![]()
Bandung, kmhdi.org – Setelah sekian Purnama saya menahan semua anomali ini dan pada saat tulisan ini muncul, artinya isi hati saya memaksa keluar tanpa melihat konsekuensi kedepannya. Saya sendiri lahir dan besar dalam kondisi Hindu yang memegang teguh adat (dresta) Bali yang kaya akan ritual dan budaya khas. Atas dasar alasan pendidikan saya akhirnya pergi ke Jawa Barat. Namun seiring waktu berjalan, saya mulai merasa bingung dengan Hindu di luar Bali yang terasa berbeda. Tapi sudahlah, Hindu lahir dari tradisi yang berkembang dan dipegang kukuh oleh umatnya. Tak salah jika Hindu memiliki hal yang unik didalamnya.

Kian lama berdiri diluar Pulau Dewata, saya menyadari bahwa penggunaan istilah “Banjar dan “Pura” sering kali menyimpang dari makna aslinya. Hemat saya, Banjar yang semula menggambarkan sistem adat bali untuk membentuk himpunan masyarakat berdasarkan satu kesatuan lingkungan yang dimana setingkat dengan rukun warga. Sedangkan Pura tersendiri merupakan tempat suci dan pusat spiritual, kini mata ini dengan sadar melihat Banjar dan Pura disamarkan atau diartikan ulang oleh lingkungan luar Bali, menimbulkan anomali dan pertanyaan mendalam mengenai keotentikannya fenomena ini menambah kompleksitas dalam memahami dinamika keagaman dan budaya yang berkembang saat ini.
Apa sebenarnya banjar itu?
Dalam kenyataanya di Bali, banjar merupakan wujud dari sistem adat (dresta) Bali yang berfungsi menjadi wadah menyama braya (gotong royong). Meskipun dalam kehidupan masyarakat Bali, banjar seringkali berjalan beriringan dengan praktik keagaaman Hindu, namun peran dan fungsinya sangatlah berbeda nyatanya. Banjar mengikuti suatu aturan adat yang diatur dalam Awig-awig (aturan adat Bali) dimana, dasar dari kegiatan yang ada di dalam ruang lingkup Banjar telah diatur oleh Awig-awig (aturan adat Bali) disetiap desa yang berbeda-beda. Banjar juga didalamnya memiliki struktur yang menopang kehidupan bermasyarakat seperti contohnya: Teruna-teruni, Sekehe Gong, Sekehe Santi, Pecalang dan masih banayk instrumen lainnya dalam berkegiatan di Banjar Adat.
Otokritik untuk Pura di Jawa Barat
Di Jawa Barat, fenomena reduksi makna Banjar dan Pura ini semakin nyata. Pura yang seharusnya menjadi pusat spiritual dan keagamaan kini mulai kehilangan kekuatannya sebagai wadah pembinaan umat yang menyeluruh. Keberadaannya lebih banyak difungsikan sebatas tempat ibadah ritual, tanpa memperkuat aspek sosial dan budaya Hindu di dalamnya.
Lebih ironis lagi, Banjar yang seharusnya menjadi wadah utama kehidupan sosial umat Hindu hanya menjadi papan nama yang dipajang di samping Pura, tanpa ada kehidupan yang nyata di dalamnya. Tidak ada lagi sistem gotong royong yang terstruktur, tidak ada lagi mekanisme sosial yang menopang kebersamaan, dan lebih parahnya, Banjar seakan hanya menjadi simbol eksotis tanpa esensi.
Di satu sisi, umat Hindu di Jawa Barat berjuang untuk mempertahankan eksistensi mereka. Namun, jika tradisi hanya dijaga dalam bentuk simbol tanpa substansi, maka Hindu di luar Bali akan terus kehilangan identitasnya. Pura dan Banjar harus lebih dari sekadar bangunan; ia harus hidup sebagai pusat pembinaan spiritual, sosial, dan budaya yang nyata bagi umat Hindu.
Kini, tantangannya ada di tangan kita semua. Apakah kita hanya ingin menjadi generasi yang menikmati tradisi tanpa memaknainya? Ataukah kita berani mengambil langkah untuk menghidupkan kembali fungsi sejati Banjar dan Pura sebagai pilar kehidupan umat Hindu? Jika kita hanya diam dan mengikuti arus, maka jangan heran jika suatu saat Banjar dan Pura hanya menjadi bagian dari sejarah yang kehilangan makna.
Apakah Banjar sekedar hiasan diluar Bali?
Betapa menggelikan kenyatannya di luar Bali, banjar yang seharusnya menjadi nadi kehidupan sosial dan pusat adat kini dipajang sebagai hiasan belaka. Di mana dahulu banjar berperan menyatukan masyarakat dalam kekeluargaan, sekarang tampaknya hanya hiasan pelengkap disamping bangunan Pura. Banyaknya balai banjar diluar Bali hanya menjadi aksesoris semu, dipertontonkan seperti dekorasi yang tak lagi mengandung fungsi aslinya. Sungguh membuat kita tertawa getir, menyaksikan sebuah tradisi luhur yang direduksi menjadi sekedar pajangan yang dipoles agar cocok dengan selera jaman yang instan dan dangkal. Mungkin suatu hari nanti, dalam kekacuan yang tak kunjung ini, kejelasan akan kembali muncul, atau justru kita akan terus terperangkap dalam ironi yang semakin membingungkan dan menyindir kenyataan, seolah semuanya hanyalah lelucon yang tak pernah habis. Pada Akhirnya, kita sendiri yang dapat merubah semuanya. Lanjut melunturkan tradisi atau melanjutkan suatu tradisi? HORE!
Penulis : Gede Narayana Putra M (Fungsionaris PD KMHDI Jawa Barat)