SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.org – Di bawah langit cerah malam minggu, bertepatan dengan peringatan Hari Masyarakat Adat Dunia, saya membaca opini sahabat di kanal website KMHDI.org yang mengingatkan kita pada satu hal: Undang-Undang Masyarakat Adat yang hingga kini belum juga disahkan, meski bertahun-tahun masuk dalam Program Legislasi Nasional.

Keterlambatan ini bukan sekadar masalah administratif atau teknis pembahasan, melainkan cerminan lemahnya komitmen negara melindungi hak-hak komunitas yang selama ini menjaga hutan, tanah, dan sumber daya alam. Akibatnya, semakin banyak wilayah adat tergerus ekspansi industri ekstraktif, deforestasi tak terkendali, dan penggusuran yang memisahkan masyarakat adat dari tanah leluhurnya.

Data menunjukkan, sekitar 80% keanekaragaman hayati Indonesia berada di wilayah adat, dan sebagian besar hutan yang masih terjaga dikelola oleh komunitas adat. Mereka mengelola alam dengan prinsip keseimbangan, bukan eksploitasi. Namun, tanpa perlindungan hukum yang tegas, wilayah-wilayah ini rentan dialihfungsikan untuk proyek yang mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek. Ketiadaan UU Masyarakat Adat sama artinya dengan membuka pintu bagi deforestasi sistematis.

Politik yang Lebih Berpihak pada Pertambangan

Lambannya pengesahan UU ini justru memberi ruang bagi industri pertambangan — salah satu penyebab terbesar kerusakan lingkungan. Instrumen hukum yang lemah membuat perusahaan leluasa masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan penuh masyarakat setempat. Janji kesejahteraan sering berakhir dengan lubang tambang menganga, air tercemar, dan tanah kehilangan kesuburan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah dan DPR tampak lebih berpihak pada kepentingan modal daripada rakyat dan kelestarian lingkungan.

Kebijakan yang memprioritaskan investasi besar, seperti UU Cipta Kerja, telah melonggarkan prosedur AMDAL dan menyederhanakan izin usaha, mempercepat ekspansi industri. Tanpa UU Masyarakat Adat yang mengikat, ketimpangan kuasa antara masyarakat adat dan korporasi akan semakin melebar. Ini bukan hanya soal ketidakpedulian, melainkan bentuk pengabaian hak-hak warga negara yang dilindungi konstitusi.

Pengesahan UU Masyarakat Adat adalah Kewajiban

UU Masyarakat Adat bukan hadiah negara, melainkan kewajiban konstitusional untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak komunitas adat. UU ini harus menjamin pengakuan wilayah adat secara legal, mencegah kriminalisasi masyarakat adat, dan memastikan mekanisme Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebelum ada aktivitas yang mengubah tata ruang wilayah mereka. Lebih dari itu, UU ini harus menjadi benteng terakhir melawan deforestasi dan perampasan tanah.

Jika pemerintah dan DPR serius menyelamatkan lingkungan dan menegakkan keadilan sosial, pengesahan UU Masyarakat Adat harus menjadi prioritas. Setiap hari penundaan berarti hilangnya hutan, punahnya spesies, dan tercerabutnya masyarakat dari tanah leluhur. Sejarah akan mencatat, di tengah krisis iklim global, negara memilih berpihak — entah pada rakyat dan bumi, atau pada segelintir kepentingan yang mengeruk keuntungan sambil meninggalkan kerusakan.

Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Menunda berarti mengkhianati masa depan bangsa dan bumi yang diwariskan leluhur, untuk kita titipkan kepada generasi mendatang.

Penulis: Wayan Ardi Adnyana (Ketua Departemen Sosial Kemasyarakatan PP KMHDI)

Share:

administrator