Palangkaraya, kmhdi.org – Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia resmi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis 20 Maret 2025. Meskipun protes keras dari rakyat mengemuka, DPR RI dan pemerintah tak mengindahkannya. Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama menyebut bahwa pengesahan revisi UU TNI sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil.
Hal ini dibuktikan dengan proses legislasi yang cacat mengingat dilakukan secara tertutup, elitis, dan tidak demokratis. Sebagaimana diketahui, pengesahan revisi ini dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dengan naskah akademik yang hanya terdiri dari 28 halaman dan kepustakaan hanya satu halaman. Lebih parahnya lagi, pembahasan dilakukan di hotel bintang lima, di bawah penjagaan ketat pasukan Kopassus. Seolah-olah ini merupakan operasi militer, bukan penyusunan regulasi sipil yang seharusnya transparan dan akuntabel. Selain itu, proses revisi UU TNI tidak dilandasi adanya kebutuhan yang mendesak. Ketentuan yang diubah hanya soal menambah kewenangan, penguatan institusi TNI menduduki jabatan sipil dan mengurusi berbagai hal di luar aspek pertahanan.
Hasil revisi Undang-Undang TNI menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah cenderung memberikan fleksibilitas pada militer. Bahkan ini dapat dikatakan sebagai perubahan paradigma yang berupaya mereduksi supremasi sipil. Perubahan paradigma yang dimaksud terjadi pada perubahan besar-besaran sejumlah pasal dalam UU TNI. Diantaranya sebagai berikut :
Perubahan yang paling menjadi sorotan adalah perubahan Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di kementerian/lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, terdapat pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Namun, dalam UU TNI baru, poin itu diubah sehingga TNI aktif dapat menjabat di 14 kementerian/lembaga. Kementerian/lembaga yang dimaksud adalah kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara. Kemudian, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
TNI Selanjutnya, poin revisi soal batas usia pensiun diatur dalam Pasal 53. Pada UU TNI lama, batas usia pensiun TNI bagi perwira paling lama 58 tahun, sedangkan batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama adalah 53 tahun. Setelah direvisi, batas usia pensiun diperpanjang sesuai dengan pangkat prajurit. Pasal 53 Ayat (3) UU TNI baru mencatat batas usia pensiun bintara dan tamtama paling tinggi 55 tahun; perwira sampai dengan pangkat kolonel adalah 58 tahun. Kemudian, perwira tinggi bintang 1 adalah 60 tahun; perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan perwira tinggi bintang 3 adalah 62 tahun.
TNI Sementara itu, ada penambahan poin dalam UU TNI baru di Pasal 7 Ayat (15) dan (16) terkait tugas pokok TNI. Pasal 7 Ayat (15) menambahkan tugas soal membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber. Ayat selanjutnya, terkait tugas membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Polemik terkait Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang bergulir saat ini dikhawatirkan banyak pihak dapat menghidupkan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI. Pasalnya, revisi UU TNI akan semakin memperluas jabatan kementerian dan lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI, hal ini dimaknai oleh banyak pihak sebagai tanda kembalinya dwifungsi TNI.
Dwifungsi ABRI sendiri memiliki arti bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan militer Indonesia serta fungsi sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara. Kebijakan dwifungsi ABRI ini berlaku pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun. Dikutip dari buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dan kawan-kawan, pada masa Orde Baru, ABRI berperan ganda sebagai penggerak dan penstabil kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penerapan dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia. Melalui kebijakan dwifungsi ABRI, ABRI berhasil mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif Orde Baru. Mulai tahun 1970-an, banyak perwira aktif ABRI yang ditunjuk sebagai DPR, MPR, ataupun DPD tingkat provinsi. Penerapan konsep dwifungsi ABRI tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan organisasi militer Indonesia. Dampak dari adanya dwifungsi ABRI ini adalah berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.
Tidak sedikit pihak menganggap pengesahan revisi UU TNI sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis. Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip demokrasi, tetapi langkah nyata menuju militerisasi birokrasi sipil yang bertentangan dengan konstitusi dan semangat Reformasi. Pengesahan revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat yang telah mengorbankan nyawa dan darah demi demokrasi yang sehat.
Selain itu, peristiwa ini juga menjadikan demokrasi dikikis melalui legislasi otoriter. Demokrasi tidak selalu dihancurkan oleh kudeta militer atau pembubaran parlemen, tetapi sering kali dikikis dari dalam melalui regulasi yang tampak sah secara hukum, tetapi melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, Pengesahan revisi UU TNI ini merupakan contoh nyata dari autogolpe atau self coup, proses di mana sebuah pemerintahan mengkudeta diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer.
DPR RI sebagai wakil rakyat yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru telah bertindak sebagai alat kepentingan politik yang menguntungkan oligarki dan elite militer. Pengesahan revisi UU TNI ini membuktikan bahwa DPR lebih memilih melayani kepentingan kekuasaan daripada membela demokrasi dan supremasi sipil. Dengan memberikan jalan bagi militer untuk memperluas pengaruhnya di ranah sipil, DPR telah mengkhianati mandat rakyat yang memilih mereka untuk menjaga konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.
Mengamati informasi yang berkembang terkait pembahasan revisi UU TNI, terdapat beberapa solusi yang dapat diberikan oleh KMHDI kepada DPR RI dan Pemerintah , diantaranya:
Penulis : Pengurus PD KMHDI Lampung