![]()
Bandung, kmhdi.org – Belakangan ini, fenomena kesurupan kembali marak terjadi di berbagai wilayah Bali. Sebagai seorang perantau Bali, dan di KMHDI Jawa Barat saya dituntut untuk berpikir tentang daerah Jawa Barat, dan tentu kampung halaman saya! Baiklah saya akan membuka dengan mulai banyak yang menyaksikan, banyak pula yang langsung menyimpulkan: “kerauhan.” Ketika seseorang menari tak terkendali, berbicara dalam suara yang bukan miliknya, atau menunjukkan kekuatan yang tak masuk akal Namun di tengah ketegangan dan rasa takut, satu pertanyaan jarang benar-benar dijawab: apa sebenarnya kerauhan itu? Apakah ia murni peristiwa niskala yang berkaitan dengan dunia roh, atau justru memiliki sisi kejiwaan yang bisa dijelaskan secara psikologis?

Apa itu Kerauhan?
Kata kerauhan berakar dari kata rauh, artinya “datang”. Kerauhan adalah kondisi saat seorang individu didatangi oleh entitas gaib, baik Bhatara Sesuhunan, Leluhur maupun ancangan iringan Ida Bhatara (mahluk niskala pengikut Ida Bhatara). Kerauhan adalah pengalaman mistis yang sangat dekat dengan kehidupan religius masyarakat Bali. dia akan kehilangan kesadaran dalam artian semua. Tindakan dan ucapan orang bersangkutan akan diambil alih oleh “entitas” yang merasukinya. Gerakan tubuh dan kata-kata terucap tanpa kendali. Menurut beberapa orang yang sering kali mengalami kerauhan, mereka masih memiliki kesadaran diri. Dalam artian orang yang sedang kerauhan itu tidak sama seperti orang yang tertidur. Hanya saja, mereka kehilangan kendali terhadap tubuhnya. Seolah, mereka hanya menjadi penonton atas dirinya sendiri.
Apakah semua kerauhan sama saja?
Menurut Komang Gases (Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H.,), seorang akademisi dan peneliti budaya Bali bahwa kerauhan digolongkan menjadi dua golongan, kerauhan dewa dan kerauhan bhuta. Kerauhan dewa adalah entitas yang derajatnya lebih tinggi dari manusia, maka kerauhan Dewa dianggap sebagai jenis kerauhan yang paling tinggi. Selain itu, karena konteks kerauhan terjadi di Pura, terlebih saat sedang digelarnya ritual untuk menghadirkan Bhatara, maka cenderung terjadi generalisasi bahwa semua yang kerauhan itu sedang Kerauhan Dewa. Atau paling tidak, para pengiring Bhatara (prasanak/rerancangan) yang sedang merasuki individu tersebut. Sedangkan kerauhan bhuta merupakan entitas yang terbalik dari tingkah laku dewa seperti membuat masalah.
Bagi masyarakat Bali, kerauhan yang terjadi di Pura saat ritual keagamaan digelar adalah sebuh “ciri” bahwa ritual tersebut memiliki dampak. Adanya anggota masyarakat yang kerauhan menandakan bahwa Ida Bhatara (beserta pengiring-Nya) benar-benar hadir dalam ritual tersebut. Kerauhan yang terjadi ini membuat ritual yang digelar bukan sekedar formalitas ritualistik kering, namun menghadirkan kesan sakral yang mendalam. Kesan sakral dan “tenget” ini kemudian bukan hanya meningkatkan keyakinan (sraddha-bhakti) dari mereka yang sedang kerauhan saja, namun juga pada anggota masyarakat lain yang hadir dalam ritual.
Niskala atau Kejiwaan ?
Kerauhan merupakan fenomena multidimensi yang tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi ia hadir di persimpangan antara dunia niskala yang tak kasat mata dan dunia kejiwaan manusia. Kedua dimensi ini bukan lawan, melainkan dua sisi yang saling melengkapi dalam menjelaskan pengalaman spiritual dan psikologis seseorang saat kerauhan terjadi. Dalam konteks kerauhan, niskala dan kejiwaan bukan dua dunia yang terpisah, melainkan dua sisi dari satu pengalaman manusia yang utuh. Memahami keduanya secara seimbang membantu kita untuk menghormati nilai-nilai budaya dan spiritual yang telah ada, sekaligus menjaga kesehatan mental dan emosi individu yang mengalami kerauhan.
Fenomena kerauhan dapat terjadi karena perpaduan antara energi niskala dan kondisi kejiwaan manusia, sudahkah kita cukup bijak untuk memahami keduanya? bukan hanya sebagai fenomena aneh, tapi sebagai “pesan” yang menanti untuk didengarkan.
HORE !
Penulis : Gede Narayana Putra Mahardhika (Kaderisasi PD KMHDI Jawa Barat)