![]()
Bandung, kmhdi.org – Saudara-saudara, Telah menjadi kebiasaan di antara kita, kaum yang mengaku berjuang, untuk tergesa menyebut sesuatu sebagai “masalah” bilamana ia tidak berjalan sebagaimana lazimnya di masa lampau. Dan di antara yang kerap menjadi kambing hitam atas segala kebekuan dan kemacetan organisasi dewasa ini, tiada lain dan tiada bukan ialah Gen Z.
Mereka yang tumbuh di tengah revolusi digital, yang semenjak kanak-kanak telah berkawan dengan algoritma, yang hidup dalam samudera informasi tak bertepi, kini dianggap kurang loyal, enggan berproses, dan malas berjibaku demi cita-cita bersama. Seolah-olah nilai pengabdian itu hanya dapat diwujudkan dalam bentuk kehadiran di rapat, absensi pada kaderisasi, dan teriakan yel-yel yang tiada mengandung jiwa sejati.
Tetapi, wahai saudara! Sungguh nista kiranya kita melabeli suatu generasi sebagai pembawa kerusakan, tanpa terlebih dahulu bertanya dengan kejujuran nurani dengan semangat apakah organisasi ini hendak memanggil mereka? Dengan cita-cita apa kita mengundang mereka berproses? Dengan nilai-nilai apakah kita menanamkan api perjuangan?
Boleh jadi organisasi hari ini tampak sepi, sunyi dari kader muda, bukan semata lantaran mereka enggan mendekat. Tiada mustahil sebab utamanya ialah ruang yang disediakan telah menjadi beku, menolak perubahan, dan sibuk menjaga warisan yang telah kehilangan daya hidup.
Gen Z bukanlah benda mati yang dapat digeser, ditarik, atau dijejalkan ke dalam sistem yang tidak mereka yakini. Mereka bukan mesin produksi kader. Mereka adalah manusia—berpikir, merasa, dan menimbang—yang hendak menentukan jalan hidupnya sendiri dengan sadar dan merdeka.
Dan jika organisasi tidak sanggup menyediakan ruang yang hidup, yang otentik, yang sungguh berkenan di hati, maka apakah salah bila mereka memilih jalan lain?
Bukan mereka yang wajib ditundukkan.
Melainkan organisasi yang seyogianya dibangunkan dari tidur panjangnya.
Maka saudara-saudaraku, telah tibalah waktunya kita mengoreksi haluan berpikir kita sendiri. Sebelum menyebut sesuatu sebagai masalah, hendaklah kita mengerti lebih dahulu apa yang menjadi pangkalnya. Dan atas dasar itu pulalah tulisan ini dibangun memakai suatu kerangka berpikir yang bernama PICA yakni Problem, Identification, Corrective, dan Action.
Kita mulai dari keluhan yang merata, organisasi kehilangan kader. Kita identifikasi, boleh jadi bukan generasi yang telah berubah, melainkan organisasi yang terlampau jumawa untuk menyesuaikan diri. Kita koreksi, paradigma usang yang masih memandang kaderisasi hanya sebagai alat penjinak massa, bukan ruang pertumbuhan jiwa. Dan kita ajukan tindakan, bangunlah organisasi yang layak dipilih, bukan yang sibuk memaksa untuk diikuti.
Dan sebelum engkau, saudara, tergesa mengambil sikap, biarkan aku nyatakan satu hal terakhir.
Tulisan ini ditulis oleh seorang Gen Z.
Dan lebih ironisnya lagi mereka yang paling kerap menuduh Gen Z sebagai masalah…
…tiada lain ialah Gen Z itu sendiri.
Suatu generasi yang bahkan belum sanggup menjaga relevansi di dalam generasinya sendiri, kini merasa layak memimpin perubahan?
Sungguh, jika itu bukan kekeliruan berpikir, entah apa lagi namanya.
