Palangka Raya, kmhdi.org – Setiap 1 Mei, ribuan buruh turun ke jalan. Mereka membawa spanduk, pengeras suara, dan harapan yang terus-menerus dibayar dengan janji kosong. Namun di balik gegap gempita orasi dan parade tuntutan, May Day hari ini menyimpan ironi yang memuakkan, ketika pundak buruh digunakan untuk menggendong pundi-pundi uang kotor. Hari Buruh tidak lahir dari panggung dan podium megah. Ia lahir dari darah, keringat, dan pengorbanan kaum pekerja yang menuntut keadilan di Haymarket, Chicago, 1886. Namun kini, semangat itu telah dikemas dalam format seremonial, penuh baliho, sponsor, bahkan booth komersial yang ironisnya berdiri di tengah-tengah aksi protes terhadap sistem kapitalisme.
Alih-alih menjadi momentum perlawanan, May Day hari ini lebih menyerupai panggung politik dadakan. Elite muncul bukan sebagai penyambung suara buruh, tetapi sebagai pemain sandiwara yang sedang menagih elektabilitas. Dengan satu tangan mengangkat tangan buruh, tangan lainnya menyodorkan proposal anggaran kepada sponsor korporat yang selama ini justru menjadi bagian dari penindasan terhadap para pekerja. Di medan aksi, buruh digerakkan oleh amarah dan luka. Di meja belakang, para makelar kebijakan menghitung berapa banyak yang bisa dikantongi dari kerumunan itu. Uang kotor tak hanya berasal dari sumbangan tanpa nama atau transaksi gelap logistik aksi; lebih dalam, ia mengalir dari kooptasi isu buruh untuk kepentingan politik jangka pendek. Ada ormas yang mendadak jadi pembela buruh menjelang pemilu. Ada partai yang menjanjikan UU baru tapi menolak mencabut UU Cipta Kerja. Ada juga pemilik modal yang mendanai aksi buruh tertentu demi menjatuhkan lawan bisnis. Dan buruh, lagi-lagi dijadikan pion.
“Naikkan upah!”, “Cabut Omnibus Law!”, “Berikan jaminan kerja layak!”, seruan itu menggema setiap tahun. Tapi apa yang berubah? Tahun berganti, namun narasi tetap sama, karena perjuangan buruh kini berjalan di tempat. May Day telah kehilangan daya dobraknya, terjebak dalam simbolisme kosong yang dikooptasi berbagai kepentingan. Apakah ini kesalahan buruh? Tidak sepenuhnya. Banyak dari mereka yang benar-benar berjuang dengan tulus. Tapi sistem yang membungkus gerakan buruh hari ini dipenuhi jebakan, dari organisasi boneka yang dikendalikan elite, hingga birokratisasi tuntutan yang ujungnya hanya menjadi formalitas laporan.
Meski begitu, belum semua mati. Di sela kerumunan, masih ada suara-suara yang tak tunduk. Mereka tak punya panggung megah, tapi mereka punya prinsip. Mereka bukan alat partai, bukan anak buah serikat yang dibiayai korporat. Mereka menolak menjadi pundak bagi pundi uang kotor. Gerakan buruh perlu kembali pada akarnya, radikal, jujur, dan tak bisa dibeli. Karena hanya dengan itu, May Day akan kembali menjadi ancaman bagi penindas, bukan sekadar panggung bagi penguasa yang berpura-pura peduli.
May Day hari ini bukan soal selebrasi, tapi evaluasi. Apakah kita masih sedang melawan, atau justru sedang diperjualbelikan? Jika pundak buruh terus dipakai untuk menggendong pundi uang kotor, maka gerakan ini bukan sedang menuju kemerdekaan, melainkan sedang berjalan menuju kehancuran yang dikawal sorak-sorai penuh kepalsuan.
Penulis: Komang R. Vidya Laxemi (Fungsionaris PD KMHDI Lampung)