulau Dewata.
3.2. Temuan Mikroplastik dalam Tubuh Ikan Laut
Kebanyakan orang tua akan merekomendasikan untuk mengonsumsi ikan laut karena memiliki nilai gizi yang tinggi, namun bagaimana bila daging ikan mengandung mikroplastik?. Dikutip dari Media Indonesia (18/2/22), Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil melakukan penelitian terhadap 66 ikan di empat titik pantai di daerah Kuta, dan menemukan 20 ikan diantaranya telah mengandung mikroplastik. Mikroplastik tersebut merupakan sampah yang terkonsentrasi lama di laut sehingga serpihan plastik dengan ukuran dibawah 5 mm dan dapat masuk ke dalam ikan melalui insang atau saluran pencernaan.
Pada 2018 Seorang peneliti dari UNUD8 yang berkolaborasi dengan para peneliti Universitas Murdoch, Australia, melakukan penelitian terhadap jumlah mikroplastik di perairan jalur migrasi Pari Manta, yakni di Nusa Penida, Bali dan Taman Nasional Komodo, NTT. Temuan mereka adalah mikroplastik ditemukan pada setiap pelaksaan survey di kedua lokasi selama musim hujan. Rata – rata serpihan yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48 potong per meter kubik, dan di Taman Nasional Komodo 1,11 per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi Pari Manta menelan mikro plastik berkisar 40-90 potong per jam.
Permasalahan sampah plastik harus menjadi atensi serius bagi seluruh elemen manusia yang hidup diatas bhumi pertiwi Pulau Dewata. Dilansir dari media Tribun, dua tahun pasca Pergub 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Bali menghasilkan sekitar 4.281 ton sampah per hari, atau sekitar 1,5 juta sampah tiap tahun. Sekitar 829 atau 20 persen adalah sampah plastik9.
Penanganan sampah plastik di Bali adalah hal yang sangat kompleks, didalamnya perlu penegakan hukum yang telah ditetapkan, kesadaran moral masyarakat atas kewajiban memilah sampah rumah tangga yang dihasilkan, hingga pengelolaan penanganan sampah pada tingkatan desa secara efektif. Permasalahan yang kompleks ini perlu diuraikan dalam bentuk pendampingan dan pengawasan, sehingga dalam hal ini anggaran penanganan sampah oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali harus dinaikkan.
Kesimpulan
Bali memiliki segudang keindahan alam yang memukau, namun dibalik itu Pulau Dewata ini juga memiliki tumpukan permasalahan kerusakan lingkungan yang tak kunjung usai. Permasalahan kerusakan lingkungan tersebut akhirnya berdampak pada terganggunya kesejahteraan masyarakat Bali. Bentuk dari dampak kerusakan lingkungan itu diantaranya peningkatan intensitas bencana banjir dan longsor, krisi air bersih, dan adanya kandungan pestisida kimia dan mikroplastik pada pangan sehari – hari.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Dewata adalah permasalahan nyata, sehingga PD KMHDI Bali sebagai organisasi yang tidak terpisahkan dari masyarakat Bali harus memberikan perhatiannya dengah hadir di tengah masyarakat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Langkah – langkah moral, baik dalam bentuk diskusi, pernyataan sikap, maupun aksi harus terus dilakukan agar semangat memperjuangkan solusi dari kerusakan lingkungan dapat dihadirkan. Kolaborasi antar komponen gerakan ditengah masyarakat harus terus digalang tanpa mengesampingkan prinsip dasar organisasi demi mempercepat proses pemulihan Pulau Dewata dari kondisi kerusakan lingkungan.