Dan jikalau tulisan ini terasa kuno, terasa berat, terasa seolah berasal dari masa silam—maka kuucapkan: syukurlah! Sebab dengan gaya bahasa yang lahir dari dari semangat yang tak mau tunduk pada waktu, nyatanya masih dapat kau baca hari ini.
Itulah buktinya jangankan manusia, gaya penulisan pun boleh berubah.
Lalu tidakkah kau malu, wahai saudara, bila organisasi justru tetap membatu?
Barangkali akan lebih terang kiranya bila kita tilik sebentar perbincangan dua orang muda. Sebut saja Armanuddi, seorang bertengger di atas menara kejayaan masa lampau, dan Manggala, seorang yang berjejak pada bumi kenyataan hari ini.
Bacalah, wahai saudara, dan tanyakan pada nuranimu di pihak siapakah kebenaran berdiri?
Armanudin: Wahai adinda muda, duduklah sejenak bersama kami. Di sinilah tempat lahirnya pejuang, ditempalah kader-kader bangsa. Apalah arti IPK bila perjuangan belum kautunaikan? Marilah bergabung! Kita tak hanya belajar teori, tapi menanamkan ideologi!
Manggala: (tersenyum sopan namun dengan sorot mata mengantuk):
“Wah, kakanda, tuturmu sungguh menyala. Tiada diragukan semangatmu. Namun izinkan hamba bertanya… sudah berapa semester kakanda berjuang di bangku kampus ini?”
Armanudin (sedikit batuk-batuk, lalu tertawa kaku): “Ah… itu tiada penting! Sebab waktu bukan ukuran! Kami ini pasukan idealisme! Kuliah hanyalah kendaraan, sedang tujuan kita adalah membangun bangsa!”
Manggala (mengangguk pelan):
“Boleh jadi begitu adanya. Namun maafkan hamba yang masih hijau… sebab dari sekian janji yang kautawarkan, adakah satu pun telah tercapai? Ataukah ini hanya pengulangan dari masa silam yang tak kunjung kauselesaikan?”
Armanudin (gelisah, mulai menaikkan nada):
“Adinda! Tiada semangat bila terlalu perhitungan! Kita butuh militansi, bukan mental instan nan rapuh!”
Manggala (dengan tenang, namun menggigit):
“Militansi, katamu? Sementara skripsi pun tiada kausentuh? Engkau berteriak soal perubahan, namun langkahmu tetap di tempat. Engkau hendak menarik kami ke dalam organisasi, tetapi ruang itu tak kaubersihkan, tak kauhidupkan. Apakah kami ini buruh idealismemu, atau manusia yang hendak tumbuh?”
Armanudin (membelalakkan mata, terdiam)
Manggala (berdiri perlahan, merapikan tas, bersiap pergi):
“Kakanda, maafkan bila tuturku terlampau pedas. Namun ketahuilah: kami, generasi ini, tiada anti perjuangan. Kami hanya jenuh pada panggung yang tak lagi jujur. Dan tiada yang lebih menyedihkan daripada melihat mereka yang dahulu muda, kini sibuk menertawakan yang muda.”
Armanudin (duduk terdiam, menatap lantai yang retak)
Manggala (berjalan menjauh, namun bersuara sekali lagi tanpa menoleh):
“Bila organisasi ingin kami masuk, janganlah memaksa. Jadilah tempat yang layak untuk kami pilih. Sebab kami bukan kambing untuk digiring. Kami manusia yang hendak merdeka.”
Segala nama dan watak dalam dialog ini tiada bermaksud mencerminkan pribadi tertentu. Semuanya hanyalah samaran belaka, hasil reka dan sastra, agar pembaca sekalian dapat merenung tanpa prasangka, menimbang tanpa amarah, dan berpikir jernih di tengah derasnya keluh-kesah zaman.
Kiranya, bila ada yang terasa menusuk, barangkali bukan karena ujungnya yang tajam, melainkan karena tempat saudara berdiri yang terlalu dekat pada kenyataan.
Penulis : I Made Bayu Satria Nugraha (Ketua PC KMHDI Bandung)
