![]()
Denpasar, kmhdi.org – Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki dasar berpijak bagi seluruh warganya sama seperti negara-negara lain di seluruh dunia. Dengan segala ciri khas yang menunjukkan identitas suatu bangsa yang besar, Indonesia memiliki beberapa pedoman yang menjiwai setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat pemeluk Agama Hindu sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus mengacu pada dasar serta konstitusi dalam setiap aktivitas yang dilaksanakan baik aspek karma marga maupun Janna marga. Umat Hindu harus memiliki jiwa nasionalis dalam rangka mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut secara tersirat maupun tersurat (Hartaka & Suadnyana, 2018).
Bila setiap orang mampu melaksanakan Swadharma atau tugas dan kewajiban masing-masing, maka akan terjadi keharmonisan dalam masyarakat, sebab setiap orang akan berbuat sesuai dengan profesi, bakat dan pekerjaan yang merupakan kewajiban hidupnya. Berbagai profesi dapat kita jumpai dalam masyarakat dan kitab suci Veda membedakan atas golongan rohaniwan dan cendekiawan, politisi, bisnisman, dan mereka yang hanya menggunakan tenaganya yang dikenal dengan istilah varna, yang artinya pilihan profesi sesuai dengan bakat, kemampuan dan tugas atau tanggung jawab yang sesuai pilihan hati. Dikaji lebih jauh, maka konsep dasar berbangsa dan bernegara yang diekspresikan oleh umat manusia sesungguhnya bersumber pada ajaran agama yang memandang manusia sebagai ciptaan-Nya, berasal dari yang suci dan dalam ajaran Agama Hindu, menjelma ke dunia ini adalah untuk mengentaskan karma-karma buruk dengan sebanyak-banyaknya berbuat baik, sebab secara materiil tujuan hidup manusia, ialah sejahtera di dunia ini. Namun secara spiritual adalah mencapai kebebasan dan bersatu kembali kepada-Nya.
Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional bukan merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan sosial politik dan kebangsaan sekarang ini memang cenderung menegaskan karakter bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi sosial lainnya menunjukkan indikasi adanya masalah akut dalam bangunan karakter bangsa. Fenomena patologi sosial tersebut bertentangan dengan visi dan misi pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang ber–kepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita- citakan dalam tujuan pendidikan nasional (Kirana, 2017).
Umat Hindu yang merupakan warga negara Indonesia harus mampu menganalisis suatu permasalahan berbangsa dan bernegara dengan melihat fenomena kekinian. Seseorang meyakini ajaran Hindu harus berpegang teguh pada nilai ajaran Hindu dengan jalan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Dengan menjadi warga negara dengan tunduk pada hukum negara itu sendiri. Hal ini merupakan yadnya yang bertujuan untuk mencapai tujuan. Dalam agama Hindu dikenal dengan Moksartham Jagadhita ya ca Iti Dharma.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang berupa tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya Lickona dalam (Kirana, 2017). Sedangkan menurut Russel Williams dalam (Kirana, 2017) mengilustrasikan karakter ibarat “otot” dimanah otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan kokoh kalau sering digunakan. Karakter ibarat seorang binaragawan (body builder) yang terus menerus berlatih untuk membentuk otot yang dikehendakinya yang kemudian praktik demikian menjadi habituasi.
Pendidikan karakter merupakan jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Adapun tujuan pendidikan karakter sebagaimana yang dituangkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah “ngerti – ngrasa – nglakoni” (menyadari, menginsafi, dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa pendidikan karakter adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitik beratkan pada perilaku dan tindakan siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai- nilai karakter ke dalam tingkah laku sehari-hari (Rakhmat, 2011).
Pendidikan karakter merupakan suatu aspek yang tak terpisahkan dalam pembentukan individu yang berintegritas dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Di Indonesia, pendidikan karakter menjadi landasan penting dalam mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi agen perubahan yang membawa bangsa menuju kemajuan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, pendidikan karakter bagi mahasiswa Hindu memiliki peran yang khusus, yakni mengintegrasikan nilai-nilai Dharma Negara (kewajiban sebagai warga negara) dan Dharma Agama (kewajiban agama) untuk menciptakan harmoni dalam diri individu serta masyarakat.
Dharma Negara
Dharma Negara adalah merupakan tugas dan kewajiban warga masyarakat terhadap tujuan negaranya yaitu dalam pembangunan yang telah dicanangkan atau bisa juga Dharma Negara adalah hukum, tugas, hak dan kewajiban setiap orang wajib tunduk dan patuh kepada Negara, termasuk dalam pengertian yang seluas-luasnya (Kirana, 2017).
