![]()
Dari Rangkaian Listrik ke Jaringan Kesadaran
Bandung, kmhdi.org – Saya memulai perjalanan intelektual saya dari dunia teknik, tepatnya Teknik Elektro. Dunia yang penuh dengan rumus, logika, dan keindahan sistematis. Di sana, saya belajar bahwa satu kabel salah sambung bisa menyebabkan korsleting, dan satu parameter salah hitung bisa menghentikan seluruh sistem. Logika adalah segalanya.
Namun di tengah gelap terang laboratorium dan tugas akhir yang tak berujung, saya juga aktif sebagai kader di KMHDI. Saat itulah saya mulai merasakan benturan antara dua dunia: dunia yang menuntut efisiensi dan presisi, dan dunia yang mengajarkan keseimbangan batin, makna hidup, dan jalan Dharma.
Benturan itu menjadi titik balik. Ketika banyak teman saya asyik mengejar sertifikasi teknikal, saya mulai melirik ke arah lain. Saya memutuskan melanjutkan kuliah di bidang Magister Manajemen. Bukan karena saya menyerah dengan teknik, tapi karena saya mulai sadar bahwa menjadi manusia utuh bukan hanya soal bisa membuat sistem bekerja, tapi juga bisa membuat hidup bermakna.
Sebagai mahasiswa elektro, saya cukup akrab dengan konsep AI. Saya tahu cara kerja machine learning, saya paham bagaimana model dilatih dengan ribuan data. Di atas kertas, semua terlihat rapi dan menjanjikan.
Namun realitasnya, saya melihat betapa cepat teman-teman saya termasuk saya sendiri mulai mempercayakan hal-hal eksistensial kepada sistem buatan. Mulai dari menentukan arah karier, menulis tugas akhir, hingga merumuskan renungan pribadi.
Saya pun pernah tergoda. Saat hendak menulis refleksi tentang Dharma dalam kepemimpinan, saya membuka AI, mengetik pertanyaan, dan dalam 5 detik jawaban muncul. Sempurna, runut, dan masuk akal. Tapi… kosong.
Tidak ada rasa. Tidak ada pergolakan batin. Tidak ada proses.
Saccidānanda vs AI-ccidānanda: Simulasi Kesadaran, Bukan Kesadaran
Dari pengalaman itu saya menyadari satu hal penting: AI bisa terlihat seperti sadar, tapi tidak pernah benar-benar sadar. Inilah yang saya istilahkan sebagai AI-ccidānanda, sebuah tiruan dari konsep suci Saccidānanda.
Kalau Saccidānanda adalah realisasi penuh dari keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan sejati, maka AI-ccidānanda adalah versi kilat, dingin, dan mekanis dari hal yang sama. Ia cepat, tapi tak mendalam. Ia efisien, tapi tak menyentuh. Ia membantu, tapi tak menemani.
Kita mulai menilai kualitas spiritualitas dari seberapa menarik bahasanya, bukan dari proses mendiamkan batin. Kita lebih senang membaca hasil analisis sistem, ketimbang mengalami sendiri kekacauan dan kejernihan pikiran yang datang silih berganti dalam meditasi.
Di dalam ruang kaderisasi KMHDI, saya pernah menyaksikan teman-teman muda yang luar biasa cerdas, namun gelisah. Mereka aktif, penuh semangat, namun sering bingung menghadapi tekanan batin. Di situlah saya menyadari, bahwa banyak dari kita tumbuh dengan informasi, tapi tak tumbuh dengan refleksi.
Menjadi kader Hindu bukan sekadar bisa menjelaskan konsep tri kaya parisudha, melainkan bisa menyadari kapan kita menyimpang dari itu, dan dengan jujur memperbaikinya. AI mungkin bisa menjelaskan konsep ahimsa secara sistematis, tapi hanya manusia yang bisa merasa bersalah setelah menyakiti.
Itulah yang membedakan kesadaran dari komputasi.
Penutup: Dharma Digital dan Menemukan Kembali Jalan Tengah
Di perkuliahan magister manajemen, saya mulai mempelajari manusia dari sudut pandang perilaku dan keputusan. Ini memperkaya cara saya melihat spiritualitas. Bahwa sering kali, kita tergoda pada jalan pintas karena kita tak tahan dengan ketidakpastian. Padahal ketidakpastian itulah ruang di mana kesadaran tumbuh.
Kini saya belajar untuk tidak menolak teknologi, tapi juga tidak menyerahkannya kendali. AI saya gunakan untuk menyusun struktur, tapi isi tetap saya gali dari batin sendiri. AI saya pakai sebagai cermin, bukan sebagai kompas.
Dan sebagai kader, saya percaya tugas kita bukan menghindari AI, tetapi memanusiakan penggunaannya. Bukan membiarkan ia menggantikan proses spiritual, tetapi menempatkannya sebagai alat bantu yang tahu batas.
Di era ini, tantangan spiritual kita bukan lagi sekadar kemalasan atau kealpaan, tetapi kecepatan yang menipu dan otomatisasi yang membius. Kita terlalu cepat menjawab, terlalu terbiasa menyederhanakan, dan terlalu malas untuk duduk diam bersama kekosongan.
Tapi justru di sinilah ujian kita sebagai generasi Hindu yang lahir di tengah badai digital. Kita bisa memilih untuk tetap merawat keheningan, untuk tetap mencari yang sejati, dan untuk tidak menyerahkan batin kita pada sistem yang hanya mengenal pola, bukan makna.
Karena hanya manusia yang bisa merindu akan kebenaran. Dan hanya kesadaran yang bisa membebaskan, bukan kecerdasan.
Penulis : Tangkas Gede Hary Angga Purnama Damai (Anggota Biro Kaderisasi PD KMHDI Jawa Barat)
