![]()
Karangasem, kmhdi.org – Keraguan sering muncul di Tengah-tengah Masyarakat, apakah benar lapangan kerja memang sedikit, atau sebenarnya peluang kerja ada namun masyarakat belum memiliki skill dan mindset yang sesuai? Banyak yang mengeluh sulitnya mencari pekerjaan, padahal di sisi lain terdapat berbagai lowongan kerja, terutama di sektor remote atau WFH, dengan gaji yang cukup layak. Sayangnya, keterbatasan skill, kurangnya akses informasi, serta minimnya jaringan sosial (relasi) membuat banyak dari peluang tersebut tidak bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Secara nasional, data menunjukkan bahwa sekitar 16 persen pemuda usia 15–24 tahun di Indonesia tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Angka ini bahkan lebih dari dua kali lipat rata-rata pengangguran nasional yang berkisar antara 4–5 persen. Ironisnya, di kalangan lulusan perguruan tinggi, tingkat pengangguran justru lebih tinggi, yakni mencapai 8,5 persen pada tahun 2021. Penyebab utama kondisi ini bukan hanya terbatas pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya PHK di sektor-sektor tertentu, tetapi juga karena adanya ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia industri. Di sisi lain, posisi-posisi kerja yang sebenarnya tersedia, menuntut kompetensi digital dan keterampilan teknis yang tidak dimiliki sebagian besar pencari kerja.
Dalam konteks lokal, refleksi dari daerah seperti Bali dan Jawa Barat menunjukkan tantangan yang beragam. Di Bali, pekerjaan mungkin masih bisa diperoleh meski harus menyesuaikan dengan bidang di luar jurusan pendidikan. Namun di daerah padat penduduk seperti Jawa Barat, kesulitan mencari kerja sangat terasa. Sebagai contoh, dalam sebuah lowongan dengan kuota hanya beberapa orang, pelamar bisa mencapai ribuan. Kondisi ini diperburuk oleh gaji rendah yang tidak sebanding dengan biaya hidup serta tuntutan kerja yang tinggi, sehingga banyak masyarakat yang menolak pekerjaan yang ditawarkan. Fenomena efisiensi lembaga, seperti pemutusan kontrak tenaga kerja di instansi pemerintah karena minimnya dana operasional, menambah daftar panjang keresahan masyarakat. Hal ini berdampak langsung pada para pekerja terampil yang seharusnya menjadi aset pembangunan. Di sektor lain, seperti transportasi dan pariwisata, penghapusan kegiatan studi tour juga menurunkan pendapatan para sopir dan pemilik jasa bus.
Dari kondisi tersebut terlihat bahwa masalah utama bukan hanya terletak pada jumlah lapangan kerja, tetapi lebih kepada ketidaksesuaian keterampilan dan harapan masyarakat terhadap pekerjaan, serta kuatnya pengaruh relasi dalam proses perekrutan. Untuk mengatasi hal ini, ada beberapa solusi strategis yang perlu dilakukan. Pertama, penguatan pendidikan vokasi dan peningkatan keterampilan digital menjadi prioritas. Program pemerintah seperti Kartu Prakerja sudah berjalan, namun perlu diperluas agar lulusan SMK maupun sarjana benar-benar siap menghadapi era ekonomi digital. Model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) juga terbukti mampu meningkatkan kesiapan kerja lulusan vokasi karena mereka lebih terbiasa menyelesaikan masalah nyata di lapangan.
Kedua, transparansi dalam proses rekrutmen kerja sangat penting. Rekrutmen yang berbasis relasi dan koneksi internal menghambat akses kerja yang merata dan memperkuat ketimpangan sosial. Diperlukan mekanisme seleksi terbuka yang adil dan berbasis kompetensi. Ketiga, pembangunan mindset produktif dan adaptif harus digencarkan. Masyarakat perlu didorong untuk membentuk pola pikir yang merdeka, proaktif, dan terus belajar. Tidak cukup hanya menuntut pemerintah menciptakan lapangan kerja, setiap individu juga harus aktif meng-upgrade diri dan fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan dinamika pasar kerja.
Keempat, kebijakan lokal juga harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik daerah masing-masing. Setiap provinsi memiliki tantangan unik—Bali dengan basis pariwisatanya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menyusun pelatihan berbasis pasar lokal agar lulusan siap kerja sesuai kebutuhan regional. Strategi ini juga selaras dengan rekomendasi dari OECD dan ADB terkait penciptaan pekerjaan berbasis wilayah.
Dengan demikian, untuk menjawab tantangan ketenagakerjaan saat ini, kita perlu membangun pondasi kokoh yang terdiri atas tiga elemen utama: skill, network, dan mindset. Generasi muda harus didorong untuk terus belajar keterampilan baru, termasuk kesiapan untuk bekerja secara digital dan remote. Selain itu, jejaring sosial juga perlu dikembangkan melalui keterlibatan dalam organisasi, kegiatan lapangan, maupun magang, karena banyak kesempatan kerja tidak selalu diumumkan secara terbuka. Sinkronisasi antara dunia pendidikan dan dunia kerja juga harus diperkuat, agar lulusan tidak hanya memiliki ijazah, tetapi juga kompetensi dan jaringan yang dibutuhkan oleh dunia profesional.
Jika pola pikir masyarakat masih terpaku pada menunggu bantuan tanpa usaha untuk beradaptasi, maka seberapa banyak pun lapangan kerja tersedia, akan tetap terasa sempit. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki pola pikir yang terbuka, mau berusaha, dan terus mengasah diri, bukan hanya lapangan kerja yang bisa diambil, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja baru melalui inovasi dan keberanian dalam berkarya. Saatnya generasi muda menjadi pelaku perubahan, bukan sekadar penerima bantuan. Karena sejatinya, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya bisa terwujud bila semua pihak bersinergi, dimulai dari pemerintah yang menyediakan peluang, dan masyarakat mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh.
Penulis : I Gede Ardana (Anggota Bidang Litbang PC KMHDI Karangasem)
