![]()
Buleleng, kmhdi.org – Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Buleleng melaksanakan kegiatan diskusi Obrak Abrik (obrolan asik dan menarik) dengan tema “Ogoh-Ogoh Dalam Hindu Tradisi Atau Ajaran Agama?” secara online (25/3). Kegiatan ini bertujuan untuk memahami lebih dalam tentang makna dan signifikasi ogoh-ogoh dalam agama hindu.
Ogoh ogoh adalah karya seni dalam kebudayaan bali untuk membangkitkan semangat generasi muda. Diskusi ini menghadirkan 2 (dua) pemantik dengan memaparkan pandangan mereka tentang ogoh-ogoh. Pemantik pertama disampaikan oleh bapak I Made Rasta, S.Pd.,M.Pd. dari Kepala Sekolah SMK Negeri 1Sawan dan bli ngurah Bagus Widhia Kusuma Putra. S.Ikom. yang saat ini sebagai penyuluh Agama Hindu.
Made Rasta menyampaikan pandangannya, perkembangan ogoh-ogoh mulai berkembang di Bali tahun 1980 sehingga jika dikatakan itu budaya tradisi turun-temurun bisa dikatakan masih baru karena sifatnya tradisi baru, apakah ogoh-ogoh bisa dikatakan ajaran agama?, itu bisa dikatakan ajaran agama jika digunakan dalam kegiatan spiritualitas seperti saat hari raya nyepi, “, imbuhnya.
Pendapat lain disampaikan oleh bli Bagus dengan pandangan yang berbeda menurutnya “ogoh-ogoh bukan merupakan tradisi ataupun ajaran Hindu yang tertuang dalaam kitab ataupun lontar, namun inilah hindu nusantara dapat dikatakan bawasnya ogoh-ogoh adalah turunan dari dari pengimplementasian hal tersebut bukan menutup kemungkinan ogoh-ogoh kedepan akan menjadi sebuah tradisi turun temurun”, ungkapnya
Dengan hasil diskusi ini kita melihat dari berbagai sudu pandang , Bali memiliki ritual upacara melasti, pengrupukan dan diikuti dengan penggarakan ogoh – ogoh hal ini sebagai bentuk simbolisasi Bhuta kala. Setelah penggarakan ogoh ogoh dilakukan ritual pembakaran dengan harapan sifat Bhuta kala tidak ada dan dapat menetralisir aura magis.
Lalu bagaimana dengan ogoh-ogoh yang tidak dibakar?, ungkap Bayu sekalu salah satu peserta diskusi
Bahwasanya dengan adanya ogoh-ogoh yang tidak dibakar, justru bisa dipertanyakan karena keperuntukan pembuatan ogoh-ogoh adalah sebagai srana rangkaian nyepi jika sudah mendapat percikan tirta pralina maka harusnya dibakar, jikapun tidak terkena tirta bagusnya juga dibakar karena ogoh-ogoh kita buat dalam bentuk bhuta kala maka bukan tidak mungkin jika itu didiamkan aura negatif juga akan melekat dalam ogoh-ogoh. Ungkap IK Satria selaku penyuluh Agama Hindu Kabupaten Buleleng.
Namun menarik juga bahwasanya ilmu konspirasi juga muncul dalam diskusi ini yaitu mengatkn antara arak-arak ogoh-ogoh sebelum hari raya nyepi menimbulkan musibah atau cuaca buruk yang terjadi di Bali belakangan ini, “kalo kita lihat cocoklogi ya memang cocok tetapi secara keilmuan memang itu bisa dipatahkan dengan mudah, mengingat saat ini adalah memasuki cuaca ekstrim”. ungkap bli Bagus
Menariknya, diskusi ini juga membahas tentang asal-usul Ogoh-Ogoh dalam agama Hindu. Secara bedah sumber Hindu, belum ada lontar atau kitab suci yang membahas terkait dengan adanya Ogoh-Ogoh. Namun, di Bali, Ogoh-Ogoh kental dengan ajaran Upakara, yang merupakan bagian dari ritual keagamaan Hindu. Dari hasil diskusi ini dapat kita simpulkan bawasanya ogoh-ogoh bukan merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang namun ogoh-ogoh saat ini merupakan bagian dari tradisi karena rutin dilaksanakan dengan penangglan yang jelas dan dilakukan terus menerus, ogoh-ogoh merupakan bagian dari pelaksanaan kegamanaan Hindu yang divisualisasi kedalam sebuh seni, sehingga anak muda dan generasi Hindu dapat melaksanakan kegiatan keagamaan mellui seni.
Dengan menggelar diskusi ini, PC KMHDI Buleleng berharap dapat memperluas pemahaman masyarakat tentang Ogoh-Ogoh dan maknanya dalam agama Hindu.
