![]()
“Jika kebebasan berpendapat dibungkam, jika buku-buku dibakar, dan jika suara-suara kritis dipenjarakan, maka sebuah bangsa sedang berjalan menuju kegelapan.”
– Pramoedya Ananta Toer-Trending
Bandung, kmhdi.org – Di tengah arus globalisasi dan percepatan teknologi, generasi saat ini memiliki tantangan besar dalam menjaga kesadaran historisnya. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi juga refleksi bagaimana kebijakan dan tindakan suatu rezim dapat berdampak panjang terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu babak kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia adalah era Orde Baru, di mana kebijakan Dwi Fungsi ABRI tidak hanya mencengkeram dunia politik tetapi juga membungkam kebebasan berekspresi.
Kebijakan Dwi Fungsi ABRI memiliki dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan militer yang memiliki kontrol luas atas pemerintahan dan kebijakan sosial, pembungkaman terhadap kritik menjadi hal yang sistematis. Militer menggunakan kekuasaannya untuk menekan media, membatasi ruang intelektual, serta membredel karya-karya yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rezim.
Hubungan antara Dwi Fungsi ABRI dan pembredelan literasi sangat erat, terlihat dari berbagai kebijakan yang menekan kebebasan berpikir dan berekspresi. Salah satu dampak utama adalah kontrol ketat terhadap media dan penerbitan, di mana surat izin penerbitan digunakan sebagai alat untuk menyaring informasi yang boleh atau tidak boleh beredar. Media yang bersikap kritis terhadap pemerintah, seperti Majalah Tempo, Editor, dan Detik, mengalami pembredelan sebagai bentuk pembungkaman. Selain itu, sensor terhadap sastra kritis juga menjadi senjata rezim, di mana karya-karya sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar karena dianggap menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah.
Tidak hanya media dan sastra, institusi akademik yang seharusnya menjadi pusat kebebasan berpikir justru dikontrol ketat oleh pemerintah. Kampus-kampus dijadikan alat propaganda, sementara mahasiswa yang bersikap kritis terhadap rezim menghadapi represi yang berujung pada intimidasi, penculikan, hingga pembunuhan misterius. Sastra dan literasi yang mengangkat isu sosial sering kali dicap sebagai ancaman stabilitas negara, sehingga banyak buku yang dibakar atau dilarang beredar dengan alasan mengandung unsur subversif. Akibat dari kebijakan ini, budaya literasi mengalami kemunduran drastis, karena masyarakat terpaksa menerima narasi tunggal yang dikendalikan oleh pemerintah dan militer.
Dampak dari kebijakan ini menyebabkan kemunduran budaya literasi, karena masyarakat terpaksa menerima narasi tunggal yang dikendalikan oleh pemerintah dan militer. Konsep Dwi Fungsi ABRI memberikan peran ganda kepada militer, yaitu sebagai penjaga keamanan sekaligus sebagai kekuatan politik dan sosial. Dengan demikian, TNI tidak hanya menjadi alat pertahanan negara tetapi juga memiliki kontrol luas atas pemerintahan, pendidikan, media, dan kebudayaan. Akibatnya, demokrasi mengalami stagnasi karena kritik terhadap penguasa dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional
Pembredelan Media Massa dan Karya Sastra Progresif
Di era Orde Baru, kebebasan berekspresi, khususnya di bidang sastra dan media, mengalami pengekangan luar biasa. Karya-karya yang dianggap “subversif” dan menentang kebijakan negara dilarang beredar. Para sastrawan yang menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan dan represi harus menghadapi ancaman, pengawasan ketat, bahkan pemenjaraan.
Salah satu contoh paling terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang mengalami penindasan berat akibat tulisannya. Karya-karyanya yang mengkritik feodalisme dan otoritarianisme dianggap membahayakan stabilitas rezim, sehingga ia dipenjara tanpa pengadilan selama bertahun-tahun, dan buku-bukunya dilarang beredar luas.

Gambar 1: Pramoedya Ananta Toer
Selain itu, pembredelan media massa juga menjadi senjata pemerintah dalam membungkam kritik. Dikutip dari Kompas, pada 21 Juni 1994, pemerintah mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo karena pemberitaannya terkait dugaan korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur dianggap membahayakan stabilitas nasional. Tidak hanya Tempo, Majalah Detik dan Editor juga turut dibredel dengan alasan administratif. (Sumber: Kompas.com)

Gambar 2: Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo
Dikutip dari Kompas, kebebasan pers mulai terancam serius sejak Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Saat itu, kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia memicu demonstrasi besar-besaran yang berujung pada kerusuhan. Pemerintah merespons dengan pembredelan media yang dianggap menyebarkan informasi yang dapat mengganggu stabilitas nasional. (Sumber: Kompas.com)

