![]()
Karangasem, kmhdi.org – Tragedi meninggalnya mahasiswa Universitas Udayana (Unud) berinisial T.A.S., yang diduga melakukan bunuh diri di Gedung FISIP Unud Denpasar, menyisakan duka mendalam dan membuka kembali diskusi serius tentang pentingnya keselamatan mental di dunia pendidikan tinggi.
Peristiwa ini bukan sekadar kisah sedih tentang kehilangan, melainkan alarm keras bahwa tekanan mental di kalangan mahasiswa sering kali tidak tertangani dengan baik — bahkan diabaikan sampai akhirnya memakan korban.
Keselamatan Mental Sama Pentingnya dengan Keselamatan Fisik
Selama ini, keselamatan di kampus lebih sering dipahami sebatas keamanan fisik — seperti fasilitas, gedung, atau lalu lintas. Padahal, keselamatan mental jauh lebih kompleks dan sama pentingnya.
Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman secara psikologis, di mana mahasiswa tidak takut diejek, tidak merasa sendirian, dan tidak kehilangan arah hidup hanya karena tekanan sosial atau akademik.
Kasus T.A.S. menjadi bukti bahwa saat lingkungan sosial tidak suportif, ejekan di dunia maya tetap dibiarkan, dan empati mulai hilang, kesehatan mental seseorang bisa runtuh dengan cepat.
Tidak ada yang tahu seberapa dalam luka batin seseorang, karena penderitaan mental sering kali tersembunyi di balik senyum dan prestasi.
Bullying Adalah Ancaman Nyata bagi Keselamatan Mental
Meski pihak kampus menyebut penyebab utama kematian bukan bullying langsung, kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa ada perilaku mengejek dan mempermalukan korban, bahkan setelah ia meninggal dunia.
Itu artinya, nilai kemanusiaan dan empati kita sedang krisis.
Bullying, sekecil apa pun bentuknya — lelucon di media sosial, komentar fisik, atau ucapan merendahkan — dapat menjadi pemicu tekanan psikologis berat bagi seseorang yang sedang rapuh.
Setiap tindakan seperti itu menambah beban mental dan bisa mengikis keinginan seseorang untuk bertahan.
Mengapa Keselamatan Mental Harus Jadi Prioritas Utama?
Kesehatan mental adalah pondasi belajar.
Mahasiswa tidak akan bisa berpikir jernih, berprestasi, atau berkontribusi jika terus dihantui rasa takut, cemas, atau tertekan.
Keselamatan mental menyangkut hak asasi manusia. Setiap individu berhak merasa aman secara emosional dan psikologis di tempat belajar maupun bekerja.
Penulis: Ni Komang Yuli Kusuma Dewi (Pengurus PC KMHDI Karangasem)