Dharma Negara mengacu pada tanggung jawab warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan pemeliharaan keutuhan negara, serta mematuhi hukum yang berlaku. Mahasiswa Hindu, sebagai bagian dari warga negara, diharapkan mampu menjalankan peran dan tanggung jawab mereka dengan baik dalam masyarakat. Mereka diajak untuk aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik yang bertujuan untuk kemajuan bersama. Pendidikan karakter mahasiswa Hindu juga menekankan pentingnya membangun sikap kebangsaan, seperti cinta tanah air, menghormati perbedaan, dan gotong royong.
Bagi umat setiap umat beragama di Indonesia pelaksanaan Dharma Negara harus sejalan dengan amanat UUD 1945 antara lain:
Dharma Agama
Dharma Agama adalah merupakan tugas dan kewajiban yang patut dilaksanakan oleh setiap umat untuk mencapai tujuan agama atau bisa juga Dharma Agama adalah hukum, tugas, hak dan kewajiban setiap orang untuk tunduk dan patuh serta melaksanakan ajaran agama dan aspek-aspek yang dikandung dalam ajaran agama (Kirana, 2017).
Sebagai warga Negara yang agamis dan hidup dalam negara yang berdasarkan Pancasila, dalam mengamalkan ajaran agama, tidak boleh berpandangan sempit. Umat beragama harus berpandangan luas sehingga tidak menimbulkan fanatisme agama yang sempit. Umat beragama di Indonesia harus benar-benar melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, sehingga kehadirannya dalam masyarakat Indonesia akan sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia. Melalui pendekatan Dharma Agama sejauh mungkin diusahakan agar agama dapat mendorong berhasilnya pembangunan nasional dan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional yaitu: masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam pasal 29 UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu Negara menjamin kebebasan (kemerdekaan) tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Dengan kita menghayati ajaran agama masing-masing sehingga akan menumbuhkan SDM yang berkualitas. Hal ini akan sangat menentukan berhasilnya pembangunan nasional, dengan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dharma Agama merujuk pada kewajiban agama yang harus dijalankan oleh umat Hindu, seperti menjalankan ajaran-ajaran spiritual, melakukan upacara keagamaan, dan menjaga nilai-nilai moral. Pendidikan karakter bagi mahasiswa Hindu mengarahkan mereka untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan baik, serta menginternalisasikan nilai-nilai seperti Ahimsa (tidak berbuat jahat), Satya (kejujuran), dan Seva (pelayanan kepada sesama).
Implikasi Pendidikan Karakter sebagai Dharma Agama dan Dharma Negara
Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, menjelaskan ada Sembilan pilar karakter dasar dalam pendidikan berbasis karakter yang harus di ditanamkan dan dikembangkan dalam diri siswa, yaitu: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor) (Kirana, 2017).
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Menurut Foerster dalam (Kirana, 2017) (pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual), manusia memungkinkan melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Penerapan Karakter dalam Dharma Agama
Adanya kemajuan karakter yang ditandai dengan adanya suatu nilai berubah menjadi kebajikan. Kebajikan dan kemurahan adalah kecenderungan batiniah seseorang yang merespons berbagai situasi dengan cara diungkapkan dengan baik secara moral. Karakter selalu mengacu pada kebaikan yang terdiri dari tiga bagian yaitu mengetahui yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan yang baik. Ketiga kebiasaan ini didasarkan pada kebiasaan pikiran, hati dan kehendak. Dalam ajaran agama Hindu ada dikenal dengan konsep ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu tiga hal yang harus disucikan yang terdiri dari pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, apabila pikiran sudah positif, maka yang diucapkan dan yang lakukan akan positif (Kirana, 2017).
Dalam merealisasikan pendidikan karakter dalam diri sebagai kewajiban kita melalui agama ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan yaitu;
Jadi, ajaran agama sebaiknya dihayati untuk membangkitkan karakter yang mulia dalam diri sehingga akan membawa pengaruh yang positif pada diri, lingkungan masyarakat serta bangsa dan negara.
Penerapan Karakter dalam Dharma Negara
Dalam membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Kirana, 2017).
Perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri untuk kepentingan yang lebih besar termasuk negara. Dengan setiap individu menyadari hal tersebut, maka sikap mental dari masyarakat akan semakin tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga kita bisa mencermati bahwa dalam hidup dalam yang pluralis “perbedaan adalah suatu kenyataan, dan perbedaan bukan berarti pertentangan”.
pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukkan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Pendekatan Society 5.0
Keharmonisan sosial terdiri juga dari dua suku kata, yaitu “ keharmonisan “ dan “ “Sosial“. Keharmonisan berasal dari kata harmoni (kb) artinya keseimbangan, keselarasan, kecocokan. Harmonis (ks) artinya serasi, selaras”14 Sedangkan kata Sosial (ks ) artinya “berkenaan dengan khalayak, berkenaan dengan masyarakat, berkenaan dengan umum, suka menolong dan memperhatikan orang lain.”15 Dari pengertian tersebut diatas dapat ditarik pengertian bebas tentang keharmonisan sosial adalah terjadinya keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atau terwujudnya situasi dan kondisi Kamtibmas yang kondusif (Hengki, Citra, & Lestari, 2022).