Gambar 3: Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974)
Tragedi Malari (1974) dan penculikan aktivis pada tahun 1997-1998 menjadi bukti nyata represi ini. Mahasiswa dan aktivis yang berani mengkritik kebijakan ekonomi dan politik rezim mengalami nasib tragis, di mana banyak dari mereka menghilang tanpa jejak. Kebijakan otoriter semacam ini menciptakan ketakutan massal di masyarakat, membuat banyak orang enggan untuk bersuara dan memilih diam demi keselamatan diri.
Tidak hanya membatasi dunia sastra dan media, Orde Baru juga menyerang berbagai bentuk perlawanan intelektual. Kampus-kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya pemikiran kritis justru menjadi ajang propaganda negara. Mahasiswa yang aktif menyuarakan kritik terhadap rezim kerap mendapat intimidasi, penculikan, hingga pembunuhan misterius.
Selama Orde Baru, pembredelan tidak hanya terjadi pada media massa tetapi juga pada karya-karya sastra yang dianggap menentang kebijakan pemerintah. Sastra progresif yang mengangkat tema keadilan sosial, kritik terhadap kekuasaan, atau menyuarakan ideologi yang bertentangan dengan narasi resmi sering kali menjadi sasaran sensor ketat. Beberapa sastrawan harus menghadapi ancaman, pemenjaraan, atau pengasingan akibat karya-karya mereka yang dianggap membahayakan stabilitas negara. Tabel berikut merangkum beberapa peristiwa pembredelan sastra yang terjadi selama masa Dwi Fungsi ABRI.
Tabel Peristiwa Pembredelan Sastra di Era Orde Baru
|
Tahun |
Karya/Sastrawan |
Alasan Pembredelan |
|
1965 |
Karya-karya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) |
Dianggap berafiliasi dengan PKI dan ideologi kiri |
|
1974 |
Majalah dan surat kabar pasca-Malari |
Dianggap memprovokasi aksi demonstrasi |
|
1981 |
“Puisi Mbeling” karya Remy Sylado |
Dianggap tidak sesuai dengan moral Orde Baru |
|
1985 |
Buku “Membongkar Manipulasi Sejarah 1965″ oleh W.F. Wertheim |
Mengkritisi narasi resmi tentang G30S |
|
1994 |
Buku-buku Pramoedya Ananta Toer |
Dilarang karena dianggap mengandung ideologi berbahaya |
Dampak terhadap Demokrasi dan Literasi Nasional
Penindasan terhadap kebebasan berekspresi memiliki dampak jangka panjang terhadap demokrasi dan ekosistem literasi di Indonesia. Bertahun-tahun masyarakat terbiasa menerima informasi satu arah dari pemerintah tanpa memiliki ruang untuk berpikir kritis. Akibatnya, budaya literasi mengalami kemunduran karena masyarakat tidak terbiasa berdiskusi, mengkritisi, dan menggali perspektif berbeda dalam memahami realitas sosial.
Mengingat sejarah bukan berarti hidup dalam bayang-bayang masa lalu, tetapi justru sebagai langkah antisipatif agar kesalahan serupa tidak terulang. Generasi muda perlu memahami bahwa kebebasan yang dinikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan panjang. Jika kesadaran ini hilang, maka sangat mungkin kita kembali terjerumus ke dalam sistem yang mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa otoritarianisme sering kali datang dengan wajah baru. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap waspada terhadap segala bentuk pembungkaman, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung melalui regulasi atau propaganda yang mengatasnamakan stabilitas nasional.
Sebagai generasi yang hidup di era digital, kita memiliki akses tak terbatas terhadap informasi. Gunakanlah kebebasan ini untuk terus menggali sejarah, memahami perjuangan para pendahulu, dan menjaga nilai-nilai demokrasi. Jangan biarkan masa lalu yang kelam terulang hanya karena kita lupa dan lalai. Mari kita rawat ingatan ini, bukan sebagai luka yang terus terbuka, tetapi sebagai peringatan agar masa depan yang lebih adil dan demokratis dapat terwujud. Kebebasan berekspresi dan kesehatan literasi adalah hak kita semua, dan mempertahankannya adalah tugas setiap generasi.
Penulis : Tangkas Gede Hary Angga Purnama Damai (Kaderisasi PD KMHDI Jawa Barat)
Referensi
Kompas.com. (2023, Juni 21). Kilas Balik Pembredelan Majalah Tempo pada Masa Orde Baru. Diakses dari https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/06/21/182100282/kilas-balik-pembredelan-majalah-tempo-pada-masa-orde-baru
Kompas.com. (2022, Juni 21). Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru. Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/21/110000079/pemberedelan-media-massa-pada-masa-orde-baru
