SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Palangka Raya, kmhdi.org – Revolusi Industri 5.0, yang digagas sebagai kelanjutan dari Revolusi Industri 4.0, tidak hanya menghadirkan teknologi supercanggih seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, Internet of Things (IoT), dan bioteknologi, tetapi juga menuntut integrasi yang lebih erat antara manusia dan mesin. Dalam buku Jewellilius Kistom M “Revolusi Industri 5.0”, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan pertanyaan kritis,Apakah manusia masih mampu mempertahankan nilai-nilai filsafat, etika, dan kemanusiaannya di tengah percepatan teknologi yang semakin mendominasi kehidupan?

Revolusi Industri 5.0 diklaim sebagai era di mana teknologi tidak lagi hanya melayani efisiensi produksi, tetapi juga memperkuat peran manusia sebagai pusat inovasi (human-centric society). Namun, di balik janji kemajuan ini, terdapat ancaman terhadap esensi kemanusiaan, akankah manusia kehilangan kemampuan berpikir reflektif, berempati, dan bertindak etis ketika mesin mengambil alih hampir seluruh aspek kehidupan?

A. Filsafat di Era Mesin Cerdas Antara Rasionalitas dan Robotisasi

Menurut Jewellilius Kistom M. Revolusi Industri 5.0 mengubah cara manusia memandang diri dan dunianya. Teknologi seperti AI telah melampaui kemampuan manusia dalam analisis data dan pengambilan keputusan rasional. Namun, filsafat sebagai ilmu yang mengajak manusia bertanya “mengapa” dan “bagaimana” justru menjadi lebih relevan.

Pertanyaan seperti:
1.apa makna hidup jika mesin bisa menggantikan peran manusia?”
2.apakah kebahagiaan bisa diukur melalui algoritma?”
Menjadi tantangan eksistensial yang harus dijawab. Dalam Buku revolusi Industri 5.0 ini menegaskan bahwa mesin mungkin bisa meniru logika, tetapi tidak mampu merenungkan tujuan hidup atau menciptakan makna. Di sini, filsafat berperan sebagai penjaga rasionalitas manusia yang holistik, bukan sekadar teknis. Namun, ancamannya nyata jika manusia terlalu bergantung pada teknologi, kemampuan berpikir kritis dan reflektif inti dari filsafat bisa tergerus. Contoh sederhana algoritma media sosial sudah mengarahkan cara kita berpikir, bahkan menentukan nilai-nilai yang kita anut.

B. Etika di Tengah Dominasi Teknologi Antara Kemajuan dan Kehancuran

Revolusi Industri 5.0 membawa dilema etika yang kompleks. Misalnya:

  1. Etika AI, Bagaimana memastikan keputusan mesin adil dan tidak bias?
  2. Privasi Data, Siapa yang bertanggung jawab jika data pribadi disalahgunakan?
  3. Bioteknologi, Batas apa yang harus diterapkan dalam rekayasa genetika?

Jewellilius Kistom M. menekankan bahwa teknologi tanpa etika adalah bom waktu. Di era di mesin bisa belajar sendiri (machine learning), manusia harus menetapkan batasan moral yang jelas. Contoh kasus, AI yang digunakan untuk senjata otonom atau manipulasi genetik pada manusia. Tanpa kerangka etika yang kuat, kemajuan teknologi justru berpotensi menghancurkan peradaban.

Dalam Buku tersebut juga mengkritik sikap “etika sebagai afterthought” di mana pertimbangan moral hanya ditambahkan setelah teknologi dirilis. Sebaliknya, etika harus menjadi fondasi dalam setiap inovasi, dengan melibatkan filsuf, agamawan, dan pakar sosial dalam pengembangan teknologi.

C. Kemanusiaan di Era Simbiosis Manusia dengan Mesin Masihkah Ada Ruang untuk Empati?

Salah satu janji Revolusi Industri 5.0 adalah kolaborasi manusia dengan mesin yang harmonis. Namun, Jewellilius Kistom M. Dalam bukunya memperingatkan,teknologi bisa mengikis nilai-nilai kemanusiaan jika tidak dikelola dengan bijak. Contoh :
1.Dehumanisasi di Tempat Kerja,Robot menggantikan interaksi manusia, mengurangi ruang untuk empati dan solidaritas.
2.Ketergantungan pada Teknologi, Generasi muda lebih nyaman berkomunikasi via layar ketimbang tatap muka.

Namun, penulis buku tersebut optimis bahwa manusia tetap bisa mempertahankan kemanusiaannya dengan syarat :

  1. Teknologi sebagai Alat, Bukan Pengganti, Robot harus dirancang untuk memperkuat bukan menggantikan nilai manusia, seperti perawat robot yang membantu dokter tetapi tidak menghilangkan sentuhan manusiawi.
  2. Pendidikan Holistik, Kurikulum pendidikan harus menyeimbangkan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika) dengan seni, filsafat, dan ilmu sosial.
  3. Kebijakan Inklusif, Pemerintah dan korporasi harus memprioritaskan kesejahteraan manusia, bukan hanya keuntungan ekonomi.

D. Tantangan dan Solusi Menjadi Manusia di Era 5.0

Dalam Buku Revolusi Industri 5.0 yang ditulis oleh Jewellilius Kistom.M menguraikan tiga tantangan utama yaitu :

  1. Dehumanisasi, Manusia terjebak dalam logika mesin.
  2. Egosentrisme Teknologi, Inovasi hanya dinikmati segelintir orang.
  3. Krisis Identitas,Manusia bingung memaknai diri di antara mesin cerdas.

Solusi yang diajukan:
1.Filsafat Praktis,Membangun budaya berpikir kritis melalui diskusi etika teknologi di sekolah dan komunitas.
2.Regulasi Humanis,Membuat kebijakan yang melindungi hak dasar manusia, seperti UU Etika AI.
3.Kembali ke Nilai Universal, Menghidupkan kembali prinsip kemanusiaan seperti keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang sebagai dasar pengembangan teknologi.

E. Manusia sebagai Subjek, Bukan Objek Revolusi

Jewellilius Kistom M. menutup bukunya dengan pesan optimis ,”Revolusi Industri 5.0 bukanlah akhir dari kemanusiaan, melainkan kesempatan untuk memperkuatnya”.Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan manusia untuk tetap berfilsafat (bertanya dan merenung), beretika (menjaga moral), dan berperikemanusiaan (berempati dan adil). Teknologi adalah produk manusia, dan hanya manusia yang bisa memastikan ia digunakan untuk kebaikan bersama. Seperti kata jewellius Kistom M. “Mesin mungkin bisa menggantikan tangan kita, tetapi tidak pernah hati dan pikiran kita.”

Penulis : Beny Saputra (Kabid DDI PC KMHDI Palangka Raya)

Share:

administrator