SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Bandung, kmhdi.org – Sebagai seorang mahasiswa Hindu sekaligus Ketua PC KMHDI Bandung, artikel ini adalah bentuk otokritik – tidak hanya untuk kader-kader di lingkungan saya, tetapi juga untuk diri saya sendiri. Fenomena yang akan saya ulas di sini adalah sesuatu yang saya lihat, rasakan, bahkan lakukan sendiri.

Ini bukan hanya cerita kader, tapi juga cerita saya sendiri. Betapa sering saya lebih terpesona dengan filsafat barat, lebih sibuk mengutip Nietzsche atau Sartre, tetapi lupa menggali kekayaan ajaran dari kitab suci saya sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini adalah bentuk refleksi yang juga saya tujukan pada diri saya – sebuah renungan untuk mengajak kita semua kembali mengakar.

Mari kita jujur sejenak, apakah kita benar-benar mencari pengetahuan, atau hanya sibuk memamerkan kebanggaan tanpa isi? Karena kalau mau diukur, kebanyakan dari kita lebih mahir mengutip Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzsche, atau bahkan Plato daripada Sloka Bhagawad Gita. Ironis, bukan?

Bangga Tapi Buta
Mari kita mulai dengan kenyataan sederhana. Kita sering mendengar orang berkata, “Saya bangga menjadi Hindu.” Bangga atas apa? Mungkin atas tradisi yang kaya, ritual yang megah, atau fakta bahwa Hindu adalah salah satu agama tertua di dunia. Tapi, apakah kebanggaan itu didukung oleh pemahaman? Sayangnya, bagi banyak dari kita, kebanggaan ini hanyalah ungkapan kosong. Ketika ditanya, “Apa isi Bhagawad Gita?” mayoritas hanya terdiam. Bahkan, memiliki kitab sucinya saja dianggap tidak penting, apalagi membacanya. Sebagai mahasiswa Hindu yang katanya menjadi bagian dari generasi intelektual, ini adalah ironi besar.

Inilah paradoks mahasiswa Hindu modern, kita mengaku bangga sebagai umat Hindu, tetapi dalam diskusi akademik, referensi kita justru lebih sering berasal dari filsuf barat atau pemikir timur jauh. Sebut saja Karl Marx, Immanuel Kant, atau bahkan Lao Tzu – mereka jadi dewa penyelamat argumen kita. Tapi coba tanya, kapan terakhir kali kita membaca Bhagawad Gita, Manusmriti, atau Upanishad untuk mendukung opini kita? Kemungkinan besar jawabannya adalah “tidak pernah.”
Kita sibuk mempelajari konsep eksistensialisme dari Kierkegaard, padahal konsep atman dalam Bhagawad Gita sudah berbicara tentang eksistensi manusia dalam dimensi yang jauh lebih luas.

Kita terobsesi dengan pemikiran tentang kebebasan ala John Locke, tapi lupa bahwa konsep moksha sudah membahas pembebasan sejati ribuan tahun sebelumnya. Apakah kita terlalu minder dengan ajaran kita sendiri? Ataukah kita terlalu sibuk mencari pengakuan dari dunia luar sehingga merasa perlu menunjukkan “kecanggihan intelektual” dengan mengutip referensi asing?
Kebanggaan tanpa pengetahuan ibarat rumah tanpa fondasi. Kuatkah kita jika hanya bangga secara simbolis, tanpa landasan literasi? Inilah yang menyebabkan kita mudah goyah di tengah tantangan zaman. Identitas agama kita hanya sebatas ritual, tanpa pemahaman mendalam tentang ajarannya.

Pedoman Hidup yang Terlupakan
Mari kita luruskan, tidak ada yang salah dengan mempelajari filsafat barat atau timur. Pengetahuan itu universal, dan tidak ada batas untuk mengeksplorasinya. Tapi masalahnya adalah ketika kita, mahasiswa Hindu, lebih mengenal Nietzsche daripada Krishna, lebih fasih menjelaskan Tao Te Ching daripada Bhagawad Gita. Apakah ini bukan tanda bahwa kita sedang melupakan akar kita sendiri?

