![]()
Bandung, kmhdi.org – Halo, saya becing! Mahasiswa perantau asal Bali yang sekedar ingin menuliskan kesaksian dan keresahan melalui kacamata saya sebagai mahasiswa perantau asal Bali di Kota Kembang —Jawa Barat. Hal ini terjadi sedari awal saya datang ke Bandung, saat mulai berbicara menggunakan logat dan beberapa dialek Bali yang khas ketika di Pura. Saya diberikan satu kalimat mencengangkan oleh teman saya:

“Eh, jangan sok-sok Bali deh—di sini kan bukan di Bali!”
Lidah saya kelu rasanya, sejenak bagai petir menyambar di siang bolong. Bagaimana bisa? “barang bawaan” leluhur menjadi beban identitas diluar daerah? Banyak keturunan Bali, yang secara darah dan tradisi punya hak atau bahkan “kewajiban” menegaskan tentang identitas asalnya justru memilih melepas kebudayaan Bali walau jelas-jelas di nama mereka terselip identitas Bali. Pilihan ini diperparah ketika seringkali bentrok dengan nilai-nilai agama Hindu dan tradisi leluhur yang menuntut upacara dan ritual yang bisa saja dilandasi berbagai faktor. Akibatnya, muncul ironi: darah Bali mengalir, tapi “enggan” mengakuinya.
Generasi keturunan Bali di Jawa Barat tumbuh dalam lingkungan yang menekankan keseragaman budaya—seringkali “Sunda” sebagai label identitas dominan. Banyak di antara mereka yang merasa hal-hal berbau Bali dianggap “tidak relevan” untuk kehidupan di lingkungan sosial Jawa Barat, sehingga memilih mengucilkan orang-orang darah Bali itu sendiri bahkan menolak membicarakan asal-usulnya demi menghindari stigma sosial.
Apa yang Salah Menggunakan Identitas Bali?
Hal yang kemudian membuat saya mulai bertanya pada diri saya sendiri, apa yang salah menggunakan identitas Bali? Apa yang salah ketika saya menggunakan “bahasa ibu” saya? Apa yang salah ketika saya bertemu dengan kawan-kawan sesama perantau dari Bali? Bukankah itu wajar—sekadar merasakan hangatnya ingatan akan tanah kelahiran? Terkadang ada pula yang menegur, “Sudahlah, jangan terlalu keBali-Balian di sini.” Ucapan itu rasanya bagai disiram minyak panas: persaudaraan se-adat pun terasa seperti beban sosial dalam pergaulan. Bukannya merayakan persamaan asal, kami malah saling menahan diri, seakan takut identitas itu akan mencuri tempat—seperti tamu dipersilakan masuk tapi tak diizinkan duduk.
Kesalahan sesungguhnya terletak pada lingkungan yang menilai keunikan sebagai kekurangan dan memaksa “keseragaman” menjadi ukuran pergaulan. Mengapa kita justru merasa bersalah karena merajut utuh benang kebudayaan kita sendiri—ketika justru dunia merindukan warna-warni yang autentik? Identitas Bali bukan pedang tumpul yang membelah—ia adalah hiasan keris yang menegaskan kehadiran kita, dipahat oleh leluhur, dan diwariskan agar tak hilang ditelan zaman.
Toh, Kalian Juga Sepakat Menggunakan Dresta Bali
Anomali lain yang tak kalah uniknya adalah ketika identitas Bali ditahan dalam pergaulan, namun di saat yang bersamaan identitas tersebut ditonjolkan demi mendapat pengakuan di masyarakat, digunakan dalam cara mereka melakukan upacara, bahkan lebih mirisnya dikapitalisasi. Atribut Bali tiba–tiba dijadikan komoditas—untuk mendongkrak prestise acara maupun mengisi kantong-kantong pribadi.
Fenomena ini menciptakan anomali ganda: identitas Bali ditahan dalam ruang intim agar tak jadi “beban budaya,” lalu ditonjolkan—bahkan dikapitalisasi—di ruang publik agar “menguntungkan.” Seolah-olah asal usul kita cuma barang yang bisa disimpan di lemari, baru diambil kalau butuh. Padahal budaya itu bukan barang dagangan—ia hidup dari niat tulus, proses merawat tradisi, dan terus dipraktikkan.
Jadi, sebenarnya becing menuliskan ini semata-mata untuk menjadi refleksi bersama, apa perlu kita terus menyembunyikan akar budaya hanya untuk diterima, kapan saatnya kita bangga menunjukkan siapa sebenarnya kita—tanpa menunggu panggung besar atau bayaran materi?
Sekian dari becing, HORE!
Penulis : Gede Narayana Putra Mahardhika (Biro Kaderisasi PD KMHDI Jawa Barat)