![]()
Jakarta, kmhdi.org – Demokrasi sebagaimana pemahaman umum adalah kondisi sosial dimana setiap individu memiliki akses dan ruang yang sama dalam mengekspresikan segala pikiran, ide, atau keresahan untuk didinamikakan lalu disolusikan. Demokrasi menganugerahi setiap individu sebuah hak untuk memilih ataupun dipilih, sebagai jalan menuju kondisi ideal, dengan mengupayakannya melalui diskursus dialektis.
Demokrasi yang substansial memungkinkan setiap warga negara meneriakkan keluh-kesahnya kepada kekuasaan baik secara langsung maupun mekanisme perwakilan, serta aspirasi tersebut didengar dan disikapi oleh kekuasaan. Sebagimana ungkapan Levitsky dan Ziblatt (2018) “Protes publik adalah hak asasi dan kegiatan penting dalam demokrasi”. Dalam kondisi seperti demikian segala persoalan rakyat akan diketahui betul oleh ia yang memperoleh mandat untuk mengelola negara, sehingga tidak akan ada ketidakadilan, ketimpangan sosio ekonomi, ataupun pengkhianatan terhadap kesepakatan demokrasi.
Dalam sebuah negara yang betul-betul menjalankan azas demokrasi sangat menghargai suara rakyat, dan berpedoman pada kedaulatan rakyat. Sehingga kepentingan rakyat adalah hal utama dan manunggal. Praktik-praktik maladministrasi, atau penyalahgunaan wewenang haram hukumnya, lantaran rakyat bisa mengoreksinya secara langsung, serta ada kesadaran alamiah dari para pejabat untuk mematuhi mandat demokrasi.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham constitutional democracy memungkinkan masyarakatnya memiliki ruang yang besar untuk berpartisipasi dalam pembuatan suatu kebijakan, yakni pemerintahan dijalankan secara transparatif dan partisipatif. Dalam artian segala proses perumusan kebijakan publik melibatkan segenap lapisan masyarakat, sehingga persoalan dan kebutuhan publik terakomodir secara koprehensif. Selain itu pengalokasian anggaran murni untuk kebutuhan publik, serta proses realisasinya diketahu oleh publik.
Pengelolaan negara dengan berlandaskan pada azas demokrasi substansial bukan pada demokrasi semu atau simbolis, akan mengarahkan pembangunan pada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hasil eksplorasi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA), penarikan pajak dari rakyat, atau pengenaan retrebusi mesti teralokasi untuk pembangun fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, akselerasi pelayanan birokrasi. Kondidi seperti ini akan menuju pada kondisi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Ekosistem demokrasi substansial akan menimbulkan “efek reaksi berantai” seperti penguatan supremasi hukum, peningkatan investasi atau penanaman modal asing, pertumbungan ekonomi mikro dan makro, perbaikan taraf hidup masyarakat, dan penurunan permasalahan sosial. Dalam hal mendorong penguatan supremasi hukum, rakyat disegala kalangan memiliki akses terhadap hukum, dilindungi hukum, dan memperoleh kepastian hukum. Kondisi hukum seperti demikian akan mendorong pertumbuhan ekonomi, lantaran tingkat penanaman modal baik asing maupun dalam negeri akan bertambah signifikan, sehingga lapangan pekerjaan yang tersedia mampu menyerap kebutuhan kerja dalam negeri. Dalam kondisis hukum yang baik, kelompok pekerja akan memperoleh perlindungan hukum secara maksimal, kekompatibelan hak dan kewajiban terjadi, dan terhidar dari praktik eksploitasi korporat. Kondisis ideal seperti ini akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, sekaligus menjadi pertana bahwa buah manis proses demokrasi dapat dikecap oleh rakyat.
