![]()
Bandung, kmhdi.org – “Kelapa sawit itu pohon, punya daun, menyerap karbon. Jangan takut deforestasi!” Begitulah petikan pidato Presiden Prabowo Subianto yang bikin geger. Tentu pernyataan ini terdengar menenangkan, kalau saja kita tidak tahu data dan fakta yang sebenarnya. Sayangnya, data bicara sebaliknya: sawit memang pohon, tapi ekspansinya adalah biang keladi hilangnya hutan Indonesia.
Menurut laporan Walhi, sejak tahun 2001 hingga 2022, Indonesia kehilangan lebih dari 10 juta hektar hutan. Sebagian besar di antaranya berganti jadi perkebunan sawit. Kalimantan, Sumatra, hingga Sulawesi jadi saksi bisu bagaimana pohon-pohon raksasa yang dulu jadi rumah orang utan, harimau, dan biodiversitas lainnya, kini tergantikan oleh barisan sawit yang monoton. Di Kalimantan saja, luas perkebunan sawit sudah mencapai 6,68 juta hektar, padahal daya dukung lingkungannya hanya 6,61 juta hektar. Overcapacity, bro.
Ironinya, pemerintah masih mengejar ekspansi 20 juta hektar sawit lagi, katanya untuk mendukung produksi biodiesel. Ini dilakukan dengan mengorbankan hutan primer dan lahan gambut yang selama ini jadi penyerap karbon alami. Padahal, riset menunjukkan hutan jauh lebih efektif menyerap karbon dibandingkan perkebunan sawit. Jadi, kalau logikanya sawit itu pohon dan bisa menyerap karbon, ya betul. Tapi itu seperti bilang permen karet bisa mengenyangkan karena kita mengunyah. Secara teknis iya, tapi nggak masuk akal.
Masalah tidak berhenti di situ. Ekspansi sawit juga membuka konflik agraria yang makin panas. Di Buol, Sulawesi Tengah, petani plasma mengaku lahannya dirampas oleh perusahaan sawit. Mereka dijanjikan bagi hasil dari kebun plasma, tapi setelah belasan tahun, yang ada hanya nihil. Sawah, kebun cengkeh, dan durian mereka hilang, digantikan sawit yang tidak memberi keuntungan sama sekali. Sebaliknya, mereka malah diintimidasi dan kriminalisasi oleh aparat. Ada petani yang sampai dipukuli karena mencoba menghalangi pengangkutan buah sawit.
Di tempat lain, cerita yang sama terus terulang. Warga kehilangan tanah, ruang hidup menyempit, dan air sungai tercemar. Walhi mencatat, sejak 2015 hingga 2023, ada 1.131 konflik agraria di sektor perkebunan. Sebagian besar melibatkan sawit. Konflik ini tidak hanya menyangkut hak atas tanah, tetapi juga intimidasi fisik yang mengancam keselamatan warga.
Sementara itu, di pasar internasional, kelapa sawit Indonesia mulai kehilangan pamor. Uni Eropa dengan tegas membatasi impor sawit yang tidak berkelanjutan. Jika ekspansi ini terus dipaksakan, bukan hanya lingkungan yang rugi, tetapi juga ekonomi kita. Produk sawit Indonesia akan semakin sulit bersaing di pasar global karena dianggap tidak ramah lingkungan.
Kalau mau jujur, solusi yang lebih masuk akal sebenarnya sudah ada: revitalisasi kebun sawit yang sudah ada. Banyak kebun tua yang tidak lagi produktif dan perlu diperemajakan. Alih-alih menambah lahan dengan mengorbankan hutan, kenapa tidak fokus pada peremajaan itu saja? Selain lebih ramah lingkungan, ini juga membantu petani kecil yang selama ini sering terpinggirkan.
Pemerintah perlu berhenti melihat hutan sebagai sekadar lahan kosong yang bisa dikapling untuk sawit. Hutan itu rumah bagi biodiversitas, penyerap karbon, dan penyangga ekosistem. Kehilangannya bukan cuma soal lingkungan, tapi soal masa depan kita semua.
Jadi, sebelum kita terus-terusan memaklumi argumen “sawit itu pohon”, mari pikir ulang: apakah ambisi ini sepadan dengan harga yang harus kita bayar? Sebab, ketika hutan terakhir hilang, tak ada lagi sawit yang bisa menyelamatkan kita dari krisis.
Penulis : Lingga Dharmananda Diana