Bhagawad Gita bukan hanya kitab suci – ia adalah mahakarya filsafat yang memuat kebijaksanaan universal. Tapi apa yang terjadi? Di rumah, ia lebih sering menjadi barang pajangan yang dijaga rapi tapi tidak pernah disentuh. Di diskusi akademik, ia dianggap “kurang relevan” dibandingkan teori barat yang “lebih modern.”
Mari kita renungkan sloka ini: “Uddhared atmanatmanam na atmanam avasadayet” – Manusia harus mengangkat dirinya sendiri dengan kekuatan pikirannya, jangan sampai ia menghancurkan dirinya sendiri (Bhagawad Gita, 6.5).
Kita diminta untuk memberdayakan diri sendiri, tetapi bagaimana kita bisa melakukannya kalau kita bahkan tidak tahu kekayaan pemikiran yang ada di kitab kita sendiri?

Bangga Tapi Tersesat
Sebagai mahasiswa, kita sering merasa “intelektual” ketika bisa berdiskusi panjang lebar tentang teori dari berbagai belahan dunia. Tapi, ketika diminta menjelaskan konsep Hindu, kita hanya bisa mengulang klise seperti, “Hindu itu tentang karma,” atau “Hindu itu toleransi.” Bukannya buruk untuk belajar dari luar, tapi bagaimana kita bisa membangun identitas intelektual yang kuat kalau pondasi kita sendiri rapuh? Bayangkan ini, kita adalah pohon besar yang akarnya tidak menancap dalam tanah, melainkan tergantung pada ranting pohon lain. Begitu ranting itu patah, kita ikut runtuh.

Mari kita renungkan sloka ini: “Tadviddhi pranipatena pariprashnena sevaya” – Untuk memahami kebenaran, mendekatlah kepada mereka yang memiliki pengetahuan, bertanya dengan kerendahan hati, dan layani mereka dengan tulus (Bhagawad Gita, 4.34).

Dalam ajaran Hindu, pencarian kebenaran adalah kewajiban setiap individu. Tetapi, bagaimana kita bisa mendekati kebenaran jika langkah pertama, yakni membaca kitab suci, saja belum kita lakukan? Kitab suci kita, termasuk Bhagawad Gita, seharusnya menjadi panduan utama, bukan sekadar pajangan di rak buku atau aplikasi di ponsel yang jarang dibuka.

Bayangkan jika seorang mahasiswa kedokteran tidak pernah membaca buku anatomi atau seorang mahasiswa hukum tidak tahu isi undang-undang. Kita akan langsung mempertanyakan keseriusan mereka. Tapi mengapa standar ini tidak kita terapkan pada diri kita sendiri sebagai umat Hindu? Ketidaktahuan kita tentang ajaran agama menunjukkan ketidakseriusan dalam memahami identitas spiritual kita sendiri. Inilah yang terjadi pada mahasiswa Hindu yang terlalu bergantung pada referensi luar tanpa memahami referensi dari agamanya sendiri. Kita menjadi intelektual generik – tahu banyak tentang semua hal kecuali tentang diri kita sendiri.

Menuju Kembali ke Akar
Di sinilah KMHDI memiliki peran besar. Sebagai organisasi yang bergerak untuk membentuk kader Hindu yang religius, humanis, nasionalis, dan progresif, KMHDI harus menjadi garda depan dalam membangun kesadaran literasi Hindu.
Namun, mari jujur. Seberapa sering dalam diskusi KMHDI kita mengutip Bhagawad Gita? Seberapa sering kita membahas konsep-konsep Hindu sebagai landasan untuk memecahkan masalah sosial, politik, atau akademik? Jangan-jangan, kita lebih sering mendiskusikan teori-teori barat daripada menggali nilai dari kitab suci kita sendiri.

