![]()
Bandung, kmhdi.org – Waktu itu saya sedang duduk ngobrol dengan ayah di beranda rumah, membahas Denpasar yang lagi kena banjir lagi, jalan-jalan seperti sungai, pasar yang tergenang, dan atap-atap yang terdorong air. Kami bicara tentang tata kota yang sepertinya kalah cepat dari betonisasi, tentang sampah yang menumpuk dan menyumbat selokan, tentang daerah resapan yang satu per satu berubah jadi pondasi villa baru. Tiba-tiba adik saya nyeletuk dari dapur, setengah mengejek, “Ngapain bahas seperti itu, Taluh Goreng, Ade Hasil.”
Ungkapan “Taluh Goreng, Pang Ade Hasil” itu bermakna goreng saja telur, hasilnya nyata memang manis di bibir, praktis, nihil risiko teori, langsung kenyang. Tapi kalau kita cuma memilih telur goreng dan menutup telinga dari politik, lama-lama telur itu sendiri jadi barang mewah. Ini bukan hiperbola namun jika dianalisis kembali keputusan politik dan kebijakan publik membentuk harga telur, ketersediaan minyak goreng, kondisi jalan menuju pasar, bahkan apakah daerah tempat ayam bertelur tetap hijau atau diubah jadi jalan masuk villa.
Banjir bukan cuma musibah alam yang datang tiba-tiba. Musim hujan memang memberi kontribusi, tetapi kapasitas drainase yang terbatas dan saluran yang tersumbat sampah memperburuk dampaknya sehingga banjir merusak pemukiman dan infrastruktur kota (Associated Press, 2025). Sampah yang menumpuk di sungai dan selokan sering kali merupakan hasil dari kombinasi kebijakan pengelolaan sampah yang lemah, kurangnya fasilitas, dan praktik pembangunan yang mengabaikan ruang terbuka hijau (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Denpasar, 2022; Bali Province Government, n.d.).
Kalau kita tarik benang merahnya ke dapur, minyak goreng yang naik harganya, telur yang sulit didapat di musim tertentu, atau bahkan harga beras semuanya berhubungan dengan kebijakan impor, subsidi, rantai distribusi, dan infrastruktur logistik. Itu semua berada dalam ranah politik. Menjadi “praktis” dengan mengandalkan kerja nyata saja tanpa memperhatikan konteks kebijakan sama seperti menyalakan kompor saat tabung gas sedang diatur oleh kebijakan impor yang hasilnya bisa saja mendadak tak berasap (S&P Global Commodity Insights, 2024; Global Trade Alert, 2022).
Lalu kita coba bayangkan sebuah iklan “Taluh Goreng cepat, enak, praktis.” Tapi iklan itu lupa mencantumkan konteks tentang tanah subak yang dulu menumbuhkan padi dan memberi ruang resapan kini dijual jadi kompleks villa karena dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi. Lahan yang berubah fungsi menjadi vila yang terlihat seperti kebangkitan ekonomi adalah transfer kepemilikan yang membuat harga tanah naik dan ruang publik menyusut. Saat hujan datang, air tidak punya tempat untuk meresap. Telur gorengnya tetap ada, tapi dapur tetangga kemarin dibayar dengan lahan yang pernah menahan banjir (Transnational Institute, 2016; Artawan & Sunarta, 2016).
Banyak orang Bali terlihat acuh terbuai oleh citra pulau damai, terbuai oleh pariwisata yang membawa uang di depan mata, atau merasa bahwa masalah politik adalah urusan orang lain. Padahal ada harga yang nyata dibayar oleh komunitas. Menjual tanah leluhur untuk villa mungkin memberi arus kas sekarang, tapi juga mengikis struktur sosial dan ekosistem yang menjaga keseimbangan air dan pangan. Pembangunan pariwisata yang tidak diatur dengan ketat dapat menyebabkan perubahan lahan yang masif, kenaikan harga tanah, serta tekanan pada sumber daya air lokal (The Guardian, 2025; Transnational Institute, 2016).
