Jakarta, kmhdi.org – Masyarakat kini hanya bisa geleng kepala menghadapi realita kebijakan yang semakin membagongkan. Di tengah narasi besar swasembada pangan dan ketahanan nasional, justru wacana penghapusan kuota impor kembali digaungkan. Sebuah ironi dalam wajah kebijakan publik: di saat petani menjerit karena harga anjlok, pemerintah malah membuka lebar pintu masuk produk asing.
Prabowo, sebagai presiden terpilih, tentu membawa semangat perubahan. Namun, ketika perubahan itu berarti membuka keran impor tanpa pembatasan kuota, kita patut bertanya: ini perubahan untuk siapa?
Selama ini, kuota impor menjadi salah satu alat negara untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan nasional dan perlindungan petani lokal. Tanpa kuota, logika pasar bebas akan merajai, dan pemain besar yang punya akses terhadap impor murah akan semakin menekan petani kecil yang berjuang sendirian di sawah dan ladang.
Kita tidak anti Impor. Tapi menghapus kuota tanpa sistem pengawasan dan dukungan terhadap produksi dalam negeri justru mempercepat kehancuran ekosistem pertanian lokal. Apakah kita mau terus bergantung pada negara lain hanya karena tergiur harga murah?
Lebih aneh lagi, di saat kampanye, jargon swasembada dan kedaulatan pangan dikumandangkan. Kini, belum genap satu tahun menjadi Presiden, kebijakan yang muncul justru bertolak belakang. Di mana letak keberpihakan pada petani? Di mana logika pembangunan yang berpihak pada rakyat?
Kami, masyarakat kecil yang hidup dari hasil bumi, bukan menolak modernisasi atau keterbukaan pasar. Tapi kami menolak ketidakadilan dan keputusan yang diambil tanpa keberpihakan pada mereka yang menjaga lumbung negeri.
Jika arah kebijakan seperti ini terus berlanjut, maka jangan heran jika suatu hari, bukan hanya petani yang bangkrut tapi kedaulatan pangan bangsa ini tinggal kenangan.
Penulis : Wayan Ardi Adnyana – Ketua Departemen Sosmas PP KMHDI