SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.org – Hari ini, 9 Agustus 2025, dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat. Sebuah hari penting untuk merayakan kekayaan budaya, pengetahuan lokal, serta kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan bumi. Namun, bagi jutaan masyarakat adat di Indonesia, peringatan ini kembali dihantui oleh satu pertanyaan besar yang belum terjawab: kapan negara akan benar-benar mengakui dan melindungi mereka?

Janji pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) telah bergema sejak lebih dari satu dekade lalu. Setiap tahun, drafnya kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun tak kunjung menjadi undang-undang. Penundaan demi penundaan menjadi ironi pahit yang dialami oleh komunitas adat di seluruh Nusantara, yang hidupnya justru semakin terhimpit oleh konflik agraria, kriminalisasi, dan kehilangan ruang hidup.

RUU Masyarakat Adat Bukan Sekadar Aturan

RUU Masyarakat Adat bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah pengakuan kolektif negara terhadap eksistensi masyarakat adat, terhadap hak-hak mereka atas tanah, budaya, bahasa, dan sistem pengetahuan yang telah diwariskan turun-temurun. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, masyarakat adat terus menjadi korban pembangunan yang eksploitatif: digusur atas nama investasi, dikriminalisasi karena menjaga hutan, dan diabaikan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan mereka.

Krisis yang Tidak Bisa Lagi Diabaikan

Data terbaru menunjukkan bahwa sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025, lebih dari 2,8 juta hektar wilayah adat hilang akibat ekspansi sawit, tambang, dan proyek infrastruktur. Dalam tiga bulan pertama 2025 saja, terjadi lebih dari 110 konflik agraria, banyak di antaranya melibatkan masyarakat adat. Ini bukan hanya angka. Ini adalah nyawa, sejarah, dan warisan yang hancur karena absennya kepastian hukum.

Saatnya Negara Memenuhi Janjinya

Indonesia bangga menyebut dirinya sebagai negara yang majemuk, kaya budaya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Namun penghargaan sejati terhadap kemajemukan itu harus diwujudkan dalam bentuk konkret, salah satunya melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Sudah waktunya pemerintah dan DPR berhenti mempermainkan nasib masyarakat adat dengan wacana kosong. Sudah saatnya suara adat didengar, bukan hanya pada perayaan simbolik tahunan, tapi dalam kebijakan dan hukum negara. Kita tidak butuh seremoni, kita butuh aksi nyata.

RUU Ini Adalah Jalan Pulang

Bagi masyarakat adat, RUU ini adalah jalan pulang, bukan sekadar ke tanah mereka, tetapi juga ke martabat yang selama ini terpinggirkan. Dan bagi kita sebagai bangsa, ini adalah kesempatan untuk menebus janji konstitusi bahwa negara akan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa kecuali.

Selamat Hari Masyarakat Adat Sedunia!

Penulis: Ira Apryanthi (Litbang PP KMHDI)

Share:

administrator