![]()
Jakarta, kmhdi.org – Di banyak perguruan tinggi, proses kaderisasi organisasi mahasiswa masih menjadi panggung pertunjukan kekuasaan senior. Di atas kertas, kaderisasi bertujuan mulia: membentuk pemimpin masa depan, mendidik intelektual yang kritis, dan membangun loyalitas terhadap nilai-nilai organisasi. Namun di lapangan, tak sedikit kaderisasi justru menjelma menjadi arena pembungkaman, di mana keberanian bicara dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan budaya tunduk mutlak kepada senior dijadikan norma yang harus ditaati.
Senior Sebagai Raja, Junior Sebagai Rakyat Jelata
Fenomena ini kerap dimulai dari glorifikasi senioritas. Senior, yang sejatinya adalah fasilitator dan teladan, diposisikan layaknya raja yang tidak boleh dikritik. Sementara junior harus “tahu diri”, “tunduk pada proses”, dan “diam dulu” hingga suatu hari diberi hak bicara — sebuah hak yang seolah bukan hak asasi, melainkan privilese dari senior.
Akibatnya, keberanian berbicara menjadi sesuatu yang tabu. Junior yang mengutarakan pendapat sering kali dicap sebagai “arogan”, “kurang ajar”, atau “belum pantas”. Budaya ini turun-temurun dilestarikan, bahkan dijadikan identitas kebanggaan oleh oknum mahasiswa tertentu yang merasa bahwa semakin keras dan menindas kaderisasi, maka semakin ‘berhasil’ proses tersebut.
Dulu Relevan, Kini Usang: Studi Banding Senioritas Zaman Dulu dan Sekarang
Dalam konteks sejarah, senioritas mungkin relevan di era pergerakan mahasiswa tempo dulu, di mana situasi politik menuntut solidaritas yang kaku dan garis komando yang tegas. Saat itu, senior sering memegang peran penting sebagai jembatan ke tokoh-tokoh nasional atau penggerak massa, dan ketaatan menjadi instrumen penting demi efektivitas pergerakan kolektif.
Namun hari ini, lanskap dunia mahasiswa telah berubah total. Era digital dan keterbukaan informasi menuntut organisasi bersifat dialogis, demokratis, dan partisipatif. Generasi mahasiswa saat ini lebih menghargai ruang berekspresi yang inklusif dan menolak pola relasi yang menindas. Senioritas absolut menjadi usang karena tak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, minat mahasiswa terhadap organisasi mahasiswa semakin merosot. Data informal dari berbagai kampus menunjukkan tren penurunan partisipasi dalam organisasi intra dan ekstra kampus. Banyak mahasiswa merasa bahwa organisasi justru menjadi beban, penuh tekanan, dan kurang memberikan ruang berkembang. Budaya senioritas yang kaku menjadi salah satu faktor penghambat, karena tidak mampu menciptakan suasana belajar yang sehat dan menyenangkan.
Dampak Kaderisasi yang Membungkam
Kaderisasi yang dibangun di atas fondasi ketakutan akan melahirkan kader yang pasif, penurut, dan tidak kreatif. Organisasi akan stagnan karena ide-ide baru terkubur dalam senyap. Lebih jauh lagi, budaya ini menciptakan lingkungan toksik yang merusak mental kader muda, bahkan tidak jarang menjurus pada kekerasan psikologis atau verbal.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah: Apakah kita ingin organisasi yang kuat karena kadernya bebas berpikir dan berbicara, atau organisasi yang rapuh karena hanya bergantung pada suara segelintir senior? Pilihan ada di tangan kita. Melahirkan pemimpin masa depan yang kritis dan berani, atau sekadar menciptakan pengikut yang pasif?!
Menggugat Budaya Pseudo-Feodalisme
Saatnya kita menggugat pseudo-feodalisme dalam organisasi mahasiswa. Kaderisasi seharusnya menjadi proses pemberdayaan, bukan penundukan. Junior bukan budak sistem; mereka adalah generasi penerus yang harus dibina dengan semangat dialog dan kesetaraan. Senior bukan untuk ditakuti, tapi dijadikan contoh yang inspiratif dan suportif.
Organisasi mahasiswa harus menjadi ruang inklusif di mana setiap suara dihargai, setiap gagasan ditanggapi dengan bijak, dan keberanian berbicara dianggap sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Penutup: Kaderisasi yang Mendidik, Bukan Menindas
Membongkar budaya senioritas buta memang tidak mudah. Namun jika kita benar-benar peduli terhadap masa depan organisasi, sudah saatnya membangun kultur kaderisasi yang sehat, kritis, dan membebaskan. Jangan jadikan senioritas sebagai alat kekuasaan. Jadikanlah ia tanggung jawab moral untuk mencetak kader yang lebih baik dari generasi sebelumnya.
“Dalam organisasi, yang tua bukan untuk menindas, yang muda bukan untuk dibungkam. Kita semua ada untuk saling belajar dan membangun peradaban.”
Penulis: I Kadek Ria Febri Yana (Anggota Departemen Litbang PP KMHDI)
