Oleh : Ni Komang Deviana (Kader PC KMHDI Buleleng)
“Karena wanita ingin dimengerti
Lewat tutur lembut dan laku agung
Karena wanita ingin dimengerti
Manjakan dia dengan kasih sayang”.
Penggalan lirik lagu tersebut seakan menceritakan bahwa seorang perempuan adalah makhluk yang harus selalu dimengerti melalui tutur kata serta perlakuan yang lembut. Berbicara tentang emansipasi wanita, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan salah satu sosok pahlawan wanita yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan, yang tidak lain adalah Ibu R. A. Kartini yang tetap menginspirasi hingga saat ini. “Kartini masa kini”, kata yang tepat guna mencirikan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk turut andil dalam menghadapi tantangan global, yang dimana salah satu caranya adalah memiliki jenjang pendidikan setinggi mungkin.
Perempuan dan jenjang pendidikan tinggi. Mungkin sudah tidak asing lagi bagi para perempuan mendengar sebuah judgement yang mengatakan bahwa, “untuk apa perempuan kuliah tinggi-tinggi, toh pada akhirnya akan bekerja mengurus dapur dan keluarga”. Pernyataan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan di benak saya akan definisi dari otoritas hidup seorang perempuan. Saya sempat bertanya ke beberapa teman terdekat yang sedang meniti karir bahkan yang sudah berumah tangga tentang bagaimana dukungan lingkungan terhadap mimpi yang mereka punya. Beberapa ada yang mengatakan bahwasanya ia sangat didukung oleh keluarganya ingin mengejar sesuatu yang sesuai dengan passion yang mereka miliki. Namun sayangnya ada juga yang menyampaikan bahwa mereka memiliki sebuah keterikatan dan merasa bahwa kehidupannya mengikuti aturan lingkungan.
Tentunya ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah penelitian yang serius untuk diseriusin, namun saya hanya ingin mengungkapkan bahwa, “Di sekitar saya masih ada perempuan yang memiliki batasan akan otoritas hidupnya”. Kekuatan perempuan untuk speak up menyampaikan mimpi-mimpi serta harapan masa depan di lingkungan yang konon disebut sebagai “rumah” rupanya masih diwarnai rasa takut akan judgement orang-orang sekitar. Begitulah manusia, khususnya perempuan. Gemar membungkus masalah didalam pikiran, namun enggan membukanya melalui lisan. Terjebak dalam sebuah penjara namun terkadang diberikan opsi ingin menjalankan hidup seperti apa dengan kata “tapi”. “Kamu bisa melakukan apapun, tapi dengan catatan ABCD”. Atau, “Kamu boleh mengejar pendidikan tinggi, tapi harus sudah menikah di usia sekian tahun”. Sama-sama seperti di penjara bukan? Hanya ukurannya saja yang lebih luas. Perempuan itu ribet? Tidak. Ribet itu ketika diminta untuk membantu mengangkat galon berisi air dan ada perempuan yang mengatakan bahwa itu tugas seorang laki-laki. Namun sayangnya disini saya menganut kesetaraan gender. Siapapun bisa mengangkat air berisi galon, baik laki-laki maupun perempuan.
Bahwasanya siapapun bisa merasakan jenjang pendidikan tinggi, termasuk perempuan sekaligus. Perempuan masa kini justru harus memiliki dan berhak menentukan tujuan hidupnya ingin seperti apa dan bagaimana, termasuk kuliah setinggi mungkin. Kuliah untuk pendidikan karakter. Jika perempuan memiliki pendidikan yang tinggi, hal tersebut bisa menjadi bekal dalam mendidik anak-anak mereka nantinya. Bayangkankan jika anaknya sedang menerima raport di sekolah dan Ibunya tertanda memiliki gelar S2 atau bahkan sampai S3. Akan menjadi sebuah kebanggaan kecil untuk sang Ibu atau anaknya, terlepas dari esensi yang sesungguhnya dari seorang perempuan yang memiliki pendidikan tinggi adalah sebagai bekal dalam menghadapi dinamika kehidupan dan degradasi perubahan zaman.