Denpasar, kmhdi.org – Sedang viral masalah permen bekas yang dijadikan sesajen. Di satu sisi, ini sebenernya menunjukkan kreativitas masyarakat dalam mengelola limbah dan membuka peluang ekonomi.
Namun sebagai umat Hindu, kekhawatiran bahwa makna sakral dari sarana upacara tentu tercoreng akibat berita ini. Ketika sebuah upakara yang seharusnya suci malah tidak sesuai dengan makna sakral keagamaan.
Seperti yang kita tau “permen banten” bukan sekadar barang, tapi simbol bakti dan kesucian. Ketika benda yang seharusnya digunakan dalam konteks religius malah dari barang bekas, tentu ada potensi nilai spiritualnya mengalami degradasi.
Masyarakat Hindu Bali menjunjung tinggi konsep taksu dan suci. Maka menjual sesuatu yang berkaitan erat dengan persembahan, apalagi dari bahan bekas yang tak melalui proses penyucian, bisa dianggap sebagai bentuk pengaburan nilai-nilai tersebut. Bahkan saat ini saja melihat berita itu sudah menyinggung perasaan umat yang menjadikan banten sebagai bagian penting dari hubungannya dengan Ida Sang Hyang Widhi.
Memang, melek kreativitas dan mencari sumber ekonomi kreatif dari daur ulang tetap harus didorong, apalagi bila bisa mengurangi limbah dan memberdayakan ekonomi lokal.
Tapi idealnya, kreativitas itu sejalan dengan kesadaran budaya dan spiritual. Produk budaya bisa dikembangkan, namun dengan batas-batas etika dan pemahaman kontekstual agar tidak menodai nilai luhur yang ada di baliknya.
Menurut saya, mungkin sudah saatnya ada pertemuan atau diskusi khusus antara pelaku kreatif dan tokoh adat/agama untuk menentukan batas mana yang layak dikomersialkan, dan mana yang sebaiknya tetap dijaga kesakralannya.
Penulis: Ni Ketut Nita Widiantari (Kader PC KMHDI Denpasar)