Demokasi prosedural, demokrasi semu, atau demokrasi simbolis akan memberikan “efek reaksi berantai” juga, namun arahnya berkebalikan. Dalam demokrasi semu, rakyat sebagai sentra hanya menjadi objek eksploitasi; hukum hanya terdistribusi kepada elit (elit politik, dan ekonomi); pilar demokrasi terfeodalisasi; kebijakan publik tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melainkan pada kemudahan eksploitasi kapital atau praktik pengembalian modal politik; dan pembusukan sistem politik.
Dalam demokrasi palsu rakyat tidak lebih hanya sebatas objek eksploitasi, eksploitasi electoral ketika proses konstelasi yang dimana rakyat tidak diberikan keleluasaan untuk memilih kandidat alternatif lantaran sistem demokrasi direkayasa sedemikian rupa, sehingga hanya menyuguhkan kandidat yang tidak memiliki perbedaan signifikan, baik secara ideologis, gagasan, atau orientasi politik.
Akibat dari proses demokrasi yang tidak sehat, maka akan melahirkan pemimpin yang tidak berkompeten. Pemimpin yang seperti demikian akan dengan mudah diintervensi, sehingga dalam proses menjalankan tugas melenceng dari prinsip daulat rakyat. Turunan dari kondisi demikian yakni praktik disparitas perlakukan hukum, atau “hukum tumpul keatas (elit), tajam kebawah”. Pemimpin yang tidak berkopeten juga mengancam kelompok buruh, kebijakan ekonomi yang diambil akan dominan memberikan ruang eksploitasi kepada kapital, sehingga dalam kondisi hukum yang distorsif perlindungan terhadap kelompok buruh tidak akan terjadi, dan praktik-praktik eksploitasi seperti manipulasi ketentuan pengupahan, pengabaian ketentuan UU Ketenagakerjaan, peniadaan jaminan sosial atau rekayasa aturan libur dan cuti akan ditimpakan kepada kelompok pekerja.
Sebagai penyebab dari pembusukan politik, feodalisasi Parpol juga menjadi indikator demokrasi semu. Partai politik yang diantaranya bernomenklatur “demokrasi kerakyatan” masih ditemukan bertindak feodal. Hal tersebut tercermin dari minimnya pergantian puncak kepemimpinan (Ketum), sekalipun sirkulasi kepemimpinan tersebut dilakukan yang menggantinya justru anak kandung atau sanak-saudara Ketum sebelumnya. Kondisi seperti ini tentu sangat kontradiktif dengan demokrasi yang sarat akan meritokrasi bukan kekerabatan. Selain itu, entitas feodal lainnya seperti intevensi berlebih terhadap kader yang telah dipilih oleh rakyat (baik legislatif dan eksekutif) untuk mengakomodir kepentingan Parpol, bahkan ada Parpol yang menyebut kader terpilihnya dengan sebutan Petugas Partai.
Dalam kondisis deperti ini, tentu seorang pemimpin terpilih tidak akan dapat bekerja sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, dan berpedoman pada mandat konstitusi, lantaran masih adanya intervensi dari Parpol yang secara etika demokrasi tidak dimungkinakn. Disaat yang bersamaan unsur-unsur oportunisme menguat, sehingga hak dan kepentingan publik digerogoti oleh kepentingan-kepentingan elit ekonomi dan politik. Dalam hal ini proses demokrasi yang subjek utamanya adalah rakyat dan dibiayai oleh rakyat buah manisnya tidak untuk rakyat, melaikan hanya terdistribusi kepada elit (ekonomi, dan politik).
Kondisi-kondisi destruktif seperti demikian merugikan rakyat secara struktural dan kultural. Lantaran, bilamana penyimpangan terhadap proses demokrasi tersebut diterima oleh publik sebagai kondisi yang lazim, dan lambat laun akan mengkristal menjadi sebuah kebudayaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moynihal (1993), “Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menghadapi orang yang berprilaku dalam cara-cara yang menyimpang dari standar bersama, bilamana aturan dilanggar berkali-kali, masyarakat punya kecenderungan untuk melonggarkan kewajaran, menggeser standar dan memandang ketidaknormalan menjadi normal”.
Oleh: I Komang Adi Saputra, S.A.P.
