![]()
Jakarta, kmhdi.org – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah berlalu, dan sektor pangan langsung menjadi sorotan utama. Dengan target ambisius untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya, pemerintah Kabinet Merah Putih mengambil serangkaian kebijakan yang berani dan kontroversial.
Lantas, bagaimana potret kebijakan swasembada pangan dalam 12 bulan pertama ini?

Visi Besar dan Kebijakan Berani
Sejak awal, Presiden Prabowo menegaskan bahwa kedaulatan pangan adalah fondasi utama ketahanan nasional. Komitmen ini diterjemahkan ke dalam beberapa langkah strategis.
Penguatan Stok Pangan dan Stop Impor Beras
Salah satu klaim capaian terbesar adalah peningkatan drastis stok beras nasional. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengumumkan bahwa stok beras telah mencapai rekor tertinggi, bahkan diklaim berhasil menghentikan impor beras medium. Langkah ini, jika terbukti berkelanjutan, adalah terobosan signifikan dalam mengurangi ketergantungan impor dan melindungi pasar domestik.
Namun, klaim stok beras 4 juta ton dan penghentian impor beras medium perlu dipertanyakan keberlanjutannya. Apakah capaian ini berkelanjutan atau hanya kemenangan jangka pendek? Apakah rekor stok beras ini murni hasil peningkatan produksi (swasembada) atau juga dipengaruhi oleh penumpukan cadangan yang diimpor sebelum kebijakan stop impor berlaku?
Peningkatan produksi pertanian seringkali sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
“Sejauh mana kontribusi kebijakan dibanding faktor alam? Perlu dibedah, berapa persen peningkatan produksi murni karena efektivitas kebijakan (teknologi, benih unggul, HPP), dan berapa persen karena faktor cuaca yang kebetulan mendukung. Jika capaian hanya karena faktor cuaca, maka strategi pemerintah belum teruji menghadapi krisis iklim.”
Jaminan Harga Petani
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang lebih tinggi untuk komoditas utama seperti gabah dan jagung. Kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian dan meningkatkan kesejahteraan petani, yang dilaporkan telah mendorong peningkatan pendapatan sektor pertanian hingga triliunan rupiah.
Namun, data menunjukkan peningkatan jumlah petani gurem.
“Siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh HPP? Meskipun HPP dinaikkan, apakah peningkatan pendapatan benar-benar dinikmati oleh mayoritas petani gurem, atau lebih banyak oleh petani besar dan korporasi? Kenaikan HPP tidak akan menyelesaikan akar masalah jika petani gurem masih kesulitan mengakses pupuk subsidi, modal, dan lahan. Kenaikan pendapatan tidak sama dengan eliminasi kemiskinan.”
Investasi Infrastruktur dan Teknologi
Alokasi anggaran besar diarahkan untuk modernisasi pertanian, termasuk bantuan alat dan mesin pertanian senilai hampir Rp10 triliun serta penguatan infrastruktur irigasi melalui program P3-TGAI. Empat daerah juga ditetapkan menjadi prioritas pembangunan kawasan swasembada pangan untuk mempercepat target.
Namun, persoalan akses dan distribusi masih menjadi tantangan klasik.
“Mengapa isu klasik ‘mafia pupuk’ dan akses subsidi masih terjadi? Meskipun ada bantuan teknologi senilai Rp10 triliun, jika distribusinya tidak merata atau terhambat birokrasi, efisiensi produksi tidak akan tercapai. Bagaimana kebijakan pemerintah memastikan bantuan tepat sasaran bagi petani gurem?”
Dua Sisi Mata Uang: Optimisme dan Angan-Angan
Meskipun laporan resmi pemerintah penuh optimisme, dinamika di lapangan menunjukkan adanya tantangan nyata.
Di satu sisi, pencapaian stok beras yang melimpah dan kebijakan harga yang lebih baik bagi petani adalah indikator positif yang patut diapresiasi. Sektor pertanian juga didorong untuk fokus pada enam komoditas unggulan—kakao, kelapa, kopi, mente, pala, dan sawit—dengan proyeksi investasi besar.
Namun, di sisi lain, muncul berbagai pertanyaan dari pengamat dan organisasi petani.
Apakah peningkatan produksi murni hasil kebijakan atau faktor cuaca yang menguntungkan? Bagaimana solusi struktural terhadap meningkatnya jumlah petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar? Tanpa perbaikan mendasar dalam akses lahan, kesejahteraan mereka tetap rentan.
Evaluasi Food Estate
Program food estate yang dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran juga menuai sorotan.
“Risiko kegagalan dan dampak lingkungan food estate masih mengintai. Pengalaman sebelumnya menunjukkan potensi kerusakan ekologis yang besar. Apa jaminan bahwa food estate kali ini telah belajar dari kesalahan masa lalu, terutama dalam hal kesesuaian lahan dan pelibatan masyarakat lokal? Kedaulatan pangan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan keadilan ekologis.”
Tantangan Ekologis
Beberapa aktivis lingkungan menilai bahwa fokus pemerintah pada pertumbuhan produksi berpotensi mengesampingkan keadilan ekologis, terutama terkait ekspansi lahan.
“Percepatan pembukaan lahan, terutama di luar Jawa, berpotensi memicu konflik agraria dan deforestasi. Bagaimana pemerintah menyeimbangkan target produksi besar untuk program Makan Bergizi Gratis dengan komitmen menjaga lingkungan dan hak masyarakat adat?”
Melihat ke Depan: Ancaman dan Peluang
Momentum satu tahun ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran serius menggarap isu swasembada pangan dengan arah kebijakan yang tegas. Namun, tantangan ke depan akan semakin besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menuntut pasokan pangan masif dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, tahun pertama pemerintahan ini diwarnai keberanian mengambil kebijakan drastis—seperti penghentian impor beras—dan investasi besar dalam teknologi serta kesejahteraan petani. Meski capaian seperti rekor stok beras memicu optimisme, pemerintah harus tetap waspada terhadap tantangan struktural dan memastikan evaluasi yang berkelanjutan agar cita-cita swasembada pangan menjadi pondasi ketahanan nasional yang berkeadilan.
Penulis: I Wayan Sugita (Pengurus PP KMHDI)