SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.orgDalam kosmologi Hindu, alam semesta bukan saja dipandang sebagai hamparan materi, tetapi juga dipandang sebagai struktur yang hidup, dipenuhi oleh tatanan suci yang disebut ṛta. Di tengah keteraturan itulah Dewi Saraswati, sebagai śakti dari Brahma Sang Pencipta, hadirnya tidak hanya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, tetapi juga sebagai personifikasi dari pengetahuan yang menghidupkan semesta. Ia adalah suara yang menggetarkan śruti, aliran suci dari Weda yang membentuk semesta melalui sabda (vāṇī).

Nāhan donku maminta sanmata nadah harséng gunā sěngguha,

Salwir ning śruti dharma śastra nguniwéh widyādi kétalama,

Towi kin wěkasing hiděp tutuga ning tinghal putus ning tutur,

Yékān pangguha ning hulun lana maminté nugrahéng déwati[1]

Sloka dari Lontar Saraswati Puja lembar 2b ini bisa dipandang semacam mantra pembukasebuah jembatan batin untuk memasuki ruang-ruang pengetahuan yang tak terbatas. Ia mengajarkan kita, terkhusus para mahasiswa Hindu yang tergabung dalam Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), untuk menanggalkan ego sektoral dan membuka diri pada semesta pengetahuan. Pengetahuan tidak hanya berhenti pada akumulasi informasi, tetapi menjadi jalan moksapembebasan, ketika ia dipraktikkan dalam kesadaran penuh.

Salah satu bentuk praksis spiritual sekaligus intelektual yang dapat kita tempuh untuk menyatu dalam semesta pengetahuan Dewi Saraswati adalah membaca. Membaca bukan hanya aktivitas teknis; dalam bingkai kosmologi Hindu, ia adalah bentuk tapasya (laku disiplin) yang mengasah buddhi (kecerdasan rohani) dan viveka (kemampuan membedakan). Saat membaca, kita tidak hanya menyerap teks, tetapi juga memasuki tarikan napas Dewi Saraswati—mendekap keheningan, lalu bergerak menuju pencerahan.

Dalam konteks kaderisasi di KMHDI, membaca harus menjadi kebiasaan yang tak hanya sebatas gerak mekanik, melainkan gerak yang mendatangkan perubahan kualitatif. Ia menjadi benih bagi imajinasi kreatif dan daya kritis. Di sinilah peran mahasiswa sebagai agent of change, social control, moral force, iron stock, guardian of value hingga watchdog diuji dan dibentuk. Mahasiswa yang tidak membaca ibarat tapaswi tanpa guru mantra, berjalan dalam kegelapan tanpa nyala jyoti pengetahuan.

Namun apa jadinya apabila tradisi membaca yang menjadi akar kesadaran dan pergerakan itu kian pudar dari tubuh KMHDI? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu direnungi, agar kita tidak sekadar menyebut nama Saraswati dalam ritual, namun gagal memahaminya secara tattwa.

Redupnya Tradisi Membaca

Minimnya antusiasme kader KMHDI terhadap aktivitas membacabaik buku filsafat, sastra, sejarah, hingga artikel kebijakan publik, bukan sekadar persoalan minat semata. Ia merupakan gejala dari perubahan besar yang terjadi pasca pandemi covid-19. Alih-alih hanya menyerang fisik, nyatanya pandemi juga telah merombak pola-pola gerakan mahasiswa, termasuk KMHDI, secara mendasar. Salah satu dampaknya yang paling kentara adalah meredupnya diskusi di tingkat akar rumput dan melemahnya daya kritis terhadap pelbagai kebijakan publik yang problematik, meski tentu masih terbuka ruang perdebatan atas hal ini.

Pandemi memaksa seluruh aktivitas fisik untuk bertransformasi ke ruang digital. Demikian pula gerakan mahasiswa Hindu. Agenda-agenda kaderisasi, pelatihan, dan konsolidasi harus rela berpindah ke dalam ruang-ruang virtual. Di satu sisi, teknologi membuka akses luas terhadap sumber-sumber ilmu pengetahuan; tidak hanya melalui buku fisik, tetapi juga platform digital, jurnal, forum daring, hingga kanal diskusi virtual. Namun di sisi lain, gelombang informasi ini hadir beriringan dengan badai distraksi—dan di titik ini, banyak kader KMHDI yang tergelincir.

Alih-alih menjadikan teknologi sebagai jembatan menuju pengetahuan, banyak kader justru terperangkap dalam pola konsumsi digital yang pasif. Waktu berjam-jam dihabiskan di media sosial, namun bukan untuk membaca berita, apalagi kajian, melainkan larut dalam scroll tanpa arah. Kesiapan intelektual tidak tumbuh seiring dengan cepatnya teknologi berkembang. Maka tak heran jika ruang-ruang diskusi KMHDI hari ini terasa kering, bahkan sunyi dari suara-suara tajam yang menyuarakan keadilan sosial dan nilai dharma dalam kebijakan publik.