Implementasi keharmonisan sosial dapat dicapai bila adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara Dharma Agama dengan Dharma Negara. “Keseimbangan berasal dari kata imbang (ks) artinya sebanding, setimpal, sama ( berat, ukuran derajat dsb ).”Keharmonisan sosial dapat dilaksanakan dengan baik, bila adanya keseimbangan pelaksanaan dari Ideologi Negara Pancasila yaitu adanya keharmonisan / keseimbangan paradigma pelaksanaan Nilai Sila I Ketuhanan yang Maha Esa, Sila II Kemanusiaan yang adil dan beradab, Sila III Persatuan Indonesia, Sila IV Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan dan Sila V Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi dalam implementasi Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak berkemanusiaan yang adil dan beradab, tidak berpersatuan Indonesia, tidak berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta tidak berkeadilan sosial. Demikian juga berkemanusian yang adil dan beradab tetapi tidak Berketuhanan Yang Maha Esa dan tidak persatuan Indonesia dan seterusnya, Persatuan Indonesia tetapi tidak Berketuhanan yang Maha Esa, tidak Berkemanusiaan yang adil dan beradab dan seterusnya maka terjadilah kejahatan teroris, konflik adat/sosial, kasus Sara dan pelanggaran hukum lainnya. Demikian juga dalam tubuh manusia secara ontologis terdiri dari jasmani dan rohani atau jiwa dan raga, bekerjanya jasmani harus dibimbing oleh hati nurani / rohani akan melahirkan moral dan moral akan melahirkan etika berperilaku manusia dalam hal berpikir, berkata dan berbuat yang baik.
Pendekatan Society 5.0 merupakan konsep yang menekankan integrasi antara teknologi dan humanisme untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan dan inklusif. Dalam konteks pendidikan karakter mahasiswa Hindu, pendekatan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menguatkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu. Misalnya, penggunaan teknologi dapat digunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama Hindu secara luas, membangun jaringan solidaritas antar umat beragama, serta memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan melalui platform digital.
Implementasi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan “menghayati” ajaran agama yang dalam prakteknya dilakukan dengan secara berjenjang dan seimbang, terutama dalam interpretasi terhadap teks-teks literatur keagamaan tidak saja berhenti pada pemahaman terhadap apa yang tersirat akan tetapi lebih fokus dalam pemahaman terhadap apa yang tersirat dibalik semua itu. Dengan demikian, antara aspek rasa dan aspek rasio dilakukan secara seimbang. Akhirnya, dengan mengimplementasikan ajaran agama apapun pada tataran menghayati dengan pendekatan yang humanis, maka tujuan akhir dalam agama masing-masing akan dapat diwujudnyatakan, sekaligus sebagai wujud dharma agama dan dharma negara.
Keseimbangan Pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara Menuju Keharmonisan Sosial, dapat dilakukan bila ada kesadaran dan keinsyafan untuk kembali memahami diri sendiri (Mulat sarira) introspeksi diri sendiri dan mau merubah mentalitas (mind set/culture set) yang kaku yang bersemayam dalam diri pribadi setiap orang serta mau memaknai dan memanfaatkan perkembangan Iptek yang positif sebagai dampak globalisasi dan modernisasi.
Dengan menggabungkan pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai Dharma Negara dan Dharma Agama, serta menerapkan pendekatan Society 5.0, mahasiswa Hindu diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Mereka akan menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, berintegritas, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, sehingga mampu menjaga harmoni antarumat beragama dan memajukan bangsa menuju Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan.
Oleh : Luh De Juni Astuti (Anggota Litbang PC KMHDI Denpasar)
DAFTAR PUSTAKA
Hartaka, I. M., & Suadnyana, I. B. (2018). Dharma Agama Dan Dharma Negara Di Era Kekinian. – Jurnal Hukum Hindu Stahn Mpu Kuturan Singaraja 2(1), 81-94.
Hengki, I. G., Citra, M. E., & Lestari, A. A. (2022). Keseimbangan Pelaksanaan Dharma Agama Dan Dharma Negara Menuju Keharmonisan Sosial. Jurnal Prodi Magister Hukum Fh Unmas Denpasar 2(2), 113-126.
Kirana, I. N. (2017). Implementasi Pendidikan Karakter Sebagai Dharma Agama Dan Dharma Negara. Jia 18 (1), 64-74.
Rakhmat, C. (2011). Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dalam Menghadapi Tantangan Modernitas. Denpasar: Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