Kita sering membandingkan agama kita dengan agama lain, menyebut Hindu sebagai agama yang “tidak dogmatis” atau “terbuka terhadap pemikiran.” Tapi apakah kita sungguh memahami apa yang kita banggakan? Di saat umat agama lain membaca kitab suci mereka sejak kecil, memahaminya, dan menjadikannya pedoman hidup, kita malah sibuk menghafal mantra tanpa tahu artinya, bahkan sibuk menyalahkan modernitas atas degradasi nilai-nilai Hindu.

Padahal, ajaran Hindu adalah salah satu referensi filsafat tertua di dunia. Bhagawad Gita telah memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti Mahatma Gandhi, Swami Vivekananda, hingga ilmuwan seperti Albert Einstein. Bahkan Henry David Thoreau, seorang filsuf Amerika meminjam salinan Bhagavad-Gita milik sesama Transendentalis Ralph Waldo Emerson – terjemahan Charles Wilkins tahun 1785 – dan melaporkan telah membacanya setiap pagi selama ia tinggal di Walden Pond .Jika ajaran ini begitu kuat hingga diakui dunia, mengapa kita sebagai umat Hindu tidak memperlakukannya dengan penghormatan yang sama?
KMHDI memiliki misi untuk mencetak kader berkualitas. Tapi kualitas seperti apa yang ingin kita bangun? Kader yang pandai bicara tentang kebebasan ala John Stuart Mill tetapi tidak memahami konsep moksha? Kader yang fasih bicara tentang keadilan ala Rawls tetapi tidak tahu makna dari dharma?

Membangun Literasi Hindu
Jika KMHDI ingin menjadi alat pendidikan yang benar-benar mencetak kader berkualitas, maka pembelajaran tentang literasi Hindu harus menjadi prioritas. Tidak ada lagi alasan untuk mengabaikan kitab suci kita. Tidak ada lagi alasan untuk malu mengutip Bhagawad Gita di ruang diskusi.

Langkah Strategis:
1. Literasi Hindu sebagai Standar Kaderisasi
Jadikan pembelajaran kitab suci sebagai bagian wajib dari setiap tahap kaderisasi. Mulai dari mengenal isi kitab, memahami maknanya, hingga mampu mengaplikasikannya dalam konteks modern.
2. Diskusi Filosofis Berbasis Kitab Suci
KMHDI bisa mengadakan diskusi rutin yang menggali nilai-nilai Bhagawad Gita dan kitab Hindu lainnya. Diskusi ini bisa menjadi jembatan antara filsafat Hindu dan isu-isu kontemporer.
3. Publikasi Karya Berbasis Hindu
KMHDI memiliki banyak kader dengan bakat menulis. Jadikan mereka duta literasi Hindu dengan mempublikasikan artikel, esai, atau buku yang mengangkat perspektif Hindu dalam berbagai isu.

Seperti yang tertulis dalam Bhagawad Gita (18.63): “Vimrishyaitad asheshena yathechhasi tatha kuru” – Renungkanlah ajaran ini sepenuhnya, dan lakukan apa yang engkau kehendaki.

KMHDI memiliki tanggung jawab besar untuk mengubah paradigma ini. Jangan biarkan kader KMHDI menjadi bagian dari generasi yang hanya tahu referensi luar tapi buta terhadap agamanya sendiri. Jika kita ingin membangun masa depan Hindu yang lebih baik, mari mulai dari diri sendiri: buka kitab suci, baca, pahami, dan aplikasikan. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi mahasiswa Hindu yang pintar mengutip barat tetapi miskin akan makna dari kitab suci kita sendiri. Dan pada akhirnya, kita hanya akan menjadi generasi yang bangga tetapi tersesat.

Oleh: I Made Bayu Satria Nugraha (Ketua PC KMHDI Bandung)

Share:

administrator