![]()
Bandung, kmhdi.org – Ada kalanya manusia hanya bisa tertawa. Tertawa getir. Tertawa kecut. Tertawa sambil menahan amarah yang sudah melewati batas didih. Ridere ne fiamus—tertawalah agar tidak menangis. Karena kalau marah pun percuma. Kalau mengamuk pun tiada guna. Kalau protes pun, yang dipenjara malah kita. Jadi, mari kita tertawa saja melihat negeri ini berputar di siklus yang sama: korupsi, tipu-tipu, rakyat jadi korban, negara pura-pura kaget, media ribut sebentar, lalu semua hilang tertiup angin.
Hari ini, kita tertawa bersama Dirut Pertamina yang ternyata punya hobi sulap. Mengubah Pertalite menjadi Pertamax dengan cara paling murah: oplos sana, oplos sini, lalu jual dengan harga suka-suka. Ini bukan sulap biasa, ini bukan trik pesulap kampung. Ini adalah inovasi tingkat dewa, di mana cairan yang mestinya bersahabat dengan mesin malah jadi perusak yang membuat rakyat mengeluh: motor batuk-batuk, mobil mogok, bengkel panen rezeki. Sebuah ekosistem ekonomi yang ternyata saling mendukung, bukan?
Yang lebih lucu, skema ini berjalan bertahun-tahun. Bayangkan, bertahun-tahun! Berapa banyak rakyat yang tertipu dengan niat baiknya? Berapa banyak orang yang berpikir, “Sudahlah, saya bukan bagian dari kelompok yang berhak subsidi, saya akan beli Pertamax saja,” hanya untuk mengetahui bahwa mereka juga ditipu? Sungguh, niat baik di negeri ini adalah kesalahan terbesar yang bisa kamu lakukan. Res ipsa loquitur—fakta berbicara sendiri.
Tapi jangan khawatir, negara sedang “menangani” ini. Kejaksaan Agung sudah menetapkan tersangka. Beberapa pejabat sudah diciduk. Seperti biasa, judul berita hari ini penuh dengan kata-kata yang menyenangkan: “Dibongkar!”, “Diusut!”, “Ditetapkan tersangka!” Ah, begitu heroik. Begitu menggetarkan hati. Tapi kita sudah tahu bagaimana akhirnya: pengulangan yang terus terjadi, bukan hanya di BBM, tapi di hampir semua sektor. Korupsi proyek infrastruktur? Ada. Mafia pangan? Jelas. Manipulasi pajak? Tak perlu ditanya.
Lex corrupta perpetua—hukum korupsi yang abadi. Ada skandal, ada tersangka, ada sidang penuh drama, lalu ada keheningan, sebelum akhirnya muncul lagi dengan wajah baru. Siklus ini berjalan seperti kalender tahunan sebelum akhirnya muncul lagi dengan wajah baru. Cepat atau lambat, semua akan kembali normal. Sebuah normalitas di mana maling berdasi tetap bisa tersenyum dalam ruang sidang, sementara rakyat hanya bisa menatap pasrah—bahkan koneksi WiFi di warung kopi lebih cepat daripada proses hukum yang menjerat mereka. Bayangkan, kita bisa streaming film berkualitas HD lebih lancar daripada melihat kasus korupsi diselesaikan dengan adil.
Korupsi di negeri ini bukan sekadar penyakit, melainkan bagian dari sistem kerja yang sudah mapan. Seperti roda gigi dalam mesin tua yang berderit, ia tetap bergerak, meskipun sudah berkarat. Bahkan, kalau sistem pemerintahan ini diibaratkan komputer, ia sudah dilengkapi dengan fitur “corruption as a service”, berjalan otomatis tanpa perlu perintah langsung. Setiap mekanisme dirancang untuk memastikan bahwa siapa pun yang masuk ke dalamnya akan terseret dengan sendirinya.
Integritas? Ah, itu hanya istilah usang dalam buku pelajaran PKN. Di dunia nyata, orang jujur lebih sering dianggap sebagai gangguan ketimbang pahlawan. Mereka yang menolak bermain dalam pusaran ini hanya punya dua pilihan: disingkirkan atau dihancurkan. Ada sebuah konsep “hostis publicus”, musuh publik. Tapi di negeri ini, musuh publik bukanlah para koruptor, melainkan mereka yang berani mengungkap kebenaran.
