SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Karangasem, kmhdi.org – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati hari bersejarah Sumpah Pemuda. Momen monumental ketika pemuda-pemudi dari berbagai daerah, suku, dan bahasa bersatu menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Namun, hampir satu abad kemudian, semangat yang dahulu menyala-nyala itu kini seakan meredup di tengah derasnya arus digitalisasi dan individualisme modern.

Pertanyaannya: apakah sumpah itu masih hidup dalam dada Pemuda Indonesia hari ini?

Di era media sosial, pemuda justru lebih sering terjebak dalam polarisasi dan euforia dunia maya. Mereka bersatu bukan karena cita-cita bangsa, melainkan karena tren, fandom, atau kepentingan sempit. Kritik sosial seringkali berujung pada perdebatan kosong di kolom komentar, bukan pada aksi nyata yang membawa perubahan. Padahal, pemuda yang dulu mengikrarkan Sumpah Pemuda tidak hanya berbicara—mereka melawan penjajahan dan menembus sekat-sekat perbedaan demi persatuan bangsa.
Ironisnya, di tengah kemudahan akses informasi, kesadaran kritis justru menurun.

Banyak pemuda menjadi korban arus informasi palsu, malas membaca sumber terpercaya, dan enggan berpikir mendalam. Nasionalisme kini sering hanya sebatas unggahan bertagar di media sosial, bukan gerak nyata untuk memperbaiki bangsa. Fenomena ini menandakan krisis karakter dan arah: pemuda kehilangan makna perjuangan di balik kata “Indonesia”.

Namun, bukan berarti semua pemuda terbuai oleh kemajuan teknologi. Masih banyak yang bergerak di akar rumput, menjadi relawan sosial, pegiat lingkungan, inovator muda, dan pembela keadilan. Mereka adalah potret harapan baru—generasi yang mencoba menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda dengan cara yang relevan di zaman ini. Mereka tidak berteriak tentang Indonesia, tetapi bekerja untuknya.

Kini, tantangan terbesar bagi pemuda bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan mental dan moral. Ketika semangat juang tergantikan oleh kenyamanan, dan idealisme dikorbankan demi eksistensi digital, saat itulah sumpah itu kehilangan maknanya. Sumpah Pemuda seharusnya tidak berhenti sebagai seremonial tahunan, tetapi menjadi panggilan abadi untuk bersatu, berpikir kritis, dan bergerak nyata. Sebab, bangsa ini akan kembali kuat hanya jika pemudanya sadar persatuan tanpa kesadaran hanyalah formalitas, dan perjuangan tanpa nilai hanyalah gerak tanpa arah.

Penulis : Ni Komang Yuli Kusuma Dewi (Pengurus PC KMHDI Karangasem)

Share:

administrator