![]()
Bandung, kmhdi.org – Sebagai salah satu yang terlahir dengan embel-embel kasta Brahmana, saya merasa punya tanggung jawab besar untuk menjaga nama baik dan esensi dari kasta itu sendiri. Tapi jujur saja, saya sering merasa kecewa dan gelisah melihat banyak orang yang sama dengan saya malah sibuk mengumbar kearoganan, bukan merawat makna luhur yang seharusnya melekat. Kasta bukan sekadar soal garis keturunan atau status sosial, tapi lebih pada bagaimana kita menjalankan tanggung jawab moral. Sayangnya, ada yang lebih bangga dengan posisi tinggi, tapi lupa sama sekali untuk rendah hati dan menjadi teladan. Ini bukan hanya soal saya pribadi, tapi keresahan yang ingin saya suarakan dari belasan galungan yang telah saya lewati agar kita semua, terutama yang berkasta, kembali mengingat hakikat sebenarnya dari warisan yang kita bawa.
Apa sih kasta itu?
Jika hanya mendengar kata ‘kasta’, perhatian seketika tertuju soal kelas sosial, gelar tinggi, atau bahkan yang lebih parah; arogansi. Padahal, secara filosofis, kasta atau catur warna di Bali itu bukan cuma soal siapa duduk paling atas atau paling bawah, tapi tentang fungsi dan tanggung jawab dalam masyarakat. Ada Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra, empat warna yang seharusnya saling melengkapi dan menjaga keseimbangan. Brahmana itu bukan sekadar “bangsawan rohani,” tapi juga guru, pemimpin moral, dan pelindung ilmu pengetahuan. Ksatria bertugas sebagai pelindung dan pemimpin politik, Wesya sebagai pengelola ekonomi, dan Sudra sebagai pelayan masyarakat. Jadi, kasta itu esensinya soal tugas dan kewajiban, bukan alasan buat pamer atau merasa lebih. Sayangnya, sekarang banyak yang lupa ini, dan malah bikin kasta jadi panggung drama arogansi yang ‘nggak lucu’ sama sekali. Yang membuat semakin miris, bukan hanya orang lain—tapi teman-teman saya sendiri, bahkan beberapa saudara dekat, kadang enggan tahu makna dari gelar yang menempel di depan nama mereka. Mereka bangga disapa “Tuaji” atau “Gung Aji”, tapi nggak pernah tanya ke diri sendiri: “apa sih arti tanggung jawab di balik nama ini?” Akhirnya, yang diwarisi cuma gelarnya, bukan nilai-nilainya. Jadi jangan heran kalau banyak yang lebih sibuk mempertahankan harga diri, tapi perlahan pudar kesadarannya kalau sejatinya mereka sedang kehilangan jati diri sejati.
Tulisan Ini, Sebuah Ajakan
Saya tidak bilang saya yang paling mengerti atau paling suci dalam urusan ini—saya pun juga masih belajar. Tapi setidaknya, saya mulai sadar bahwa gelar dan kasta itu tidak akan berarti apa-apa kalau nggak dibarengi dengan sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur. Solusinya? Mulai dari hal kecil. Misalnya, berani bertanya ke diri sendiri dulu: “Udah pantas belum saya menyandang nama ini?” Terus gali lagi makna-makna sosial dari kasta yang kita bawa. Kalau perlu, ajak ngobrol orang tua, guru, atau siapa pun yang bisa bantu membuka wawasan. Buat generasi muda, ini juga jadi penting banget—karena zaman boleh maju, tapi kalau mental kita masih stuck di gengsi dan kemasan luar, kita cuma akan jadi pewaris nama, bukan pewaris makna. Mungkin sekarang waktunya kita balik arah—bukan sekadar mewarisi kasta, tapi juga menghidupkan nilai-nilai luhur dalam keseharian.
Jangan-jangan, yang kita warisi selama ini bukanlah nilai luhur dari leluhur, tapi cuma gengsi kosong yang dibungkus rapi oleh gelar. Kasta yang seharusnya menjadi pengingat tanggung jawab, kini malah jadi alat pembenar untuk bersikap angkuh. Jika gelar mulia hanya dijadikan pajangan tanpa makna, maka sebenarnya kita sedang mempermalukan warisan itu sendiri. Lebih baik rendah hati tanpa gelar, daripada bergelar tinggi tapi kehilangan rasa kemanusiaan. Karena pada akhirnya, bukan seberapa tinggi kita dilahirkan yang akan diingat, tapi seberapa rendah hati kita hidup dan meninggalkan jejak.
Ida Bagus Oka Santika Putra (Sekretaris PC KMHDI Bandung)