Jangan terlalu keras menilai para pejabat yang mencuri uang negara. Mereka juga manusia, punya kebutuhan yang sulit dimengerti rakyat jelata. Gaji puluhan juta rupiah per bulan? Mana cukup! Anak butuh sekolah di luar negeri, istri butuh perawatan kecantikan, kolega butuh jamuan mewah di restoran bintang lima. Belum lagi tuntutan sosial: apa kata dunia kalau seorang pejabat negara hanya punya satu rumah? Bagaimana mereka bisa tidur nyenyak tanpa vila di Bali, tanpa koleksi mobil mewah, tanpa rekening offshore yang nyaman? Jika pejabat tidak korupsi, siapa yang akan menjamin kehidupan mewah anak-cucu mereka? Maka, sebagai rakyat yang baik, kita harus belajar empati.
Kita seharusnya lebih menghargai inovasi para pejabat. Mungkin, korupsi BBM ini sebenarnya adalah eksperimen ilmiah. Seberapa jauh mesin kendaraan rakyat bisa bertahan dengan BBM oplosan? Seberapa besar efek samping yang bisa ditoleransi sebelum mesin jebol? Seberapa lama rakyat bisa bersabar sebelum akhirnya meledak? Dan yang paling penting, seberapa besar keuntungan yang bisa diraup sebelum skandal ini terbongkar? Semua ini hanyalah uji coba ekonomi kreatif yang melibatkan banyak pihak: Pertamina, bengkel, dan mungkin juga rumah sakit yang kebanjiran pasien akibat kecelakaan kendaraan mogok mendadak.
Namun, eksperimen tidak berhenti di situ. Harga bahan pokok naik? Uji coba daya tahan rakyat terhadap kemiskinan. Pajak naik? Uji coba kepatuhan rakyat terhadap penindasan. Skandal demi skandal muncul dan hilang, seperti gelombang yang terus menghantam karang. Tapi karangnya tetap di tempat yang sama: kita, rakyat, yang hanya bisa menonton dan sesekali mengutuk dalam hati.
Sebuah Negara yang Dikelola Seperti Warung Kopi
Kalau dipikir-pikir, negeri ini lebih mirip warung kopi pinggir jalan. Bukan coffee shop Instagramable dengan mesin espresso mahal dan barista bersertifikat, tapi warung kopi ala kadarnya yang asal seduh, asal jual, asal laku. Semua diatur dengan sistem “yang penting bisa jalan”, tanpa peduli standar, peraturan, atau dampaknya ke orang lain.
Bedanya, warung kopi pinggir jalan masih lebih jujur. Minimal, mereka tahu takaran kopi dan gula agar pelanggan tetap datang. Tapi di negeri ini, aturan dan kebijakan dibuat tanpa takaran yang jelas, hanya asal menguntungkan mereka yang duduk di kursi empuk. Ada adagium Latin yang cocok menggambarkan situasi ini: “Fiat justitia ruat caelum”—biarlah keadilan ditegakkan meskipun langit runtuh. Sayangnya, di sini hukum ditegakkan asal tidak menimpa mereka yang punya kuasa. Kalau langit mau runtuh, ya biarkan rakyat kecil saja yang tertimpa.
Lihat saja bagaimana mereka menggiring opini. Awalnya rakyat disuruh pakai Pertamax karena Pertalite katanya hanya untuk kalangan tertentu. Seakan-akan rakyat ini kumpulan anak sekolah yang perlu diarahkan mana makanan sehat dan mana yang tidak. Lalu, setelah rakyat patuh, mereka dikhianati dengan Pertamax oplosan.
Ini seperti warung kopi yang jualan kopi sachet, tapi bilang ke pelanggan bahwa itu kopi spesial impor dari Brazil. Pelanggan percaya, bayar lebih mahal, lalu baru sadar setelah tersedak bahwa kopinya basi. Tapi, beda dengan pelanggan warung kopi yang bisa langsung protes dan minta ganti, rakyat negeri ini hanya bisa gigit jari. Mau protes? Silakan, tapi siapa yang bakal masuk sel?
Sebentar lagi kita akan melihat pertunjukan menarik, mereka yang ketahuan mengoplos BBM ini kemungkinan tidak akan langsung diadili dengan transparan. Proses hukum berjalan lambat, sidang bertele-tele, dan entah bagaimana, selalu ada peluang bagi mereka untuk keluar dari jeratan. Istilah kerennya “Due process of law”, tapi dalam praktiknya lebih mirip “Delay process of law”—hukum yang diperlambat sampai orang-orang lupa.
Sementara itu, rakyat? Kalau telat bayar pajak motor sehari saja, langsung kena sanksi. Kalau kena tilang elektronik, surat cinta dari kepolisian tiba lebih cepat daripada pesanan makanan online. Lex dura, sed tamen scripta—hukum itu keras, tapi begitulah yang tertulis. Tapi hukum itu kerasnya ke siapa? Jelas, bukan ke mereka yang punya kekuasaan, melainkan ke rakyat biasa yang bahkan untuk beli bensin saja harus menimbang-nimbang apakah uangnya cukup untuk seminggu ke depan.
