SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

22 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk menjadi suatu momentum untuk mengatasi krisis air global secara bersama-sama. Hal ini juga berkesesuaian dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6: air dan sanitasi untuk semua pada tahun 2030. Dengan mengusung tema tahun 2024 yaitu “Memanfaatkan Air untuk Perdamaian”, sepertinya kini air tidak hanya dipandang sebagai sumber daya yang berharga, namun juga penting untuk perdamaian. Jikalau mendengar kata “damai”, kita bisa menengok kebelakang bahwa Bali sepanjang 2007 sampai dengan 2017 (10 tahun) sempat mem-branding pariwisatanya sebagai Bali Shanti—Bali Damai. Namun, sehubungannya dengan air, mari kita menelisik lebih jauh bagaimana pulau ini memandang air, bagaimana ia memenuhi kebutuhannya dan bisakah menyimpulkan Bali telah damai dari permasalahan krisis air atau belum.

Air dan Bali tak ubahnya dua sisi mata uang. Keduanya terjalin erat dalam aspek spiritual, budaya, ekologi, dan ekonomi. Air, yang disebut “tirta” di Bali, dihormati dan dipuja sebagai sumber kehidupan. Hal ini sejalan dengan konsep Panca Maha Butha (lima unsur pembentuk alam semesta), yang menepatkan apah (air, zat cair) menjadi salah satu elemen pentingnya. Dalam pengejewantahannya, kearifan lokal seperti sistem Subak mencerminkan pengelolaan air yang bijaksana. Dengan konsepsi Tri Hita Karana, pengelolaan air telah sejak lama dilaksanakan oleh masyarakat bali dengan menekankan pada aspek keberlanjutan.

Pemikiran umum filosofis seperti ini tentu juga tidak luput disampaikan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster. Dikutip dari penyampaiannya ke media, ia berpandangan bahwa air memiliki fungsi tidak hanya Sakala bagi masyarakat Bali, namun juga secara Niskala/Religi yang berfungsi sebagai Tirta, untuk kepentingan Upakara Adat, dan untuk menyucikan/pembersihan diri. Dalam Forum Air Dunia 2023, hal senada disampaikan oleh Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya. Dalam paparannya, ia berpendapat bahwa kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari air yang menjadi salah satu kebutuhan utama. Menurutnya masyarakat Bali memiliki warisan budaya yang memuliakan air sebagai sumber kehidupan, dengan menjaga keseimbangan air baik Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos).

Namun, ditengah keagung filosofis yang dimilikinya, sudah mampukah Bali saat ini ber-“damai” menghadapi krisis air yang kian mengancam ?

.

Permasalahan Air yang Telah Berlangsung Lama

Menurut studi neraca air yang dilakukan Kementerian PU pada 1995 defisit air mulai terjadi selama 7 bulan selama musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air sudah sejak lama tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk di daerah ini. Menginjak tahun 2003, kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali yaitu sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66%. Pada tahun 2007, data Bappenas menunjukkan bahwa sekitar 77% kabupaten/kota di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara telah mengalami defisit air selama 1-8 bulan selama musim kemarau. Diprediksi, pada 2025 jumlah kabupaten defisit air ini akan meningkat hingga mencapai sekitar 78,4% yang akan dapat berlangsung 1-12 bulan, atau defisit sepanjang tahun.

Menengok krisis air di Bali yang kian parah, memang dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan populasi, perubahan iklim dan tentu derasnya pembangunan sektor pariwisata. Oleh karena itu, hal yang sepertinya masing kurang diperhatikan adalah peningkatan pendidikan masyarakat—peningkatan pemahaman (awareness) masyarakat Bali terhadap pengelolaan air secara luas dan pengusaha (pariwisata) Bali secara khusus. Solusi atas permasalahan ini membutuhkan tidak hanya banyaknya pemikiran, namun juga aksi nyata yang saling bahu-membahu (gotong royong) dalam upaya preventif dan represif yang terukur dan terencana. Dalam upaya ini yang terpenting adalah dibutuhkannya landasan pengetahuan ilmiah (science) baik dari sisi teknologi perekayasaannya atau framework tata kelolanya.

.

Modal Masyarakat Bali dan Tantangan Krisis Air

Masyarakat Bali memiliki tradisi panjang dalam menghormati dan mengelola air secara bijaksana. Sistem Subak, yang telah ada sejak abad ke-10, merupakan bukti nyata kearifan lokal ini. Subak mengatur distribusi air untuk pertanian dengan adil dan berkelanjutan, berdasarkan prinsip Tri Hita Karana yang menekankan kesatuan antara manusia, alam, dan Tuhan. Nilai-nilai spiritual juga memainkan peran penting dalam pengelolaan air di Bali. Air dianggap suci dan dihormati melalui ritual dan tradisi. Upacara keagamaan seperti melasti dan pecaruan sering melibatkan air sebagai simbol penyucian dan pemurnian.

Meskipun memiliki kearifan lokal yang kuat, permasalahan krisis air di Bali belum juga membaik, bahkan kini mungkin semakin parah. Penggunaan air tanah yang berlebihan akibat dari rendahnya awareness terhadap air menjadi faktor yang memperparah krisis air. Pertumbuhan populasi dan pesatnya perkembangan pariwisata meningkatkan permintaan air secara signifikan. Untuk mendukung sektor pariwisata, eksplorasi air tanah yang tidak terkendali menjadi jamak, aktivitas ini menjadi sebab musabab penurunan muka air tanah. Selain itu, alih fungsi hutan atau jalur hijau memperparah situasi dengan mengurangi ketersediaan air dan meningkatkan risiko kekeringan. Dari faktor eksternal perubahan iklim seperti El Nino, intrusi air laut juga permasalahan yang perlu dijadikan perhatian. Kombinasi dari hal ini adalah tantangan Bali kedepan untuk bertarung melawan kerusakan lingkungan dan krisis air bersih.

.

Mencari Solusi

Mengatasi krisis air di Bali membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kearifan lokal seperti sistem Subak dan nilai-nilai spiritual dapat menjadi landasan penting dalam merumuskan solusi. Di sisi lain, mempersiapkan solusi bagi masyarakat modern memerlukan suatu solusi yang juga modern. Permasalahn seperti krisis air ini sangat membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi (science) yang dapat membantu meningkatkan efisiensi penggunaan air dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Beberapa pemanfaatan teknologi yang perlu di optomalkan seperti pengembangan sistem panen air hujan, sistem irigasi modern, sistem sumur imbuhan/resapan, daur ulang air dan solusi alternatif lainnya.

Solusi jangka panjang berlandaskan science memang menjadi hal yang terpenting sebagai landasan semua usaha ini. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi juga menjadi kunci dalam mewujudkan pengelolaan air yang efektif dan berkelanjutan. Namun tidak lupa, menghubungkan antara kearifan lokal dan solusi yang ditawarkan, membangun dialog di masyarakat juga perlu digencarkan agar permasalahan ini menjadi benar-benar menjadi kepentingan bersama. Dengan menjalankan upaya berdasarkan pendekatan yang telah dijabarkan diatas, harapannya Bali di masa depan dapat berdamai dengan masalah krisis air. Semoga.

Ditulis oleh: I Gusti Made Teddy Pradana (Pengurus PP KMHDI) 

Share:

administrator