SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Mataram, kmhdi.org – Pernahkah teman-teman merasa takut atau malu saat ingin bertanya dalam sebuah seminar atau diskusi? Akibatnya, kesempatan pun hilang. Pertanyaan yang sudah kita pikirkan justru diajukan oleh orang lain. Rasanya tentu kecewa bukan karena orang lain yang bertanya, tetapi karena kita sendiri tidak berani bersuara. Saya pun pernah berada dalam posisi itu. Bahkan hingga kini, masih banyak teman-teman lainnya, khususnya generasi muda Hindu di Mataram, yang mengalami hal serupa.

Semakin sering saya mengikuti diskusi dan ruang-ruang dialog keumatan, semakin saya merasa resah. Mengapa generasi muda kita takut berbicara di depan umum? Padahal, kita hidup di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi informasi yang seharusnya memudahkan kita mengakses informasi, membuka cakrawala berpikir, dan memperkuat literasi.

Sayangnya, masih terdapat ruang-ruang sempit dalam sistem pendidikan dan budaya berpikir masyarakat kita yang justru menghambat tumbuhnya generasi yang kritis dan berani bersuara. Salah satu ironi terbesar adalah bagaimana filsafat Hindu warisan intelektual dan spiritual yang sangat kaya sering kali dianggap tabu untuk dipelajari secara mendalam oleh anak-anak muda Hindu.

Banyak generasi muda Hindu tumbuh dalam lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung membatasi eksplorasi mereka terhadap filsafat dan ajaran leluhur. Stigma seperti “Nguda melajah keto, tang dadi pedande bae?” atau “Awas, bodoh melajahin lontar!” menjadi tembok psikologis yang membunuh rasa ingin tahu sejak dini. Akibatnya, muncul generasi yang ragu untuk berpikir kritis, takut bertanya, dan kehilangan keberanian menggali makna terdalam dari tradisi serta agamanya sendiri.

Padahal, filsafat Hindu tidak hanya diperuntukkan bagi para sulinggih atau orang suci. Ia adalah pondasi intelektual yang membentuk etika, nilai-nilai kehidupan, dan pola pikir generasi masa depan. Gagasan seperti Tat Twam Asi, Vasudhaiva Kutumbhakam, Tri Hita Karana, dan Tri Kaya Parisudha bukan sekadar slogan, melainkan semangat untuk memahami kemanusiaan, tanggung jawab sosial, dan kemandirian berpikir.

Minimnya pelurusan pemahaman ini berdampak besar. Tidak hanya merugikan secara intelektual, tetapi juga menciptakan rantai stagnasi dari generasi ke generasi: dari orang tua ke anak, dari guru ke murid, dari desa ke kota. Tak sedikit anak muda yang merasa “berdosa” hanya karena ingin memahami agama lebih dalam. Mereka takut dikritik, takut dianggap menyimpang, hingga akhirnya memilih diam dan memadamkan semangat belajar bahkan sebelum menyentuh ilmunya.

Sudah saatnya kita sebagai umat Hindu, terutama para pendidik, tokoh adat, dan pemuka spiritual membuka ruang yang lebih luas dan inklusif dalam penyampaian ajaran agama dan filsafat Hindu. Anggapan bahwa mendalami agama hanya untuk yang suci, atau bahwa belajar agama bisa menyebabkan kegilaan, hanyalah mitos yang perlu diluruskan. Justru, jika kita tidak memahami ajaran leluhur dengan benar, generasi mendatang akan merasa asing terhadap agamanya sendiri.

Filsafat Hindu bukan warisan untuk ditakuti, melainkan untuk dipelajari, didialogkan, dan dijadikan bekal hidup. Sudah saatnya kita menciptakan generasi Hindu yang tidak hanya tahu bagaimana cara sembahyang, tetapi juga memahami mengapa mereka sembahyang. Generasi yang tidak hanya menjalankan upacara, tetapi mampu menjelaskan esensinya. Dan yang paling penting: generasi yang tidak takut untuk berpikir dan bersuara.

Penulis: I Putu Eka Widiantara (Ketua PC KMHDI Mataram)

Share:

administrator