Bandung, kmhdi.org – Ketika saya baru pulang merantau dari Bandung, menyelesaikan S1 lalu melanjutkan S2, saya nongkrong dengan teman-teman lama di warung kopi tengah kota. Kami saling bertukar kabar tentang pengalaman kuliah, peluang kerja, dan rencana kecil untuk mengembangkan bisnis di kampung halaman. Dengan semangat, saya bercerita bagaimana pendidikan mengubah cara pandang saya untuk bisa berpikir lebih kritis, mencoba inovasi di bisnis kecil, dan bagaimana hal-hal progresif itu bisa membantu Bali berkembang tanpa kehilangan jati diri. Teman saya menenggak kopinya, lalu nyeletuk santai, “Nyen kal ke ganti? Presiden nu seger.” Tawa pendek mengelilingi meja, seolah candaan itu menutup diskusi sebelum ia sempat menjadi serius.
Ungkapan “Nyen kal ke ganti? Presiden nu seger” berfungsi sebagai lelucon penenang untuk menetralkan kegelisahan. Tetapi bila dibaca lebih dalam, ia menjadi pembenaran status quo untuk apa berubah bila yang memimpin tampak baik baik saja. Sikap itu menjerat wacana kritis menjadi sesuatu yang dipandang berlebihan atau sia sia. Dalam psikologi sosial, ini mirip kecenderungan konformitas dan aversi risiko sosial, sehingga tindakan progresif mudah dipinggirkan demi diterima dalam kelompok.
Fenomena ini diperparah oleh realitas pariwisata di Bali. Selama beberapa dekade, pariwisata membawa keuntungan ekonomi nyata, tetapi juga menciptakan ketergantungan yang mengerem imajinasi kolektif ketika keberhasilan dinilai dari menjaga kenyamanan wisatawan, upaya yang dianggap “terlalu modern” atau “terlalu kritis” sering dicurigai sebagai pengganggu. Kondisi ini mendorong pola pikir cukup-cukup saja, cukup makan, cukup untuk yadnya, dan jangan membuat gelisah demi menjaga ketenangan yang tampak menguntungkan. Namun ketergantungan pada kenyamanan semacam ini berisiko menenggelamkan potensi inovasi dan keadilan sosial. Pemerintah pusat dan daerah bahkan sempat memberlakukan moratorium pembangunan hotel dan menyiapkan reformasi kebijakan untuk menanggapi masalah overtourism dan overdevelopment di Bali, sebagai respons terhadap dampak pariwisata massal terhadap infrastruktur, lingkungan, dan kebudayaan lokal.
Di balik sikap santai itu ada luka sejarah yang dalam. Peristiwa 1965–66 di Indonesia meninggalkan jejak kekerasan politik yang sangat besar dan membuat banyak keluarga dan masyarakat hidup dalam ketakutan serta diam. Panel internasional dan penelitian sejarah telah menegaskan skala kekerasan dan dampaknya pada ribuan hingga ratusan ribu korban, serta bagaimana narasi resmi selama rezim yang lalu menstigmatisasi mereka yang dianggap berbeda. Dalam konteks ini, generasi berikutnya tumbuh dalam suasana willed amnesia atau ketakutan untuk tampil berbeda, karena sejarah telah menghubungkan pemikiran progresif dengan risiko sosial yang mengerikan. Pembicaraan tentang peristiwa tersebut kerap tampak sulit, dan trauma kolektif itu tetap memengaruhi keberanian warga untuk bersuara dan bereksperimen.
“Jangan sekolah terlalu tinggi, presiden kan masih sehat.” Atau slogan kampung, “Jangan berinovasi, nanti mengusik kenyamanan turis.” Lucu dan sekaligus tragis, karena candaan itu efektif menjinakkan ambisi. Akibat nyata dari mentalitas ini tidak sekadar wacana. Banyak pelaku UMKM khususnya transportasi dan akomodasi menunda digitalisasi karena takut dianggap ‘menonjol‘ atau mengganggu tatanan, anak muda ragu merantau lalu kembali, dan kritik atas pembangunan yang tidak berkelanjutan mudah dilabeli berlebihan. Studi dan kajian tentang pariwisata di Bali menunjukkan bahwa pertumbuhan pariwisata memang membawa tekanan pada sumber daya lokal, lingkungan, dan praktik budaya, sehingga narasi keseimbangan antara ekonomi dan kelestarian menjadi penting bila kita ingin mencegah kerusakan yang lebih besar.
Apa yang bisa dilakukan bukan revolusi spektakuler, tetapi keberanian kecil yang konsisten pendidikan yang menggabungkan kearifan lokal dengan keterampilan kritis dan digital, narasi baru yang menampilkan contoh konkret keberhasilan progresif, ruang aman tempat orang bisa mencoba tanpa takut dicap radikal, dan proses pengungkapan sejarah yang empatik agar trauma kolektif tidak lagi menjadi hambatan permanen. Pembicaraan soal kebenaran masa lalu, pengakuan atas penderitaan, dan dialog yang terstruktur dapat membantu mengurangi bayang bayang ketakutan yang membuat warga enggan berbeda. Para peneliti menyarankan bahwa dialog publik yang hati hati dan pengakuan korban merupakan langkah penting untuk menyembuhkan memori kolektif dan membuka ruang bagi keberagaman berpikir.
Kembali ke warung kopi, setelah candaan itu, beberapa teman masih tertawa, ada pula yang mulai bertanya tanya dengan serius. Saya pulang malam itu memahami bahwa frasa “Nyen kal ke ganti? Presiden nu seger” bukan sekadar humor lokal, melainkan cermin kolektif yang memantulkan ketakutan, kenyamanan, dan pilihan. Jika Bali ingin lebih dari sekadar destinasi wisata yang nyaman, generasi sekarang harus berani menantang gelak tawa itu bukan dengan agresi, tetapi dengan tindakan kecil yang nyata, belajar lagi, membangun lagi, dan berpikir lagi. Presiden boleh terlihat sehat, tetapi masa depan tidak akan menunggu mereka yang memilih untuk tetap nyaman.
Penulis : Tangkas Gede Hary Angga Purnama Damai (Pengurus PD KMHDI Jawa Barat)
Referensi
Kwok, Y. (2016, July 20). Indonesia’s mass killings of 1965 were crimes against humanity, international judges say. Time. https://time.com/4414438/indonesia-crimes-against-humanity-1965/ TIME
Zurbuchen, M. S. (2002). History, memory, and the “1965 incident” in Indonesia. Asian Survey, 42(4), 564–582. https://www.international.ucla.edu/cseas/humanrights/Zurbuchen-Writing-Sample.pdf international.ucla.edu
Sutawa, G. K. (2012). Issues on Bali tourism development and community empowerment to support sustainable tourism development. Procedia – Economics and Finance, 4, 413–422. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(12)00356-5 ScienceDirect
Ratcliffe, R., & agencies. (2024, September 10). Indonesia puts moratorium on new Bali hotels amid overtourism fears. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/article/2024/sep/10/indonesia-bali-tourism-hotels-moratorium The Guardian
Reuters. (2024, August 30). Indonesia to reform tourism on tropical island Bali, senior minister says. Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-reform-tourism-tropical-island-bali-senior-minister-says-2024-08-30/