Tentang demo dan narasi “orang luar Bali” menyederhanakan konflik menjadi “mereka vs kita” hanya membuat kita lupa memperjuangkan tata kelola yang berpihak pada semua penghuni pulau, penduduk asli maupun pendatang. Migrasi pekerja, investor, dan turis memang mengubah komposisi sosial-ekonomi, dan ketegangan itu harus ditangani dengan kebijakan yang adil, bukan dengan mengkambinghitamkan kelompok tertentu.
Kenapa kita harus peduli pada politik, bahkan saat mau menggoreng telur?
Dari Telur Goreng Menuju Pilihan Kolektif itu Satirnya jelas, kita bisa terus memilih telur goreng sebagai mantra, kerja nyata tanpa perlu politik, sampai suatu hari kompor kita berhenti menyala karena harga bahan bakar, ayam-ayam kehilangan lahan, dan jalan-jalan berubah menjadi sungai. Atau kita bisa mulai paham politik sebagai bagian dari pekerjaan nyata: ikut merancang tata ruang yang berkelanjutan, menuntut pengelolaan sampah yang serius, menolak alih fungsi lahan produktif sembarangan, dan memastikan pariwisata memberi manfaat jangka panjang bagi komunitas.
Jadi, ketika adik saya mengangkat telur gorengnya sambil mengatakan “Ade hasil,” saya hanya tersenyum dan berkata, “Benar, tapi kalau kita ingin hasilnya selalu ada, kita juga perlu paham siapa yang menulis aturan tentang bahan dan api yang kita pakai.” Jangan biarkan telur goreng menjadi alasan untuk membisu pada keputusan yang menentukan apakah pulau kita tetap bisa menghasilkan atau hanya menjadi latar estetika untuk villa yang menjual ilusi damai.
STAY SAFE BALI #BALIBERBENAH
Penulis : Tangkas Gede Hary Angga Purnama Damai ( PD KMHDI Jawa Barat)
Referensi
Associated Press. (2025, September 11). Indonesian rescuers search for missing people as floods recede. AP News. https://apnews.com/article/c330c5cfba4fdbe2c0b5c12b2e88456d
Transnational Institute. (2016). Tourism and land grabbing in Bali (Research brief). https://www.tni.org/files/publication-downloads/tourism_and_land_grabbing_in_bali.pdf
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Denpasar. (2022). Data pengelolaan sampah di Kota Denpasar tahun 2021. PPID Kota Denpasar. https://ppid.denpasarkota.go.id/?data_id=1664858620&domian=ppid.denpasarkota.go.id&language=id&page=Data-Detail
Bali Province Government. (n.d.). Data pengelolaan sampah per kabupaten/kota di Provinsi Bali. Bali Satu Data. https://balisatudata.baliprov.go.id/laporan/data-pengelolaan-sampah-per-kabupatenkota-di-provinsi-bali
S&P Global Commodity Insights. (2024, June 21). Indonesia to raise price ceiling for domestic cooking oil subsidy by 10%. https://www.spglobal.com/commodity-insights/en/news-research/latest-news/agriculture/062124-indonesia-to-raise-price-ceiling-for-domestic-cooking-oil-subsidy-by-10
Global Trade Alert. (2022, January 11). Indonesia provided IDR 7.6 trillion for cooking oil price stabilization. https://www.globaltradealert.org/intervention/101018-indonesia-provided-idr-76-trillion-for-cooking-oil-price-stabilization
Artawan, I. M. J., & Sunarta, I. N. (2016). Strategi krama subak dalam menanggulangi alih fungsi lahan pertanian akibat pariwisata (Studi Kasus Subak Umadesa Desa Lodtunduh, Ubud). J Destinasi Pariwisata, 4, 134–138.
The Guardian. (2025, February 25). Rice paddies to mega resorts: declassified spy satellite images reveal Bali’s transformation. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/feb/25/bali-transformation-tourism-declassified-spy-satellite-reports-nusantara-atlas