Negeri ini bukan negara hukum, tapi negara hukum selektif. Selective justice is injustice-Keadilan yang dipilih-pilih itu sama saja dengan ketidakadilan. Koruptor yang mencuri miliaran bisa menikmati sidang dengan baju mewah, tersenyum di depan kamera, lalu entah bagaimana akhirnya dapat remisi. Tapi ibu-ibu yang jualan di trotoar? Langsung digusur tanpa kompromi. Sungguh negara yang efisien… untuk menekan rakyat kecil
Mungkin ada yang bertanya, kenapa sistem ini tidak pernah berubah? Karena sistem ini tidak pernah dibuat untuk berubah. Negeri ini sudah seperti warung kopi yang pemiliknya tidak peduli kualitas, selama pelanggan tetap datang. Kalau ada yang protes? Tinggal naikkan harga pelan-pelan, kasih hiburan murahan, buat rakyat sibuk bertahan hidup, biarkan mereka sibuk mengais remah-remah, sampai akhirnya mereka lelah dan menyerah.
Quo vadis, Indonesia? Ke mana arah negeri ini? Apakah kita akan terus menjadi penonton dalam pertunjukan ini? Ataukah kita hanya akan menjadi bagian dari eksperimen sosial yang menguji seberapa lama rakyat bisa ditipu sebelum akhirnya benar-benar kehilangan akal sehat?
Sampai Kapan Kita Harus Bersabar?
Mungkin benar bahwa korupsi tak akan pernah berhenti. Bukan karena tak bisa diberantas, tapi karena ia sudah menjadi bagian dari sistem, tumbuh subur seperti malum consuetudinis—kejahatan yang menjadi kebiasaan—dirawat dengan penuh kasih oleh mereka yang berkepentingan. Setiap aturan yang dibuat, setiap reformasi yang dijanjikan, setiap sidang yang digelar—semuanya hanya ludibrium populi, sandiwara untuk menenangkan kemarahan rakyat. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum di negeri ini, ia adalah ekosistem yang menopang banyak kepentingan, dari kursi parlemen hingga kursi birokrasi terendah. Seperti yang dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Maka, di negeri yang kekuasaan mutlak diwariskan seperti harta keluarga, korupsi bukan lagi penyimpangan, melainkan tradisi.
Fiat lux! Biarlah ada cahaya, tapi sayangnya di negeri ini, yang bercahaya hanyalah lampu-lampu mewah di istana kekuasaan, sementara rakyat berkubang dalam gelapnya absurditas hukum.
Apakah kita harus terus pasrah? Non possumus! Kita tidak bisa! Seperti yang dikatakan Edmund Burke, “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” Dan lihatlah, berapa banyak orang baik yang memilih diam, atau lebih tragis lagi, berubah menjadi bagian dari sistem yang mereka benci? Hukum di negeri ini bukan lagi soal benar atau salah, tetapi siapa yang cukup kaya untuk menyewa jasa pembenaran.
Corruptissima re publica plurimae leges. Tacitus sudah lama memperingatkan: semakin bobrok suatu negara, semakin banyak hukumnya. Dan benar saja, kita punya pasal demi pasal, regulasi demi regulasi, tapi semua itu hanyalah tinta di atas kertas—digunakan bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk menjebak mereka yang tak punya kuasa menawar.
Kita tak bisa menunggu revolusi yang tak kunjung datang, sebab seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, “The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters.” Kita hidup di masa peralihan yang dipenuhi oleh monster-monster birokrasi, para penyamun berdasi, dan politikus yang lebih sibuk membangun dinasti ketimbang membangun negeri.
Namun, sebagaimana kata Albert Camus, “The absurd is born of this confrontation between the human need and the unreasonable silence of the world.” Kita tahu betapa mustahilnya melawan sistem yang sudah mengakar, tapi justru dalam absurditas itulah kita menemukan makna perlawanan. Jika kita tidak bisa menang hari ini, setidaknya kita bisa menjadi duri dalam daging mereka—mengganggu, merusak, dan menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dibeli.
Jadi, ad astra per aspera!—menuju bintang melalui kesulitan! Kita mungkin harus terus menertawakan ironi negeri ini, tapi biarlah itu menjadi tawa perlawanan, bukan kepasrahan. Sebab diam adalah bentuk kekalahan paling sempurna.
Penulis : I Made Bayu Satria Nugraha (Ketua PC KMHDI Bandung)
