SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Bandung, kmhdi.orgDi rumah sendiri, kadang kita merasa seperti tamu. Kalimat itu bukan drama, tapi kenyataan diam-diam yang dirasakan umat Hindu yang hidup di luar Bali. Di antara gemuruh seruan toleransi, berdiri satu bangunan kecil—kadang di pojok kontrakan, kadang di lahan milik institusi, kadang tak berdiri sama sekali. Tapi di situlah keyakinan kami tetap menyala.

Tak selalu megah, tak selalu di tanah sendiri, tapi selalu penuh perjuangan. Menjadi Hindu di tanah rantau bukan cuma soal cari tempat sembahyang. Ini menyoal identitas yang terus digerus, soal stigma yang tak kunjung luruh, dan soal bertahan di tengah angin dominasi budaya mayoritas. Banyak dari kami bukan sengaja memilih menjadi minoritas—kami lahir dan besar di sini. Tapi kami tetap sembahyang. Kami tetap Hindu.

Jejak Sunyi dan Ketegangan di Balik Kontrakan

Di Purwakarta, ada satu pasraman kecil dengan satu plangkiran yang berdiri di pojok kontrakan milik salah satu umat. Hanya 19 kepala keluarga yang menopangnya—semua pekerja pabrik. Mereka sembahyang dan mengajarkan agama Hindu pada anak-anak mereka dengan kondisi seadanya; kalau panas, ya kepanasan, kalau hujan, ya kehujanan. Waktu untuk menjangkau stakeholder? Mana sempat—semua berkerja dari pagi sampai malam. Tapi satu hal yang mereka punya adalah mimpi: tempat belajar agama yang layak untuk anak-anak mereka.

Mimpi sederhana, tapi terasa begitu mewah di tengah sistem yang tak pernah benar-benar berpihak. Saya juga pernah mengalami pahitnya jadi minoritas. Nilai agama saya dipotong karena guru di sekolah umum merasa pasraman tak “sah”. Pernah juga harus merasakan dilempari batu kerikil waktu mau taruh canang di teras rumah—pelakunya? Anak kecil usia 8 tahunan yang baru saja pulang belajar mengaji. Di satu sisi, media sosial penuh cerita toleransi dan foto-foto seremonial.

Tapi realitasnya tak selalu semanis itu. Bahkan pernah ada satu waktu di sebuah kampung di Bekasi yang, kata warga setempat, siap “jihad” kalau ada pura didirikan. Bukan melebih-lebihkan, tapi bisik-bisik realita yang terus hidup di antara kami.

Rumah Ibadah dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Pura di tanah rantau tak bisa begitu saja berdiri. Ada regulasi, jumlah minimal KK, dan tentu: persetujuan lingkungan. Bahkan kalau semua itu terpenuhi, belum tentu pemerintah daerah setuju. Maka berdirilah pura-pura di tengah kompleks instansi berseragam sebagai solusi paling rasional. Ada yang menumpang di komplek militer, ada yang di komplek polisi.

Bukan karena umat ingin dekat aparat, tapi karena terkadang hanya lembaga itu yang berani membuka pintu. Masalahnya, ini bukan solusi jangka panjang. Status hukum pura yang berdiri di tanah instansi negara seringkali tak jelas. Apakah akan tetap dapat menjadi tempat “berjuang” untuk generasi berikutnya? Apakah terus menerus umat yang menjadi aparat tinggal disana dan memberikan kepastian? Dan secara simbolik, kenapa ruang spiritual harus terus bergantung pada otoritas duniawi? Ini menunjukkan betapa umat minoritas harus selalu merunduk, harus pandai membaca angin, bahkan untuk sekadar mengadu tentang bagaimana hari ini pada Tuhannya.

Minoritas dalam Minoritas

Pernah satu waktu dua kawan saya dari Jawa Timur pakai baju adat Bali saat purnama di salah satu pura saat mereka bersama rombongan kampus mereka. Saya kira mereka sedang merayakan euphoria baju baru bergaya Bali. Tapi ketika saya tanya pada salah satunya kenapa ia tidak pakai lurik atau blangkon, jawabnya pelan, “Yo, ndak enak mas. Aku malu kelihatan beda.”

Kalimat itu menghantam keras, lebih keras dari suara baleganjur saat ngaben. Ini bukan sekadar soal pakaian, tapi soal representasi. Bahwa di ruang publik, Hindu seakan-akan = Bali. Titik. Salah satunya yang dari Tengger bahkan bercanda getir: “Kalau aku pakai baju adat tengger, jadinya beda sendiri dong, Mas.” Candaan itu menyimpan luka lama. Ketika satu budaya menjadi standar ekspresi religius, maka budaya lain mengecil, menyusut, atau dipaksa menyesuaikan.

Menyala dalam Diam

Tapi di balik semua luka dan keterbatasan itu, umat Hindu di rantau tetap menyala. Dari garasi rumah yang disulap jadi tempat persembahyangan, dari kamar kos yang beraroma dupa, dari kontrakan sempit yang tiap purnama tetap bersih dan rapi. Keberanian itu tumbuh bukan dari jumlah, tapi dari keteguhan. Bukan dari pusat, tapi dari pinggiran yang menolak padam. Dan mungkin, sudah waktunya pusat mendengar pinggiran. Sudah saatnya organisasi Hindu nasional benar-benar menjadi nasional—bukan cuma dari struktur, tapi dari hati.

Bahwa Hindu bukan hanya udeng dan gamelan. Bahwa Hindu juga lurik, lawung Dayak, songkok Bugis, dan kulit legam anak buruh yang berdoa di pojok kontrakan. Karena menjadi Hindu di rantau bukan sekadar tentang membakar dupa di malam purnama. Tapi tentang menjaga bara keyakinan di tengah badai homogenisasi. Tentang membela ruang bagi mereka yang tak ingin disamakan, tapi juga tak ingin disingkirkan.

Dan saya masih menunggu hari di mana kawan saya dari Jawa bisa datang ke pura dengan bangga memakai blangkon, bukan karena “ikut budaya dominan”, tapi karena sadar: Hindu adalah rumah yang menampung semua budaya tanpa keraguan.

.

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Fungsionaris PP KMHDI)

Share:

administrator