![]()
Buleleng, kmhdi.org – Perdebatan mengenai revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) semakin ramai dibicarakan. Pro dan kontra yang muncul bukan hal yang mengejutkan, mengingat setiap pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Namun, sebagai mahasiswa, kepentingan utama adalah membela negara dengan landasan yang jelas, yang hanya bisa dicapai dengan pemahaman yang mendalam terhadap isi dan implikasi UU tersebut.
Dalam upaya memahami lebih jauh, mahasiswa Bali Utara dari berbagai organisasi kepemudaan, termasuk PC KMHDI Buleleng, IMM Singaraja, GMKI Buleleng, serta BEM dari berbagai kampus di Singaraja, menggelar diskusi untuk membedah revisi UU TNI (23/3).
Pemantik dalam diskusi ini, Dr. I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H., memulai dengan meninjau sejarah keterlibatan militer dalam politik.
“Konsep Dwifungsi ABRI diperkenalkan oleh Jenderal Nasution untuk menjaga stabilitas nasional dengan melibatkan militer dalam pemerintahan. Namun, pada masa Orde Baru, konsep ini disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan rakyat sendiri. Akibatnya, fungsi utama militer bergeser dari menjaga kedaulatan negara menjadi alat politik. Hal ini menunjukkan bahwa peran ganda militer lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaat, terutama ketika ancaman eksternal tidak lagi menjadi fokus utama,” ungkapnya.
Bayu Sukrisnawan dari KMHDI Buleleng menyoroti potensi bahaya dari revisi UU TNI.
“Saat ini, revisi UU TNI dipandang membuka peluang bagi militer untuk kembali terlibat dalam pemerintahan sipil. Ini berisiko besar karena bisa mengabaikan tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan negara. Militer dilatih untuk berperang, bukan untuk mengurus birokrasi atau pemerintahan. Jika mereka sibuk dengan urusan pemerintahan, lalu siapa yang akan bertanggung jawab menjaga pertahanan negara saat ancaman muncul?” ujarnya.
Salman Alfarzy dari IMM Singaraja juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait keterlibatan militer dalam politik.
“Fokus utama militer adalah menjaga keamanan nasional. Jika mereka terlalu banyak terlibat dalam pemerintahan, ada risiko mereka lebih memprioritaskan mempertahankan jabatan ketimbang menjalankan tugas utamanya. Hal ini bisa merusak prinsip supremasi sipil, yang merupakan fondasi penting dalam negara demokrasi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa perpanjangan masa jabatan di lingkungan militer dapat menimbulkan tumpang-tindih peran.
“Berbeda dengan Polri atau ASN yang memang bertugas melayani masyarakat, tugas militer adalah menjaga pertahanan negara. Jika mereka semakin banyak terlibat dalam pemerintahan, tugas utama ini bisa terabaikan,” imbuhnya.
Beberapa pihak berpendapat bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan dapat membantu pemberantasan korupsi. Namun, pengalaman di masa Orde Baru menunjukkan sebaliknya. Di bawah kekuasaan militer, korupsi tetap merajalela.
Kasus besar yang melibatkan keluarga Cendana menjadi bukti bahwa korupsi bukan sekadar soal siapa yang berkuasa, tetapi juga soal budaya dan sistem yang berjalan tanpa pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, solusi terbaik bukanlah memberi ruang lebih bagi militer dalam pemerintahan, melainkan memperbaiki sistem dan budaya politik yang ada.
Ketua GMKI Singaraja, Des Alvin, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan dalam demokrasi.
“Sebagai mahasiswa, kami ingin mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan kekuasaan dan supremasi sipil. UU TNI harus dikaji dengan cermat, transparan, dan demokratis agar tidak merusak prinsip-prinsip dasar yang menjaga stabilitas bangsa. Mari bersama menjaga demokrasi, kedaulatan, dan masa depan bangsa dengan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat dan sesuai dengan konstitusi,” ungkapnya.
Yudi Luliana, Kabid Kajisu PC KMHDI Buleleng, menyampaikan pandangannya terkait langkah yang dapat diambil setelah UU ini disahkan.
“Hari ini undang-undang sudah disahkan, jadi jika kita turun ke jalan, itu akan menjadi sia-sia karena sudah diketok palu. Satu-satunya upaya yang bisa kita lakukan sekarang adalah melalui judicial review,” tegasnya.
Ketua PC KMHDI Buleleng, Tri Budi Santoso, menilai diskusi ini sebagai upaya mahasiswa dalam memahami isu yang sedang berkembang.
“Diskusi ini menjadi bagian dari pendalaman bagi teman-teman yang memiliki keresahan yang sama terhadap kondisi kenegaraan saat ini. Kita harus mencermati situasi dan menentukan sikap yang tepat,” pungkasnya.
