SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Mataram, kmhdi.org – Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Mataram dan Pimpinan Daerah KMHDI Nusa Tenggara Barat (PD KMHDI NTB) sukses menyelenggarakan kegiatan Malam Sastra dalam rangka perayaan Hari Raya Siwaratri pada Minggu, (27/1) di Pura Pancaka, Kota Mataram.

Kegiatan ini diawali dengan persembahyangan bersama yang kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi bertema “Modernitas dalam Upakara dan Praktik Keagamaan di Era Globalisasi.” Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Ketut Edi Ariawan, S.Ag., M.PdH selaku Kepala Seksi Bimas Hindu Provinsi NTB dan Ida Bagus Widiadnyana, S.Pd., S.Fil., M.Pd selaku Penyuluh Agama Hindu Kota Mataram.

Dalam pemaparannya, Ketut Edi Ariawan menyoroti sejarah masuknya Hindu ke Indonesia melalui jalur perdagangan serta reformasi dalam ajaran agama. Ia menekankan pentingnya memahami tiga pilar utama dalam praktik keagamaan Hindu, yaitu tantra, mantra, dan yantra. Selain itu, ia mengkritisi modernisasi yang mengubah esensi upakara, seperti penggunaan bunga plastik dalam banten dan canang, serta perubahan struktur sanggah cerucuk dari bambu menjadi besi. Ia menegaskan bahwa pendekatan spiritual yang tulus sangat diperlukan dalam praktik keagamaan, bukan hanya pendekatan logika semata.

“Agama tidak cukup hanya dipahami dengan logika, tetapi juga membutuhkan pendekatan spiritual. Jangan sampai pemikiran cerdas yang tidak berlandaskan Weda justru menghancurkan nilai-nilai keagamaan dan keseimbangan duniawi,” tegasnya.

Sementara itu, Ida Bagus Widiadnyana menjelaskan konsep upakara dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yakni Tattwa, Susila, dan Acara. Khususnya dalam konsep Acara, ia menyoroti perubahan bahan yang digunakan dalam upakara, seperti plastik dan bahan non-alami, yang dapat mengurangi esensi spiritualnya. Menurutnya, semua benda yang berasal dari alam memiliki prana (energi kehidupan) yang dapat menghantarkan doa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

“Banyak yang mulai berpikir pragmatis dengan mencari cara instan dalam pelaksanaan upacara. Agama Hindu tidak melarang modernisasi, tetapi esensi dan substansi upakara harus tetap dijaga sesuai dengan ajaran Weda,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa perubahan tersebut bertentangan dengan konsep Tri Hita Karana, khususnya dalam konsep Palemahan yaitu menjalin hubungan harmonis kepada alam atau lingkungan. Ia mengingatkan pentingnya pemahaman agama secara holistik agar umat Hindu dapat memahami sepenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam upakara yang digunakan dalam ritual upacara keagamaan.

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi generasi muda Hindu dalam memahami dan mempertahankan nilai-nilai tradisi keagamaan di tengah derasnya arus modernisasi. Dengan demikian, nilai spiritual dalam setiap upakara tetap terjaga dan tidak kehilangan makna hakikinya.

Share:

administrator