![]()
Denpasar, kmhdi.org – Di era media sosial seperti sekarang, istilah self love sering terdengar di mana-mana. Namun, tak jarang maknanya melenceng. Mencintai diri sendiri kerap disalah artikan sebagai keharusan untuk selalu tampak menarik, aktif, dan “sempurna” di mata publik.
Padahal, apakah mencintai diri sejati hanya sebatas tampilan?
Saya mendapatkan pelajaran penting tentang ini di sebuah organisasi tempat saya berkegiatan (mungkin saja ini KMHDI wkwkwk). Organisasi itu dipimpin oleh seorang atasan yang sayangnya, lebih sibuk mengabadikan dirinya sendiri ketimbang memastikan kerja organisasi berjalan dengan baik. Setiap kegiatan lebih banyak diisi sesi foto narsis seperti atasan berpose di depan kamera, mencari sudut terbaik, memilih angle yang paling estetik. Dokumentasi kegiatan berubah menjadi dokumentasi pribadi.
Sementara itu, pekerjaan utama organisasi yaitu substansi program, kualitas pelayanan, bahkan komunikasi internal dan eksternal yang seringkali terabaikan.
Awalnya, saya sempat bertanya-tanya:
“Apakah saya terlalu keras menilai?”
“Apakah mempertahankan kualitas kerja berarti saya tidak mencintai diri dan organisasi saya?”
Namun, melalui refleksi dan pendekatan Ayurweda, saya menemukan jawabannya.
Dalam Ayurweda, self love bukan tentang tampil cantik di luar, melainkan tentang menjaga keseimbangan batin: tubuh, pikiran, dan jiwa (swasthya). Self love berarti hidup sesuai dengan nilai sejati, bukan mengorbankannya demi sekadar tampil di depan kamera.
Salah satu, kalimat sanksekerta populer mengatakan:
“Yad bhāvam tad bhavati”
(यद्भावं तद्भवति)
Artinya:
Apa pun yang dipikirkan dengan sungguh-sungguh, itulah yang akan menjadi kenyataan.
Jika melihat konteks pembahasaan saat ini seseorang terus berpikir tentang pencitraan, maka kehidupannya akan terperangkap dalam pencitraan itu sendiri. Ia hidup untuk tampak, bukan untuk bermakna.
Saya pun menyadari bahwa mencintai diri sendiri, dalam konteks organisasi ini, berarti berani mempertahankan kejujuran kerja. Mencintai diri berarti memilih untuk tetap berkarya sepenuh hati, meskipun tidak selalu masuk dalam frame kamera. Mencintai diri berarti tetap menjaga kualitas diri, bahkan ketika lingkungan lebih menghargai foto daripada kinerja.
Di dalam weda juga mengajarkan tentang satva yaitu kejernihan batin dan niat murni. Saat kita berpegang pada satva, kita tidak mudah tergoda untuk hidup demi validasi eksternal. Kita bekerja bukan untuk dipuji, tetapi karena itu adalah bentuk rasa hormat terhadap diri kita sendiri dan tugas kita.
Self love bukan tentang mencari kamera yang mengarah ke kita.
Self love adalah tentang menjaga niat tetap bersih, bahkan ketika kamera orang lain mengabaikan kerja nyata kita.
Pengalaman ini mengajarkan saya satu hal penting, lebih baik menjadi orang yang berkarya dalam keheningan daripada menjadi orang yang berpose di tengah kehampaan. Lebih baik menjadi nyata daripada sekadar terlihat.
Self love sejati adalah kesetiaan terhadap makna, bukan sekadar pada pencitraan. Dan dalam dunia di mana semua orang berlomba tampil, memilih untuk tetap otentik adalah tindakan revolusioner.
Semoga para pembaca sampai detik ini tidak terjebak menjadi manusia yang hanya mencintai bayangan diri sendiri.
Semoga kita tidak tumbuh menjadi pribadi yang narsis terhadap citra, namun lupa merawat substansi.
Dan semoga kita terus belajar mencintai diri dengan cara yang sejati mulai dengan berkarya, berintegritas, dan hidup apa adanya. Bukan sekadar hidup untuk difoto.
Penulis : Ni Luh Putu Keysha Maharani (Bendahara PC KMHDI Denpasar)
