![]()
Denpasar, kmhdi.org – Kadang kita tergoda untuk menilai tingkat spiritualitas seseorang dari penampilan luarnya. Cara mereka berpakaian, seberapa sering mereka mengunjungi tempat suci, atau seberapa fasih mereka mengutip kitab suci—semuanya tampak seperti indikator keimanan. Tapi benarkah itu cerminan dari kesucian hati?
Agama dan spiritualitas bukanlah perlombaan untuk terlihat paling suci. Dalam ajaran Hindu, kesadaran (caitanya) adalah pusat dari segalanya. Seorang yogi bisa hidup dalam keheningan hutan, berpakaian sederhana, tak dikenal siapa-siapa namun jiwanya bisa menyala dalam kasih, welas asih, dan kedamaian yang tak tergoyahkan. Sebaliknya, ada pula yang lantang berbicara soal dharma, namun hatinya penuh ambisi dan pamrih. Siapa yang lebih spiritual? Kita tak pernah tahu. Karena Tuhan tidak melihat jubah, tapi niat terdalam.
Ada sebuah sloka dalam Bhagavad Gītā 5.18 yang berkata: “Para resi yang rendah hati, berdasarkan pengetahuan yang sejati, melihat seorang brahmaṇā yang bijaksana dan lemah lembut, seekor sapi, seekor gajah, seekor anjing dan orang yang makan anjing dengan penglihatan yang sama.”
Artinya, bagi mereka yang telah mencapai kebijaksanaan sejati, tak ada bedanya antara yang dihormati dan yang diremehkan oleh masyarakat. Karena di balik bentuk luar yang berbeda-beda, ada ātman yang sama — percikan Tuhan yang suci dan tak tercemar.
Kita hidup dalam dunia yang mudah terkecoh oleh simbol. Jubah putih, tilaka di dahi, atau kata-kata manis bisa menipu. Tapi hati yang penuh cinta tak bisa dipalsukan. Orang yang benar-benar religius tak sibuk menunjukkannya. Mereka menyembah bukan untuk dilihat, tapi karena cinta mereka kepada Yang Ilahi begitu tulus. Mereka membantu bukan untuk dipuji, tapi karena mereka merasa satu dengan semua makhluk.
Spiritualitas bukan sesuatu yang dipamerkan. Ia seperti wangi bunga yang hadir tanpa suara, namun memberikan wangi bagi siapa saja yang menciumnya.
Jadi, sebelum kita buru-buru menghakimi seseorang sebagai tidak religius hanya karena mereka tidak seperti kita, mari kita ingat: barangkali mereka sudah lebih dekat dengan Tuhan daripada kita yang merasa paling paham. Dan bisa jadi, saat kita sibuk menilai, kita justru sedang menjauh dari esensi sejati spiritualitas. Kita rendah hati, rendah kasih sayang, dan rendah keheningan batin.
Penulis: Panca Kusuma Ramadi (KMHDI Denpasar)
Source: Dharma Bercerita