Fenomena ini bukan sekadar asumsi, melainkan potret nyata. Salah satunya, pada acara Closing Ceremony Training of Trainer (ToT) KMHDI Regional Jabanusra-Istimewa Juli 2024 lalu, dari sekitar 40 kader yang hadir di ruangan, tidak lebih dari lima orang yang mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang telah menamatkan satu buku sepanjang setengah tahun terakhir. Ini adalah kenyataan yang menyedihkan, dan sekaligus menjadi peringatan dini bahwa tradisi membaca kita sedang tidak baik-baik saja.

Jika membaca adalah jalan menuju kebijaksanaan (vidyā), maka membiarkannya mati adalah membiarkan diri kita dijauhkan dari terang Dewi Saraswati. Dewi Saraswati bukan hanya sekadar penguasa ilmu pengetahuan, tetapi juga penjaga vibrasi luhur dalam ucapan (vāṇī), pikiran (citta), dan tindakan (karma). Melupakan aktivitas membaca sama saja kita sedang memutus aliran suci yang menghubungkan gerakan intelektual dengan laku spiritual.

Implikasinya terasa jelas: gersangnya diskusi, melemahnya kritik terhadap penguasa, dan mengaburnya fungsi mahasiswa sebagai watchdog sosial. Ketika suara kader hilang dari wacana publik, maka tak ada lagi yang “menggonggong” di luar lingkar kekuasaan. Hilangnya dhvani (suara bermakna) dari mahasiswa Hindu akan membuka jalan bagi lahirnya penguasa yang sewenang-wenang, kebijakan yang begitu serampangan tanpa koreksi dan tanpa kesadaran.

KMHDI tak bisa bertumbuh dengan semangat kosong. Ia memerlukan api pengetahuan yang terus menyala dan membaca adalah percikan pertama dari api itu. Jika api itu mati, padamlah pula jalan juang kita. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah membaca masih penting atau tidak, tetapi apakah kita masih punya keberanian untuk kembali kepada jalan pengetahuan? Masihkah kita sanggup menempatkan peran kader sebagai penjaga nilai, atau justru membiarkan diri tenggelam dalam arus pasif digital?

Gotong Royong Hidupkan Tradisi Membaca

Meneroka pelbagai kemungkinan untuk menghidupkan kembali tradisi membaca adalah pekerjaan rumah yang tak dapat ditunda oleh gerakan mahasiswa hari ini terutama bagi kita, para kader KMHDI. Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi yang menawarkan segala bentuk kepraktisan, hidup secara instan menjadi godaan yang nyata. Namun justru di sanalah tugas kita diuji: berani melawan arus, menanamkan kembali benih pengetahuan di tengah tanah yang mulai tandus oleh distraksi.

Menghidupkan tradisi membaca tidak bisa diserahkan hanya kepada segelintir kader idealis; ia harus menjadi kesadaran bersama, kesadaran kolektif seluruh tubuh organisasi. Membaca adalah dharma, sebuah laku disiplin intelektual yang menajamkan akal, menenangkan ego, dan menyinari jalan juang. Ia bukan sekadar aktivitas mencari tahu, melainkan juga sebuah proses pembentukan watak kader: sabar dalam berpikir, jernih dalam menganalisis, dan bijak dalam mengevaluasi.

Lebih jauh, membaca menjadi gerbang menuju kesadaran kolektif. Dari kesadaran itu, lahirlah gerakan, bukan sekadar reaktif, tapi reflektif dan visioner. Ketika setiap kader membaca, berarti setiap kader memelihara nyala dalam dirinya, nyala yang kemudian menjadi api bersama dalam gerakan sosial, budaya, dan keumatan. Maka orientasi gerakan pun tidak lagi semata-mata bersifat sektoral atau simbolik, melainkan berakar kuat pada kepentingan masyarakat luas.

Jika kita mengandaikan KMHDI sebagai kemungkinan, maka setiap kader memegang peran sebagai aktualisasi. Dan pertanyaannya kini menjadi mendesak: Masihkah KMHDI dapat diandalkan oleh umat Hindu dan bangsa ini untuk menjadi penjaga nilai, bila kader-kadernya enggan menyalakan api pengetahuan lewat membaca?

Semakin aku banyak membaca, semakin banyak aku berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tidak mengetahui apapun. Lewat kalimat tersebut, Voltaire ingin mengajak seluruh kader untuk mulai merenung bahwa menjadi seorang kader yang bukan hanya soal status, melainkan soal membangun kesadaran, bahwa membaca adalah laku suci, laku Dewi Saraswati, dan laku membangun masa depan.

Penulis : Teddy Chrisprimanata Putra (Sekretaris Jenderal PP KMHDI)

.

.

  1. Terjemahan: Beginilah tujuan hamba memohon kesediaan kepada yang terpuji (Saraswati) yang disebut sebagai pemilik kebijaksanaan (pengetahuan).

    Segala ilmu pengetahuan yang baik telah diperdengarkan yang mengawali tersusunnya ilmu pengetahuan menjadi satu.

    Dan juga kesempurnaan pikiran yang diikuti oleh kebijaksanaan dalam berbicara.

    Semoga saya dilihat sedang memohon anugerah dari Dewi Saraswati

    .

Share:

administrator