![]()
Karangasem, kmhdi.org – Di tengah berbagai tantangan hidup dan keterbatasan ekonomi, pendidikan kerap menjadi satu-satunya jalan yang diyakini mampu mengubah nasib dan membuka masa depan yang lebih cerah. Pemerintah Provinsi Bali melalui kepemimpinan Gubernur Wayan Koster meluncurkan program strategis bertajuk Satu Keluarga, Satu Sarjana (SKSS). Program ini menjadi gebrakan baru dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Bali, terutama dari keluarga kurang mampu, dengan memberikan akses pendidikan tinggi secara gratis dan menyeluruh.
Gubernur Bali, Wayan Koster, menyampaikan: “Ketika satu anak dalam keluarga berhasil menjadi sarjana, maka keluarga itu memiliki cahaya untuk keluar dari ketertinggalan.” Kutipan ini mencerminkan semangat utama dari program SKSS: membuka akses pendidikan tinggi bagi anak-anak dari keluarga miskin dan menjadikan mereka sebagai pendorong perubahan di lingkungan terdekatnya. Hal ini tentu membangkitkan semangat generasi muda untuk menempuh pendidikan tinggi sebagai jalan menuju pemikiran yang lebih maju dan peningkatan taraf hidup keluarga.
Per Agustus 2025, lebih dari 1.450 mahasiswa dari keluarga kurang mampu di Bali telah diterima di 28 perguruan tinggi negeri dan swasta. Mereka tidak hanya dibebaskan dari biaya kuliah, tetapi juga menerima tunjangan hidup sebesar Rp1,4 juta per bulan untuk wilayah Denpasar dan Badung, serta Rp1,2 juta untuk wilayah Karangasem dan Buleleng.
Sebagai generasi muda Bali, saya melihat program ini bukan sekadar soal angka dan bantuan, melainkan tentang keadilan sosial dan pemerataan harapan. Kehadiran satu sarjana dalam satu rumah bukanlah hal kecil; itu adalah awal dari perubahan pola pikir, perluasan wawasan, dan tumbuhnya semangat baru dalam keluarga. Pendidikan adalah gerbang menuju transformasi, dan ketika satu anak kuliah, seluruh keluarga bisa ikut terangkat secara sosial, ekonomi, dan spiritual.
Namun, peluncuran program saja tidak cukup. Diperlukan keberlanjutan yang jelas dan pengawasan yang ketat agar program benar-benar menyasar mereka yang paling membutuhkan. Proses seleksi harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik. Di sisi lain, para penerima juga harus sadar bahwa keberhasilan mereka membawa tanggung jawab besar: untuk belajar dengan sungguh-sungguh, menjadi teladan di keluarga, dan kelak memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Sebagai mahasiswa Hindu yang tumbuh dalam semangat ngayah dan menjunjung tinggi nilai keadilan, saya memaknai program ini sebagai manifestasi dharma negara yakni bentuk pengabdian pemerintah dalam menyemai harapan rakyatnya. Ini bukan sekadar program pendidikan, melainkan investasi sosial jangka panjang.
Sesuai dengan pandangan KMHDI, pengabdian masyarakat yang sesungguhnya akan terwujud apabila program ini berhasil melahirkan lebih banyak sarjana yang memiliki kepekaan sosial. Dengan semakin banyaknya anak muda terdidik, semangat ngayah dapat diwujudkan dalam bentuk nyata: pemberdayaan masyarakat, penyuluhan di desa, hingga keterlibatan aktif dalam membangun daerahnya masing-masing.
Semangat ini sejalan dengan visi KMHDI dalam mencetak generasi intelektual Hindu yang siap menjadi pemimpin masa depan Bali. Namun, program ini tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politik atau menjadi ajang korupsi terselubung. Generasi muda berhak tumbuh dalam semangat pemerataan, bukan hanya sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai pelaku perubahan.
Program Satu Keluarga Satu Sarjana adalah langkah maju menuju Bali yang lebih berdaya dan berpengetahuan. Harapan ke depan, program ini terus berlanjut dan menyentuh lebih banyak keluarga, karena setiap anak dari mana pun asalnya berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan mengubah masa depan bagi dirinya, keluarganya, dan bangsanya.
Penulis : Ni Nengah Dwiantari (Ketua Bidang Organisasi PC KMHDI Karangasem)
