![]()
Jakarta, kmhdi.org – Mahasabha atau Kongres Nasional KMHDI sudah semakin dekat. Pada Januari mendatang, tepatnya di Provinsi Lampung, agenda dua tahunan ini akan dilaksanakan. Kader-kader terbaik KMHDI dari berbagai wilayah akan berkumpul dan menyampaikan pandangan umum serta laporan perkembangan organisasi di masing-masing daerahnya. Mahasabha merupakan momentum strategis untuk membaca ulang kondisi objektif organisasi secara nasional, menilai capaian dan kekurangannya, serta merumuskan langkah-langkah baru yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman. Di forum inilah arah gerak KMHDI dipertajam, keputusan besar diambil, dan pemimpin baru dipilih untuk menakhodai organisasi dua tahun ke depan.

Namun di balik seluruh agenda besar tersebut, ada satu ruang refleksi yang tak kalah penting: kesiapan calon pengurus Pimpinan Pusat KMHDI. Sebab Mahasabha tidak hanya menghasilkan program dan keputusan organisasi, tetapi juga melahirkan individu-individu yang akan mengemban amanat nasional—terutama mereka yang, dengan penuh keberanian, memilih untuk tinggal di Jakarta selama dua tahun ke depan demi menjalankan tugas organisasi.
Jakarta selalu terlihat gemerlap dari jauh. Ia memberi kesan sebagai pusat jejaring, pusat peluang, dan pusat perhatian nasional. Dari daerah, sering muncul pandangan bahwa menjadi pengurus Pimpinan Pusat identik dengan privilege—akses luas, relasi mudah, kesempatan besar, bahkan diasumsikan dekat dengan sumber-sumber materi. Pandangan ini berkembang, lalu menjadi stigma yang sering terdengar dalam obrolan kader: “Enak ya kalau jadi PP, pasti punya banyak kemudahan.”
Namun realitasnya sangat jauh dari itu. Jakarta adalah kota yang tidak memberi ruang bagi mereka yang lemah mental. Ia memaksa siapa pun yang tinggal di dalamnya untuk terus bergerak, terus berstrategi, dan terus bertahan. Biaya hidup yang tinggi, ritme sosial yang cepat, kompetisi yang ketat, dan tuntutan organisasi yang besar adalah kombinasi yang tidak semua orang siap hadapi. Maka, menjadi pengurus pusat bukanlah jalan nyaman—ia adalah jalan tempaan.
Selama lebih dari dua tahun, saya dan rekan-rekan yang kini berada di jajaran PP KMHDI telah menjalani tempaan itu. Kami datang dari daerah yang sederhana, membawa semangat, namun harus belajar ulang bagaimana bertahan di ibu kota. Tidak ada jaminan materi, tidak ada jalan pintas, dan tidak ada fasilitas mewah. Yang ada adalah tantangan sehari-hari: mengatur biaya hidup, mengelola waktu organisasi, menjaga fokus di tengah tekanan, serta tetap hadir menjalankan amanat organisasi meski kondisi pribadi kadang jauh dari ideal.
Betul apa kata Bambang Pacul: ada manusia-manusia yang disebutnya “korea”. Ini bukan sebutan untuk sebuah negara maju di kawasan Asia Timur, melainkan julukan bagi orang-orang yang ditempa keras namun justru semakin kokoh. Kami mungkin belum “jadi orang”, tetapi kami adalah kader yang ditempa. Kami menjalani proses panjang, jatuh-bangun, dan tetap berdiri karena keyakinan bahwa pengabdian nasional adalah jalan yang tidak semua orang sanggup pilih.
Di sisi lain, artikel ini tidak dibuat untuk mengerdilkan semangat kader-kader di daerah. Tidak ada hierarki rasa berjuang; setiap kader memiliki medan masing-masing. Justru tulisan ini hadir sebagai refleksi bersama, agar setiap kader yang berniat maju sebagai pengurus pusat dapat mengukur kesiapan mentalnya secara jujur—tanpa ilusi dan tanpa romantisasi jabatan.
Karena menjadi pengurus Pimpinan Pusat KMHDI bukanlah tempat untuk mencari kenyamanan, bukan ruang untuk sekadar numpang nama, dan bukan jalur cepat menuju privilege. Ini adalah ruang untuk ditempa, bukan dimanjakan.
Maka pertanyaan yang harus dijawab setiap calon pengurus adalah:
Apakah saya benar-benar siap ditempa oleh kerasnya kehidupan Jakarta?
Siap menghadapi ketidakpastian?
Siap menata strategi hidup sambil mengemban tanggung jawab organisasi nasional?
Siap menerima tekanan tanpa mengeluh, dan siap bekerja tanpa berharap imbalan?
Jika jawabannya “ya”, maka Anda adalah calon yang pantas memasuki ruang tempaan ini. Karena ketika medan ini berhasil ditaklukkan, Anda akan pulang ke daerah dengan karakter yang jauh lebih matang. Apa pun tantangan ke depan akan terasa lebih ringan, karena Anda sudah pernah bertahan di tempat yang paling keras.
Pada akhirnya, mental Korea bukanlah label gagah-gagahan, melainkan kesiapan untuk ditempa.
Mental Korea adalah sikap untuk tidak menyerah meski menghadapi kerasnya hidup.
Mental Korea adalah keberanian untuk melangkah ke medan yang banyak orang takuti.
Dan mental Korea adalah syarat dasar untuk menjadi pengurus Pimpinan Pusat KMHDI yang tangguh, rendah hati, dan siap mengabdi.
Jika Mahasabha adalah panggung regenerasi, maka mental Korea adalah fondasi bagi siapa pun yang ingin berdiri di atasnya.
Penulis: Wayan Ardi Adnyana (Ketua Departemen Sosial Kemasyarakatan PP KMHDI)