SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.org – Sore ini ditemani secangkir kopi hangat berdiskusi bersama sahabat perjuangan KMHDI, kami berdiskusi tentang satu satu isu yang cukup mengejutkan dari dunia pendidikan dan ketenagakerjaan, dimana Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data yang cukup mengejutkan: tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia justru datang dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 9,01%, disusul lulusan SMA 7,05%, dan D4–S3 5,25%. Ironisnya, justru lulusan SD dan SMP mencatat angka pengangguran yang lebih rendah, yakni masing-masing 2,32% dan 4,11% (15/5).

Di tengah optimisme Indonesia menghadapi bonus demografi, yakni kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan usia nonproduktif, data ini menjadi peringatan keras. Alih-alih menjadi kekuatan pendorong kemajuan bangsa, bonus demografi berisiko berubah menjadi bencana demografi bila tidak dibarengi dengan kesiapan sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang memadai.

Pertama, tingginya pengangguran di kalangan lulusan SMK menunjukkan bahwa sistem pendidikan vokasi belum berhasil menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia industri. Kurikulum yang usang, minimnya akses magang berkualitas, dan keterampilan yang tidak relevan membuat lulusan SMK tidak siap kerja, meskipun secara konsep mereka dipersiapkan untuk itu.

Kedua, dunia kerja di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yang lebih menyerap tenaga kerja tanpa memandang jenjang pendidikan. Hal ini menyebabkan lulusan SD dan SMP tampak “lebih cepat terserap”, meskipun sebenarnya mereka lebih banyak masuk ke sektor pekerjaan informal yang rawan eksploitasi dan tidak memiliki jaminan sosial.

Ketiga, pendidikan tinggi pun belum mampu menjadi jaminan akses terhadap pekerjaan layak. Banyak lulusan D3–S3 yang berjuang keras di pasar kerja yang kompetitif, tidak hanya karena kekurangan pengalaman, tapi juga karena minimnya keterhubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri.

Apa artinya bagi masa depan bangsa?

Jika kita tidak segera mengatasi masalah ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja, maka bonus demografi yang kita miliki saat ini akan berubah menjadi beban demografi. Jutaan anak muda produktif akan terjebak dalam pengangguran, frustrasi, dan bahkan bisa menjadi benih instabilitas sosial.

Untuk menjawab permasalahan diatas, pemerintah harus mengambil solusi konkret seperti:

  1. Reformasi Kurikulum Pendidikan Nasional, baik akademik maupun vokasi, agar berorientasi pada kebutuhan nyata dunia kerja dan perkembangan teknologi.
  2. Mendorong sinergi antara pendidikan dan industri, melalui program link and match, magang wajib, dan sertifikasi kompetensi sejak bangku sekolah.
  3. Membangun ekosistem kewirausahaan muda, dengan mempermudah akses modal, pelatihan, dan inkubasi bisnis lokal berbasis potensi desa/kawasan.
  4. Pemetaan Pasar Kerja Digital dan Proyeksi Masa Depan, agar generasi muda tahu ke mana harus mengembangkan kompetensi.

Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika kita mampu menjadikannya sebagai momentum perbaikan struktural pendidikan dan ketenagakerjaan. Jika tidak, kita sedang menyiapkan generasi frustrasi yang memiliki gelar, namun tak memiliki pekerjaan.

Penulis : Wayan Ardi Adnyana – Ketua Departemen Sosial Kemasyarakatan PP KMHDI

Share:

administrator