![]()
Denpasar, kmhdi.org – Pertanyaan mengenai apakah umat Kaharingan merayakan Galungan memang sering muncul. Kenyataannya, Galungan hanya dipahami sebagai ajaran moral, tidak dirayakan sebagai hari raya oleh umat Kaharingan. Hal ini terjadi karena umat Kaharingan memiliki tradisi keagamaan sendiri yang telah diwariskan secara turun-temurun. Mereka mengenal istilah Galungan melalui pergaulan sosial, pendidikan, dan interaksi dengan umat Hindu, khususnya di Bali. Makna Galungan sebagai kemenangan kebaikan atas kejahatan dipahami sebagai nilai yang positif, tetapi tidak diadopsi menjadi upacara keagamaan.
Dalam ajaran Kaharingan, sudah terdapat rangkaian upacara yang lengkap seperti ipaket, miwit kariau, wadian, dan lainnya. Upacara-upacara inilah yang membentuk inti spiritual umat Kaharingan, karena melalui ritual tersebut mereka berhubungan dengan Ranying Hatalla Langit dan memuliakan roh leluhur.
Bagi umat Kaharingan yang tinggal di Bali, situasinya menjadi lebih menarik. Suasana Galungan yang meriah tentu dirasakan langsung. Seperti saya sendiri, meskipun Galungan bukan bagian dari tradisi agama Hindu Kaharingan, saya tetap menghormati hari raya tersebut sebagai bagian penting dari kehidupan umat Hindu. Saya ikut berpartisipasi dalam suasana perayaan.
Perbedaan antara Hindu Kaharingan dan Hindu Bali menunjukkan bahwa setiap tradisi dalam payung besar Hindu memiliki kekhasan ajaran dan sistem ritualnya masing-masing. Kendati demikian, mereka tetap memahami nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya dan menghormati umat Hindu yang menjalankan perayaan tersebut. Keberagaman bentuk praktik keagamaan ini adalah kekayaan budaya yang seharusnya dihargai, bukan diseragamkan. Sikap saling menghormati dan menjaga identitas masing-masing tradisi menjadi dasar penting dalam menjaga kerukunan antarumat, terutama di lingkungan yang majemuk seperti Bali maupun daerah lainnya.
Penulis: Elni Yuniati (Kader PC KMHDI Denpasar)
